KPU Diminta Tak Reaksioner, Penghentian Sementara Rekapitulasi Bukan Solusi
Undang-Undang Pemilu tidak memberikan mandat kepada Sirekap sebagai basis data dalam rekapitulasi suara manual.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum semestinya tidak reaksioner menanggapi persoalan akurasi data pada Sistem Informasi Rekapitulasi Suara atau Sirekap dengan menghentikan proses rekapitulasi suara manual di tingkat kecamatan. Selain data di Sirekap bukanlah basis untuk menentukan hasil pemilu, penghentian rekapitulasi manual justru dapat menimbulkan kecurigaan mengenai adanya upaya manipulasi suara.
Pada Minggu (18/2/2024), proses rekapitulasi suara manual di tingkat kecamatan dihentikan. Sejumlah Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten/kota menginstruksikan kepada Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) agar rapat pleno terbuka untuk rekapitulasi penghitungan suara di tingkat kecamatan dijadwal ulang pada 20 Februari. Sementara itu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyarankan KPU untuk menghentikan penayangan informasi Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati menilai, keputusan KPU menunda pelaksanaan rekapitulasi suara manual di tingkat kecamatan tidak tepat. Menurut dia, masalah akurasi data di Sirekap semestinya tidak berdampak langsung pada proses rekapitulasi manual berjenjang. Sebab, Undang-Undang Pemilu tidak memberikan mandat kepada Sirekap sebagai basis data dalam rekapitulasi suara manual berjenjang.
Penghentian rekapitulasi manual, lanjutnya, justru menimbulkan kecurigaan publik. Tidak ada pihak yang bisa menjamin tidak akan terjadi manipulasi saat rekapitulasi suara dihentikan. Semestinya, rekapitulasi dilanjutkan meski Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2024 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Penetapan Hasil Pemilu menyebutkan sumber data rekapitulasi adalah Sirekap.
”Di PKPU memang disebutkan sumber data rekapitulasi adalah Sirekap, tetapi jangan kemudian ketika Sirekap-nya error lalu proses rekapitulasi dihentikan. Yang harus dilakukan KPU adalah memperbaiki Sirekap. Selain itu, UU juga tidak menjadikan Sirekap sebagai basis data rekap manual,” tutur Ninis saat dihubungi, Senin (19/2/2024).
Bukan hanya itu, Perludem juga menyarankan agar saran dari Bawaslu tidak dijalankan. Sebab, penghentian penayangan Sirekap justru bisa menyulitkan publik dan peserta pemilu dalam mengawal kemurnian suara. Sebab, data yang diperoleh dari Sirekap merupakan data yang lengkap dari semua TPS dan bersumber dari pihak yang berwenang.
”Kalau Sirekap-nya bermasalah, seharusnya bisa diperbaiki tanpa harus ditutup. Justru kalau Sirekap ditutup, ruang pengawasan semakin sulit,” ujarnya.
Lebih jauh, Sirekap bukan acuan dalam penetapan hasil rekapitulasi suara. Oleh karena itu, pembetulan terhadap pembacaan sistem yang salah tetap bisa dilakukan karena tidak berdampak langsung pada penetapan hasil. KPU pun mesti selalu menginformasikan kepada publik pembetulan dari setiap kesalahan yang ditemukan untuk meyakinkan data di Sirekap sudah benar.
Di PKPU memang disebutkan sumber data rekapitulasi adalah Sirekap, tetapi jangan kemudian ketika Sirekap-nya ’error’ lalu proses rekapitulasi dihentikan. Yang harus dilakukan KPU adalah memperbaiki Sirekap. Selain itu, UU juga tidak menjadikan Sirekap sebagai basis data rekap manual.
Jika KPU tetap menutup Sirekap, lanjutnya, pilihan publik untuk mengawasi rekapitulasi suara semakin terbatas. Salah satunya, publik bisa membandingkan penetapan hasil dengan hitung cepat berbagai lembaga. Namun, hasil hitung cepat hanya menggambarkan hasil keseluruhan tanpa bisa melihat secara detail di TPS.
”Jika Sirekap tetap dibuka, publik tetap bisa mengawal suara secara lebih detail karena ada dokumen otentik formulir C.Hasil,” kata Ninis.
Tidak dipaksakan
Berbeda dengan Perludem, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Nurlia Dian Paramita berpandangan, Sirekap sebaiknya ditutup apabila justru menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Sebab, masalah rekapitulasi suara yang keliru bisa berdampak pada psikologi peserta pemilu dan pemilih. ”Jika situasinya bermasalah, Sirekap seharusnya ditutup saja, tidak dipaksakan,” ucapnya.
Setelah Sirekap ditutup, lanjutnya, KPU bisa memberikan alternatif lain dalam mendorong keterbukaan informasi publik, misalnya melalui siaran langsung rekapitulasi suara di setiap tingkatan.
Di sisi lain, kata Mita, KPU seharusnya meredam dan meyakinkan pemilih bahwa penentuan hasil masih dilakukan secara berjenjang. Tidak perlu memberikan klarifikasi yang bersifat defensif karena bisa memunculkan kecurigaan publik.
”Jangan sampai pemilih tidak percaya dengan hasil rekapitulasi manual dan lebih percaya dengan Sirekap,” katanya.
Sementara itu, secara terpisah, anggota KPU, Idham Kholik, menegaskan, rekapitulasi suara di kecamatan tetap berjalan. Sepanjang hari Minggu kemarin, ada 33 PPK di sejumlah daerah di Indonesia yang sudah menyelesaikan rekapitulasi suara manual. ”Selain itu, banyak sekali PPK yang melangsungkan rekapitulasi. Itu informasi dari beberapa KPU provinsi,” ujarnya.
Saat ini, lanjut Idham, KPU tengah fokus memperbaiki akurasi data tampilan publik di situs web pemilu2024.kpu.go.id. Data yang ditampilkan harus merujuk pada data otentik yang ada dalam formulir model C.Hasil (plano) yang fotonya dipublikasikan dalam Sirekap.