Pilkada Tetap November, Mendagri: Ada Wacana Pelantikan Tak Jauh dari Pelantikan Presiden
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menegaskan bahwa sampai saat ini jadwal pelaksanaan pilkada masih 27 November 2024.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menegaskan, jadwal penyelenggaran pilkada serentak 2024 kemungkinan besar tidak akan berubah tanggalnya, yaitu tetap pada 27 November 2024. Meskipun demikian, Tito menyebut wacana untuk mempercepat dengan alasan pelantikan kepala daerah terpilih tidak terlalu jauh dengan pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih pada 20 Oktober nanti masih terbuka.
”Saya tegaskan bahwa pilkada tidak berubah tanggalnya, yaitu pada 27 November 2024. Cuma, ada beberapa memang pendapat untuk bicara masalah satu soal saja, yaitu keserentakan pelantikan. Tapi, saya kira itu enggak banyak pengaruhnya karena yang penting hari-H itu yang penting sekali dan kami sudah sepakat 27 November,” kata Tito ditemui di Gedung Komisi Pemilihan Umum, Kamis (2/5/2024).
Meskipun jadwal pilkada tetap 27 November 2024, menurut mantan Kapolri itu memang ada wacana untuk pelaksanaannya dipercepat. Pertimbangannya adalah supaya pelantikan kepala daerah terpilih tidak jauh dari pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih yang dijadwalkan pada 20 Oktober 2024.
Jika pilkada tetap dilaksanakan pada 27 November, katanya, jika ada sengketa hasil, pelantikannya bisa tertunda dua hingga tiga bulan. Artinya, pada Januari hingga Februari 2025 baru ada pelantikan kepala daerah terpilih baru. Dengan demikian, ada jarak cukup panjang dengan pelantikan presiden dan wakil presiden.
Saya tegaskan bahwa pilkada tidak berubah tanggalnya yaitu pada 27 November 2024. Cuma, ada beberapa memang pendapat untuk bicara masalah satu soal saja, yaitu keserentakan pelantikan. Tapi, saya kira itu enggak banyak pengaruhnya karena yang penting hari-H itu yang penting sekali dan kami sudah sepakat 27 November. (Tito Karnavian)
”Padahal, filosofi pilkada serentak itu adalah adanya harmonisasi, sinkronisasi program pusat, provinsi, kabupaten, dan kota selama lima tahun,” kata Tito.
Dengan argumen itu, ujarnya, makanya pernah muncul wacana agar pilkada maju ke bulan September. Sebab, jika pilkada digelar di September, pada Desember sengketa hasil pilkada sudah selesai. Alhasil, pada Januari, sebagian besar kepala daerah baru sudah bisa dilantik. Artinya, pelantikan kepala daerah itu juga tidak terlalu jauh dengan pelantikan presiden terpilih.
Namun, setelah melihat dinamika yang ada, kami tetap pada konsep awal, yaitu 27 November. Saya kira belum ada rencana revisi (Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada). Untuk tanggalnya pun belum ada perubahan.
”Namun, setelah melihat dinamika yang ada, kami tetap pada konsep awal, yaitu 27 November. Saya kira belum ada rencana revisi (Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada). Untuk tanggalnya pun belum ada perubahan,” ujarnya.
Bisa cepat selesai
Tito menjelaskan, pada Pemilihan Presiden 2014, tiga tahun setelahnya, yaitu 2017, ada pilkada di 101 daerah. Gubernur, bupati, dan wali kota baru akhirnya membawa visi-misi sendiri. Lalu, pada 2018, juga ada pilkada serentak di 171 daerah, saat kepala daerah terpilih juga membawa visi dan misi sendiri. Menurut dia, dari pengalaman itu, terjadi kebingungan antara pemerintah pusat dan otonomi daerah di pemerintah daerah.
Janji politik yang berbeda dengan program nasional atau pusat berkonsekuensi kebingungan tersendiri. Itulah yang kemudian menginspirasi pembuat undang-undang, yaitu DPR dan pemerintah, untuk melaksanakan pilkada serentak 2024 sehingga pelaksanaan pemilihan presiden dan kepala daerah juga serentak.
Kami sudah sepakati memang waktunya cukup mepet ya, dengan pilpres dan pileg. Apalagi nanti ada gugatan sehingga penentuan kursi untuk menjadi dasar nanti hasil-hasil Pemilu Legislatif 2024.
”Tapi, kami sudah sepakati memang waktunya cukup mepet ya, dengan pilpres dan pileg. Apalagi nanti ada gugatan sehingga penentuan kursi untuk menjadi dasar nanti hasil-hasil Pemilu Legislatif 2024,” ucapnya.
Ia pun berharap proses di Mahkamah Konstitusi bisa cepat selesai untuk semua daerah ini. Dengan demikian, semua daerah bisa mengetahui jumlah kursi, jumlah suara, itulah yang jadi dasar 20 persen kursi, 25 persen suara pemilih yang bisa jadi dasar mengusung pasangan calon dalam Pilkada 2024.
Sebelumnya diberitakan, wacana penyempurnaan sistem politik mengemuka saat Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung bersilaturahmi mengunjungi Menteri Sekretaris Negara Pratikno di Kantor Sekretariat Negara, Jakarta, Kamis (25/4/2024).
Di pertemuan itu keduanya membahas penyempurnaan sistem politik lewat revisi sejumlah undang-undang. Saat itu, Doli mengungkapkan bahwa penyempurnaan itu idealnya dilakukan di bulan-bulan pertama pemerintahan baru.
Semua sudah punya semangat yang sama, perlu ada penyempurnaan tentang sistem pemilu kita. Bahkan, teman-teman Komisi II mengatakan perlu ada penyempurnaan sistem politik kita karena nanti kita bicara tentang revisi atau penyempurnaan UU Partai Politik, UU Pemerintah Daerah, UU tentang DPRD, dan sebagainya.
”Semua sudah punya semangat yang sama, perlu ada penyempurnaan tentang sistem pemilu kita. Bahkan, teman-teman Komisi II mengatakan perlu ada penyempurnaan sistem politik kita karena nanti kita bicara tentang revisi atau penyempurnaan UU Partai Politik, UU Pemerintah Daerah, UU tentang DPRD, dan sebagainya,” ujar Doli (Kompas.id, 25/4/2024).
Harus diwaspadai
Ahli politik dari kalangan peneliti dan pengajar di universitas mempertanyakan munculnya wacana penyempurnaan sistem politik melalui revisi sejumlah undang-undang. Dikhawatirkan, di balik wacana tersebut ada kepentingan terselubung untuk mengamankan Pemilihan Kepala Daerah 2024 pada November mendatang.
Kalau saya melihat pada konteks yang lebih besar, pola pembajakan regulasi dan demokrasi di Indonesia itu dilakukan melalui tiga cara, yaitu legal formal atau prosedural dengan membuat aturan main yang menguntungkan elite, mengakali cara yang sudah ada, atau mengubah aturan main demi kepentingan pragmatis elite.
Kekhawatiran itu, antara lain, disampaikan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Hurriyah, saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (27/4/2024). Menurut dia, wacana revisi sejumlah undang-undang harus diwaspadai oleh publik. Ia mengaku khawatir, di balik revisi itu ada kepentingan di kalangan elite terkait dengan pemilihan kepala daerah (pilkada) nanti.
”Kalau saya melihat pada konteks yang lebih besar, pola pembajakan regulasi dan demokrasi di Indonesia itu dilakukan melalui tiga cara, yaitu legal formal atau prosedural dengan membuat aturan main yang menguntungkan elite, mengakali cara yang sudah ada, atau mengubah aturan main demi kepentingan pragmatis elite,” ujar Hurriyah.