Kendala Teknis dan Beban Kerja Akibatkan Petugas Pemilu ”Ad hoc” Sakit atau Meninggal
Beragam kendala di lapangan dan beban kerja mengakibatkan petugas pemilu "ad hoc" sakit atau meninggal.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berkaca pada tragedi pada Pemilihan Umum 2019, sejumlah perbaikan telah dilakukan Komisi Pemilihan Umum untuk mengurangi potensi risiko petugas sakit atau meninggal saat pelaksanaan pemungutan suara hingga penghitungan suara Pemilihan Umum 2024. Namun, ternyata masih ada beragam kendala teknis di lapangan yang kemudian dinilai dapat mengakibatkan petugas meninggal atau sakit.
Pada pemilu tahun ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah membatasi usia petugas penyelenggara ad hoc untuk pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada), yakni usia 17-55 tahun. Syarat pembatasan usia maksimal 55 tahun ini berbeda dengan syarat pada Pemilu 2019 yang tidak mengatur batasan usia maksimal.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Petugas penyelenggara pemilu ad hoc, yakni Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) tidak boleh berusia lebih dari 55 tahun terhitung pada hari pemungutan suara Pemilu dan Pilkada 2024. Mereka juga diutamakan tidak memiliki penyakit bawaan atau komorbid.
Lahirnya syarat-syarat ini berkaca pada pelaksanaan Pemilu 2019 (Kompas.id, 12/10/2022). Saat itu, sebanyak 894 petugas penyelenggara pemilu meninggal dan 5.175 orang sakit. Hasil kajian dari Universitas Gadjah Mada, menunjukkan, kematian disebabkan mereka memiliki penyakit bawaan, seperti jantung dan stroke, serta beban kerja yang terlalu tinggi sehingga meningkatkan risiko kematian.
Adapun data KPU per Jumat (16/2/2024) pukul 18.00 menunjukkan sebanyak 35 orang (dengan perincian 3 orang PPS, 23 orang KPPS, dan 9 petugas perlindungan masyarakat atau linmas) meninggal pada periode 14-15 Februari 2024. Selain itu, juga ada 3.909 orang (119 PPK, 596 PPS, 2.878 KPPS, dan 316 linmas) yang sakit dalam periode tersebut.
Kurangi risiko
Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini saat dimintai pandangan pada Sabtu (17/2/2024) menuturkan, terdapat sejumlah perbaikan mulai pembatasan usia atas petugas menjadi maksimal 55 tahun dan pemeriksaan kesehatan bekerja sama dengan institusi berwenang.
Terobosan atau perbaikan tersebut bisa mengurangi potensi risiko petugas yang sakit atau meninggal di lapangan.
Selain itu, juga dilakukan bimbingan teknis terhadap semua petugas KPPS, mendorong orang muda yang lebih punya stamina baik untuk terlibat, penyediaan mesin pengganda (printed scanner) di tempat pemungutan suara (TPS), serta peningkatan honorarium KPPS mencapai lebih dari dua kali lipat.
”Terobosan atau perbaikan tersebut bisa mengurangi potensi risiko petugas yang sakit atau meninggal di lapangan,” ujar Titi.
Kendala teknis dan beban kerja
Namun, menurut Titi, ternyata masih banyak kendala yang didominasi masalah teknis yang kemudian memicu petugas meninggal atau sakit. Selain itu, penghitungan secara manual atas lima surat suara sendiri juga memang sudah merupakan beban kerja yang berat dan butuh waktu lama untuk menyelesaikannya.
KPPS juga menghadapi problem teknis yang menambah beban kerja mereka dan membuat stres. Hal itu, antara lain, terjadi karena surat suara yang datang terlambat, kurang, atau tertukar dengan daerah pemilihan (dapil) lain yang membuat petugas harus menunggu dan menghabiskan waktu lebih lama. Kondisi ini juga membuat tekanan kerja yang menimbulkan stres.
Selain itu, Titi melanjutkan, adanya mesin pengganda yang tidak berfungsi membuat para petugas harus menyalin manual salinan C, hasil yang harus diberikan kepada setiap saksi, pengawas TPS, dan PPK melalui PPS yang hadir pada hari yang sama. Penyalinan itu makan waktu lama bahkan hingga subuh atau pagi hari berikutnya.
Selain itu, mesin pengganda mengalami masalah dan kendala dalam pengoperasiannya dan membuat penyalinan menjadi terlambat dan menghambat penyelesaiannya. ”Didapati juga banyak kasus di mana terjadi ketidaksinkronan data antara angka pengguna hak pilih dan total suara sah ditambah suara tidak sah,” ujar Titi.
Titi menambahkan, kelelahan juga terjadi karena menunggu lama di TPS akibat aplikasi Sirekap yang down sehingga KPPS harus memfoto langsung dari Form C Hasil yang ada di TPS. ”Mereka belum bisa menutup TPS dan mengirimkan hasil ke PPK via PPS kalau foto C Hasil belum terunggah di Sirekap,” ujar Titi.
Dengan demikian, Titi berpendapat, beban kerja KPPS masihlah sangat berat dengan kompleksitas teknis yang membebani dan mengakibatkan stres. ”Makanya, ada petugas yang langsung kambuh penyakit komorbidnya. Bisa jadi pemeriksaan kesehatan tidak mampu menjangkau keseluruhan kondisi kesehatan petugas sehingga risiko sakit tidak bisa terpantau sepenuhnya,” katanya.
Model keserentakan pemilu
Selama model keserentakan pemilu masih seperti sekarang dengan kombinasi sistem pemilu proporsional terbuka untuk pemilu DPR dan DPRD, Titi meyakini kelelahan petugas yang berisiko sakit dan meninggal akan terus terjadi. Oleh karena itu, mendesak dilakukan evaluasi model keserentakan pemilu untuk merasionalisasi beban kerja petugas penyelenggara pemilu.
”Kami sejak lama mengusulkan agar keserentakan pemilu dibagi dua kali menjadi Pemilu Serentak Nasional untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, serta anggota DPD serta Pemilu Serentak Lokal untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah serta anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Kami menilai desain keserentakan seperti itu lebih cocok untuk Indonesia dengan jeda dua tahun mempertimbangkan waktu seleksi penyelenggara pemilu,” kata Titi.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menuturkan, pihaknya belum mendapatkan informasi detail terkait data petugas pemilu Indonesia di luar negeri yang meninggal atau sakit. Ia akan mengecek hal itu di Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Kuala Lumpur. PPLN Kuala Lumpur tersebut merupakan PPLN yang kolosal.
”Jadi, waktu saya datang tanggal 10 Februari saja mereka hampir 24 jam persiapan di situ, bahkan sampai pukul 03.00 pagi masih mengerjakan beberapa hal. Di WTC Kuala Lumpur itu sirkulasi udaranya juga sangat tergantung AC, jadi mungkin itu juga punya pengaruh. Tapi saya cek dulu kondisi PPLN di sana apakah ada insiden atau tidak,” kata Wahyu, Sabtu (17/2/2024).
Terkait mitigasi, menurut Wahyu, perlu tempat-tempat dengan sirkulasi udara bagus. ”Selain itu, juga ada kesiapan dari tim medis yang mengawal mereka,” ujarnya.