Pos konsultasi hukum Bawaslu dibuka bagi masyarakat umum untuk memperoleh penjelasan dan keterangan terkait permasalahan kepemiluan. Selain itu, juga agar pengawas pemilu memiliki ruang untuk konsultasi.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu membuka pos konsultasi hukum bagi masyarakat yang ingin memperoleh penjelasan terkait masalah kepemiluan. Masyarakat sipil mendorong Bawaslu serius mengoptimalkan pos konsultasi tersebut agar tidak menjadi ajang seremonial semata.
Dalam peluncurkan Pos Konsultasi Hukum bagi Masyarakat bertajuk ”Gotong Royong dalam Berkonstitusi dan Berdemokrasi” di Jakarta, Jumat (18/8/2023), Sekretaris Jenderal Bawaslu Ichsan Fuady mengatakan, latar belakang peluncuran pos konsultasi hukum ini untuk memberikan ruang bagi masyarakat umum memperoleh penjelasan dan keterangan terkait permasalahan kepemiluan. Selain itu, agar jajaran pengawas pemilu memiliki ruang untuk konsultasi dan memperoleh pertimbangan hukum dalam pelaksanaan tugas serta fungsi pengawasan pemilu.
”Bawaslu ingin mewujudkan layanan konsultasi yang cepat, mudah, transparan, dan terintegrasi,” kata Ichsan.
Ia menambahkan, Bawaslu juga ingin mewujudkan pelayanan prima yang akuntabel serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Selain itu, Bawaslu juga ingin meningkatkan layanan publik dengan menyediakan sarana konsultasi hukum kepada masyarakat ataupun jajaran pengawas pemilu yang membutuhkan informasi, pengetahuan, dan pendapat seputar hukum kepemiluan.
Dengan adanya pos konsultasi hukum ini, kata Ichsan, diharapkan Bawaslu dapat meningkatkan mutu layanan publik. Itu bertujuan demi mewujudkan pelayanan yang cepat, mudah, transparan, dan terukur sebagai bagian dari tata kelola pemerintahan yang baik.
Dihubungi secara terpisah, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Ihsan Maulana, menyambut baik diluncurkannya pos konsultasi hukum Bawaslu. Namun, Bawaslu perlu mengoptimalkan pos konsultasi hukum tersebut.
”Jangan sampai peluncuran pos konsultasi hukum tersebut hanya menjadi ajang seremonial dalam tahapan pemilu dan justru tidak membawa dampak yang signifikan untuk penegakan hukum pemilu,” kata Ihsan.
Ia mencatat, pelanggaran yang dihimpun Bawaslu tahun 2019 sebagian besar hasil temuan Bawaslu dan masih minim hasil laporan masyarakat. Dengan adanya pos konsultasi hukum ini, ia berharap ada peningkatan keterlibatan publik dalam melaporkan pelanggaran pemilu.
Menurut Ihsan, ada kesenjangan bagi publik soal tata cara pelaporan ke Bawaslu. Misalnya, informasi bahwa saat melaporkan ke Bawaslu sudah harus ada data lengkap, seperti kronologi, bukti-bukti yang tersedia, dan rentang waktu pelaporan. Padahal, informasi terkait hal itu tidak cukup diterima publik. Oleh karena itu, pos konsultasi hukum yang dibangun Bawaslu harus mengisi kesenjangan informasi ini agar semakin banyak orang yang mau melaporkan.
Ihsan mengapresiasi layanan Bawaslu yang cukup baik saat berkonsultasi. Ia pernah berdiskusi bersama Bawaslu, salah satunya soal pembulatan desimal ke bawah pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. Dalam hal ini, kata Ihsan, terkait keterwakilan perempuan 30 persen.
Sebelumnya, pada Pemilu 2019, ia bersama Perhimpunan Jiwa Sehat juga pernah melaporkan kepada Bawaslu terkait pemilih di panti yang belum masuk dalam daftar pemilih tetap. Padahal, itu merupakan perintah Mahkamah Konstitusi.