Soal RPP Manajemen ASN, Cermati Ketentuan di UU TNI dan UU Polri
RPP Manajemen ASN perlu memperhatikan ketentuan UU TNI dan UU Polri, sehingga ketidakpastian hukum dapat dicegah.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI, MAWAR KUSUMA WULAN, WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS Wakil Presiden Ma’ruf Amin menegaskan, ketentuan pengisian jabatan dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Manajemen Aparatur Sipil Negara atau ASN masih terus disempurnakan. Lewat ketentuan itu, TNI/Polri hanya akan menduduki jabatan-jabatan tertentu yang masih tetap terbatas.
”Saya kira sudah ada pembicaraan antara pihak eksekutif, pemerintah, dan pihak DPR bahwa di jabatan-jabatan sipil tersebut juga diperlukan adanya pihak-pihak dari kalangan TNI/Polri karena itu kemudian perlu ditampung,” ujar Wapres di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, Jumat (15/3/2024).
Pernyataan ini disampaikan Wapres terkait Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Manajemen ASN yang tengah digodok Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. RPP itu merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN. Aturan di dalamnya mencakup soal jabatan sipil yang bisa ditempati anggota TNI/Polri serta sebaliknya.
Seusai rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR, Rabu (13/3), Menpan dan RB Abdullah Azwar Anas memastikan, RPP Manajemen ASN bakal selaras dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil. Hal ini dalam aspek pengaturan jabatan sipil untuk ditempati anggota TNI/Polri.
Secara terpisah, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Dimas Bagus Arya Saputra menyampaikan, dalam menyusun RPP itu juga perlu dilihat ketentuan di UU No 34/2004 tentang TNI dan UU No 2/2002 tentang Polri.
Penyusunan RPP itu, lanjut Dimas, mestinya disertai dengan harmonisasi antar-perundang-undangan, terutama yang mengatur sektor pertahanan dan keamanan. Hal ini untuk mencegah adanya ketidakpastian hukum. Ini karena UU ASN yang baru memperbolehkan TNI/ Polri duduk di jabatan sipil. Sementara itu, UU TNI dan UU Polri melarangnya.
Pasal 47 UU TNI, misalnya, menyebutkan bahwa anggota atau prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Pasal itu juga mengatur bahwa prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, Sekretaris Militer Presiden, intelijen negara, sandi negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, narkotika nasional, dan Mahkamah Agung.
Adapun bagi anggota Polri yang ingin menempati jabatan sipil, lanjut Dimas, juga berlaku aturan yang relatif sama, yaitu harus mengundurkan diri terlebih dahulu dari dinas aktif di kepolisian.
TNI/Polri seharusnya tidak terlibat dalam kegiatan politik dan menduduki jabatan sipil karena tidak sesuai dengan fungsi serta kompetensi mereka.
Semestinya tak terlibat
Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf mengingatkan, TNI/Polri seharusnya tidak terlibat dalam kegiatan politik dan menduduki jabatan sipil karena tidak sesuai dengan fungsi serta kompetensi mereka. Apalagi, amanat reformasi adalah mencabut peran TNI/Polri dalam urusan politik agar profesional di bidang pertahanan keamanan dan penegakan hukum.
”Penyusunan rancangan peraturan pemerintah itu semakin membuktikan bahwa kebijakan saat ini sudah melenceng jauh dan bertolak belakang dengan semangat reformasi,” katanya.
Menurut Al Araf, jika masalahnya adalah adanya penumpukan perwira non-job di institusi TNI dan Polri, yang perlu dilakukan adalah perbaikan proses rekrutmen. Bukan membuat kebijakan seperti pada RPP Manajemen ASN.
”Jika masalahnya adalah adanya penumpukan perwira non-job di kedua institusi tersebut, upaya yang dapat dilakukan adalah perbaikan proses rekrutmen anggota, pendidikan, kenaikan karier, dan kepangkatan,” katanya.
Lewat RPP Manajemen ASN, kata Al Araf, pemerintah berupaya melegalisasi kebijakan keliru terkait banyaknya anggota TNI/Polri aktif di jabatan- jabatan sipil. Mereka menempati sejumlah jabatan strategis, seperti di Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta badan usaha milik negara (BUMN).
Al Araf pun mengutip data Kementerian Pertahanan yang mencatat terdapat 1.592 prajurit TNI di jabatan sipil pada 2019. Sebanyak 29 orang di antaranya ia nilai diduga ilegal karena berada di luar jabatan yang diperbolehkan UU TNI. Sementara anggota Polri di jabatan sipil dan BUMN tidak ada yang tahu jumlah pastinya.
Terkait dengan RPP Manajemen ASN, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto di Jakarta mengatakan bahwa RPP itu masih akan dibahas lebih lanjut bersama dengan pemerintah.
Menurut Agus, banyak permasalahan yang sekarang melibatkan personel TNI, misalnya untuk mengatasi masalah ketahanan pangan, masalah tengkes (stunting), dan kebencanaan. Dalam penanganan masalah hajat hidup orang banyak itu, TNI selalu diperbantukan kepada masyarakat.
Bahkan, saat pemilu, untuk mengirimkan logistik pemilu ke wilayah-wilayah terpencil pun, TNI membantu walaupun tidak ada nota kesepahaman dengan Komisi Pemilihan Umum.
”Dari berbagai masalah itu apakah perlu TNI ada di kementerian dan lembaga? Tujuannya, kan, untuk membantu masyarakat,” kata Agus.
Konsekuensi yang ditimbulkan atas penempatan TNI/Polri pada jabatan sipil tersebut adalah berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi ABRI.
Dwifungsi
Peneliti HAM dan Sektor Keamanan Setara Institute, Ikhsan Yosarie; dan Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan, lewat keterangan pers, menyebut, perluasan penempatan TNI pada jabatan sipil di luar ketentuan UU TNI kerap mengganggu upaya reformasi TNI. Penempatan tersebut memicu pelembagaan rutinitas penempatan prajurit-prajurit, terutama perwira, pada jabatan-jabatan yang tidak berkaitan dengan pertahanan negara.
Konsekuensi yang ditimbulkan atas penempatan TNI/Polri pada jabatan sipil tersebut adalah berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi ABRI. Melalui penempatan tersebut, TNI/Polri tidak lagi hanya mengerjakan tugas utamanya sebagai alat pertahanan dan keamanan negara, tetapi juga kerja-kerja administratif dan sosial-politik lainnya.
Setara Institute menilai hal itu bertentangan dengan amanat Reformasi 1998 yang menghapus dwifungsi ABRI dan mengamanatkan profesionalisme TNI di bidang pertahanan.