Pengadaan Barang dan Jasa Masih Jadi Ladang Korupsi
KPK menyita uang tunai Rp 551,5 juta dalam operasi tangkap tangan Bupati Labuhan Batu Erik Adtrada Ritonga.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
Bupati Labuhan Batu Erik Adtrada Ritonga bersama para tersangka lain yang ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT), di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Jumat (12/1/2024).
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi menahan Bupati Labuhan Batu, Sumatera Utara, Erik Adtrada Ritonga di Jakarta, Jumat (12/1/2024), terkait dengan korupsi pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kabupaten Labuhan Batu. Erik diduga mengintervensi dan aktif dalam berbagai proyek pengadaan di Labuhan Batu.
Dalam operasi tangkap tangan pada Kamis (11/1/2024), KPK menangkap 10 orang. Dari jumlah tersebut, empat orang ditetapkan sebagai tersangka. Selain Erik, KPK juga menahan anggota DPRD Kabupaten Labuhan Batu, Rudi Syahputra Ritonga, serta dua pihak swasta, yakni Efendy Sahputra dan Fazar Syahputra.
Dalam konferensi pers, Jumat (12/1/2024), Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengungkapkan, KPK mendapatkan laporan dari masyarakat atas dugaan korupsi oleh penyelenggara negara berupa pengondisian pemenangan kontraktor yang mengerjakan proyek pengadaan di Labuhan Batu.
KPK juga mendapatkan informasi penyerahan sejumlah uang tunai dan transfer ke salah satu orang kepercayaan Erik. KPK pun langsung mengamankan para pihak yang terkait di sekitar Labuhan Batu. ”Turut diamankan uang tunai dalam kegiatan ini sejumlah Rp 551,5 juta sebagai bagian dari dugaan penerimaan sementara sekitar Rp 1,7 miliar,” kata Ghufron.
Ia menjelaskan, Labuhan Batu menganggarkan pendapatan APBD tahun anggaran 2023 sebesar Rp 1,4 triliun dan anggaran belanja sebesar Rp 1,4 triliun. Anggaran tersebut sama dengan APBD tahun anggaran 2024.
Dengan anggaran tersebut, Erik mengintervensi dan aktif dalam berbagai proyek pengadaan di berbagai satuan kerja perangkat daerah (SKPD) Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu. Proyek yang menjadi atensi Erik, di antaranya Dinas Kesehatan serta Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR).
Proyek di Dinas PUPR berupa proyek lanjutan peningkatan jalan Sei Rakyat-Sei Berombang, Kecamatan Panai Tengah, dan proyek lanjutan peningkatan jalan Sei Tampang-Sidomakmur, Kecamatan Bilah Hilir/Kecamatan Panai Hulu. Nilai pekerjaan kedua proyek tersebut sebesar Rp 19,9 miliar.
Rudi ditunjuk Erik sebagai orang kepercayaan untuk mengatur proyek dan menunjuk secara sepihak kontraktor yang akan dimenangkan. ”Besaran uang dalam bentuk fee yang dipersyaratkan bagi para kontraktor yang akan dimenangkan, yaitu 5 persen sampai dengan 15 persen dari besaran anggaran proyek,” kata Ghufron.
Untuk dua proyek di Dinas PUPR tersebut, kontraktor yang dimenangkan adalah Fazar dan Efendy. Sekitar Desember 2023, Erik melalui Rudi meminta agar segera disiapkan sejumlah uang yang diistilahkan dengan ”kutipan/kirahan” dari para kontraktor yang telah dikondisikan untuk dimenangkan dalam beberapa proyek di Dinas PUPR.
Penyerahan uang dari Fazar dan Efendy pada Erik dilaksanakan pada awal Januari 2024 melalui transfer rekening bank atas nama Rudi dan tunai. KPK masih menelusuri pihak lain yang diduga turut memberikan uang kepada Erik melalui Rudi. KPK juga mendalami dugaan korupsi lain dalam penanganan perkara ini.
Dihubungi secara terpisah, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah, mengatakan, hampir setengah dari kasus korupsi yang ditangani penegak hukum berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa. Kasus korupsi di sektor ini marak terjadi karena sebagian besar komponen belanja anggaran seluruh pemerintah merupakan barang dan jasa.
Modus yang jamak dilakukan adalah peningkatan harga, penyelewengan anggaran, dan proyek fiktif. Muara persoalan ini ada pada proses perencanaan yang informasinya terbatas untuk diakses publik. ”Mereka sudah memiliki penyedia yang akan dipilih atau akan ditunjuk. Dan biasanya modus semacam ini kami bilang modus arisan di dalam pengadaan,” katanya.
Ia menjelaskan, biasanya penyedia memberikan fee kepada panitia pengadaan. Bahkan, sudah ada instruksi dari pimpinan paling atas seperti kepala daerah atau menteri.
Menurut Wana, kasus ini terus berulang karena perbaikan dari sisi pengawasan cenderung lemah. Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang menjadi garda terdepan dalam penecegahan lemah dalam kapasitas, anggaran, dan kewenangan.
Pemerintah pusat dan daerah tidak memiliki komitmen untuk memberikan anggaran pengawasan yang cukup kepada APIP. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri, pemerintah wajib mengalokasikan 0,75 persen untuk anggaran pengawasan. Namun, ICW menemukan fakta bahwa anggaran untuk pengawasan masih dibawah 0,75 persen. ICW menemukan ada salah satu daerah yang hanya mengalokasikan anggaran pengawasan sebesar 0,02 persen.
Sebagai langkah perbaikan, Wana berharap pemerintah memberikan informasi yang lengkap terkait pengadaan barang dan jasa, termasuk dokumennya kepada publik. Itu sejalan dengan peraturan Komisi Informasi Pusat bahwa ada kewajiban bagi badan publik untuk menyediakan informasi pengadaan mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan.