Bola Panas Pesangon Pekerja
Pengajuan skema pesangon baru dalam RUU Cipta Kerja menuai reaksi baik pekerja maupun pengusaha. Diperlukan titik temu agar persoalan aturan PHK dan pesangon bisa diterima kedua belah pihak.
Pengajuan skema pesangon baru dalam RUU Cipta Kerja–yang juga dikenal dengan omnibus law–menuai banyak reaksi. Pada satu sisi, pemerintah ingin mengatur ulang regulasi yang ramah investasi demi penciptaan lapangan kerja. Sementara, aturan dan kompensasi pekerja dibuat semakin ”kendur” sehingga ”mengurangi” kesejahteraan pekerja.
Pemerintah melalui Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja bertekad menggenjot pertumbuhan ekonomi sambil menarik investasi asing. Targetnya bisa menciptakan lapangan kerja sebanyak 2,7 juta sampai 3 juta per tahun. Selain itu, peningkatan investasi diyakini bisa meningkatkan pendapatan dan daya beli masyarakat.
Namun tekad pemerintah untuk mewujudkan UU sapu jagat itu tidaklah mudah. Dari 11 kluster yang diajukan dalam oomnibus law, kluster terkait ketenagakerjaan terbilang yang paling mendapat tentangan, terutama dari kalangan pekerja. Selain polemik soal upah, dan tenaga alih daya, aturan lain yang dipersoalkan adalah soal pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pesangon.
Dalam RUU Cipta Kerja, aturan pesangon bagi pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) diubah. Skema perhitungan pesangon dalam RUU Cipta Kerja tersebut tercantum dalam Bab IV mengenai Ketenagakerjaan Pasal 156.
Dalam Pasal 156 itu, komponen perhitungan pesangon bagi pekerja yang mengalami PHK berbeda dengan UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan di pasal yang sama. Dalam RUU Cipta Kerja, hanya disebut dua komponen yang digunakan sebagai dasar perhitungan, yaitu pesangon dan uang penghargaan masa kerja. Sementara i UU No 13/2003, komponen perhitungan kompensasi PHK mencakup uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti.
Perubahan komponen penghitungan pesangon tersebut berdampak pada besaran pesangon yang akan diterima pekerja jika terkena PHK. Dalam RUU Cipta Kerja, pekerja yang di-PHK akan mendapat kompensasi sebesar 17 kali gaji. Sementara dalam UU ketenagakerjaan, pekerja akan menerima kompensasi sebesar 27 kali gaji. Dengan demikian, besaran pesangon pekerja berkurang 10 kali gaji.
Namun, dalam RUU Cipta Kerja pekerja yang terkena PHK masih mendapatkan tambahan pesangon berdasarkan perjanjian kerja dan program penjaminan kehilangan pekerjaan dari pemerintah. Perubahan ini dilakukan dengan mempertimbangkan beban perusahaan ketika melakukan PHK dan juga perbandingan pesangon di negara tetangga.
Dari pemberitaan media, salah satu alasan pemerintah mengubah skema perhitungan pesangon itu lantaran rendahnya tingkat kepatuhan perusahaan untuk membayar pesangon pekerja yang di-PHK. Merujuk data Kementerian Ketenagakerjaan, pada 2019 terdapat 536 persetujuan bersama (PB) pemutusan hubungan kerja.
Dari jumlah 536 itu, perusahaan yang memenuhi pembayaran kompensasi sesuai dengan ketentuan UU No 13/2003 hanya 147 persetujuan bersama atau sekitar 27 persen. Sisanya, 389 persetujuan bersama (73 persen), tidak melakukan pembayaran kompensasi PHK sesuai dengan UU Ketenagakerjaan tersebut.
Data itu sejalan dengan laporan Bank Dunia yang mengutip data Sakernas BPS 2018. Berdasarkan laporan pekerja, 66 persen pekerja sama sekali tidak mendapat pesangon, 27 persen pekerja menerima pesangon kurang dari yang seharusnya diterima sesuai UU No 13/2003, dan hanya 7 persen pekerja yang menerima pesangon sesuai dengan ketentuan. Dengan kata lain, tingkat kepatuhan perusahaan sesuai regulasi relatif rendah.
Menurut pandangan pemerintah, seperti diungkapkan oleh Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, 20 Februari 2020, RUU Cipta Kerja juga akan memberikan kepastian bagi pekerja untuk perlindungan pesangon. Selain itu, ada manfaat baru yang akan diberikan kepada mereka yang terkena PHK, yaitu jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) berupa bantuan tunai, pelatihan vokasi, dan akses terhadap pekerjaan baru. JKP tidak menambah beban iuran bagi pekerja dan perusahaan.
Kelompok pekerja vs pengusaha
Perubahan skema perhitungan pesangon tersebut menimbulkan reaksi baik dari pekerja maupun pengusaha. Di mata kelompok pekerja, aturan pesangon baru itu dianggap ”merugikan”. Mereka berpandangan aturan itu cenderung menguntungkan pengusaha dan mengorbankan kesejahteraan pekerja.
Secara umum, sejumlah elemen pekerja atau serikat pekerja menganggap klausul dalam RUU Cipta Kerja tersebut lebih berpihak pada kepentingan pelaku usaha. Mereka juga menyoroti pekerja kontrak yang tidak akan mendapatkan pesangon jika terdampak PHK.
Mereka khawatir pelaku usaha melakukan PHK secara sewenang-wenang. Hal itu mengingat prinsip RUU Cipta Kerja easy firing dan easy hiring yang artinya buruh bisa dengan mudah direkrut dan dipecat dengan dalih memudahkan masuknya investasi. Apalagi di tengah perlambatan ekonomi global dan disrupsi ekonomi di banyak bidang, kalangan pekerja atau buruh rentan kehilangan pekerjaan.
Dalam RUU Cipta Lapangan Kerja Bab Ketenagakerjaan Pasal 154 A disebutkan, pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya melampaui 12 bulan.
Padahal, semestinya buruh yang mengalami kecelakaan kerja mendapat ganti rugi atas apa yang dialaminya. Perlindungan dan perlakuan secara adil serta manusiawi harus diberikan pada korban kecelakaan kerja bukan malah diberhentikan dari pekerjaannya. Hal itu tentunya mengkhawatirkan bagi pekerja.
Kekhawatiran kalangan pekerja itu juga senada dengan pernyataan peneliti politik LIPI, Fathimah Fildzah Izzati (Kompas, 27/2/2020), yang menyebut isi RUU Cipta Kerja, khususnya dalam bab ketenagakerjaan, dinilai merugikan pekerja. RUU Cipta Kerja disebut merugikan karena secara eksplisit menunjukkan liberalisasi ekonomi sebab adanya deregulasi yang mengurangi hak-hak dasar buruh.
Ketidakpuasan pekerja atas RUU Cipta kerja itu kemudian mereka nyatakan dengan turun ke jalan pada 20 Januari lalu. Ribuan buruh yang berunjuk rasa itu berasal dari wilayah Jabodetabek dan tergabung ke dalam beberapa serikat pekerja, seperti Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, Federasi Serikat Pekerja, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia, dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia. Tak hanya di Jakarta, demonstrasi juga merebak di sejumlah daerah di Indonesia secara serentak.
Berbeda dengan kalangan buruh, pelaku usaha justru menganggap aturan baru pesangon itu menjadi angin segar bagi dunia usaha. Kalangan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai aturan pesangon yang berlaku saat ini dinilai memberatkan, terutama bagi mereka yang berinvestasi di sektor padat karya (labor-intensive). Pengusaha kesulitan ketika melakukan PHK terhadap pekerja karena memberatkan.
Besarnya pesangon juga kerap membuat investor enggan berinvestasi di Indonesia sehingga menghambat penciptaan lapangan kerja. Besaran pesangon yang berlaku saat ini termasuk sangat tinggi dibandingkan negara-negara tetangga. Tingginya pesangon tersebut dinilai sering membuat perusahaan lebih memilih merekrut karyawan kontrak daripada pegawai tetap.
Pengaturan yang sudah dibuat sejak 16 tahun silam ini membuat pelaku usaha takut untuk masuk ke sektor formal sehingga memilih bergerak di informal. Pasalnya, pengaturannya tak seketat jika berubah formal.
Baca juga: Ribuan Buruh Sidoarjo Tuntut Pencabutan ”Omnibus Law”
Tarik ulur
Tarik ulur soal aturan PHK dan pesangon itu tak lepas dari sejarah panjang regulasi ketenagakerjaan di Indonesia. Setidaknya aturan terkait PHK telah lima kali mengalami perubahan. Sebelum era Reformasi, terjadi tiga kali perubahan dan sesudah reformasi sebanyak dua kali.
Sebelum era reformasi, perubahan aturan ketenagakerjaan relatif berjalan mulus dan tanpa menimbulkan masalah. Hal itu bisa terjadi karena pada masa itu masih berada di era single union system.
Di era ini, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) diakui sebagai satu-satunya organisasi buruh yang diakui oleh pemerintah. SPSI menjadi wadah tunggal kaum buruh di Indonesia.
SPSI pada waktu itu diposisikan sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah. Karena itu, SPSI lebih banyak mendukung kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Pemerintah bisa mendominasi penentuan syarat-syarat kerja dan kondisi kerja.
Adapun peraturan di era sebelum Reformasi meliputi Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 9 Tahun 1964 tentang Penetapan besarnya Uang Pesangon, Uang Jasa dan Ganti Kerugian. Disusul Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 11 Tahun 1964. Kemudian diganti Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 04/Men/1986 tentang Tata Cara Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Jasa dan Ganti Kerugian.
Pada masa Reformasi, seiring menguatkan peran serikat buruh di era multi-union system, revisi aturan ketenagakerjaan acap kali menimbulkan polemik dan unjuk rasa oleh kelompok pekerja. Di era ini, penentuan syarat-syarat kerja dan kondisi kerja diserahkan pada proses perundingan antara serikat buruh dengan pengusaha, dan tidak lagi didominasi oleh pemerintah.
Terkait pesangon, jumlah nominal pesangon ataupun mekanisme pembayaran pesangon didasarkan pada kesepakatan para pihak yang dapat dituangkan dalam perjanjian kerja bersama atau dalam perjanjian kerja.
Jika pada era single union system perubahan aturan dapat berjalan mulus dan tanpa menimbulkan masalah, di era multi-union system perubahan aturan tidak selalu berjalan mulus. Unjuk rasa buruh acap kali terjadi ketika revisi digulirkan oleh pemerintah.
Itikad baik
Adanya tarik ulur soal aturan ketenagakerjaan tersebut seakan menegaskan bahwa persoalan ketenagakerjaan perlu diselesaikan dan dicari solusi bersama agar tidak menjadi bola liar yang kontraproduktif. Baik pemerintah, pelaku usaha, maupun pekerja perlu mencari titik temu yang tidak saling merugikan.
Baca juga: Buruh Kritik Substansi RUU yang Dinilai Tidak Berpihak pada Kesejahteraan
Namun terlepas dari pro-kontra soal perhitungan pesangon yang nantinya diputuskan, hal yang paling penting adalah komitmen pemberi kerja atau pengusaha untuk mendanakan pesangon pekerja.
Dengan pendanaan khusus, pekerja bisa mendapatkan kepastian pembayaran uang pesangon. Karena faktanya selama ini, masih banyak pekerja yang tidak mendapatkan pesangon saat pengakhiran masa kerja. Atau bila pesangon dibayarkan pun tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Hal ini sekaligus untuk mengantisipasi moral hazard pemberi kerja untuk menghindari pembayaran kewajiban pesangon.
Alih-alih tidak mau membayar pesangon, pemberi kerja justru membuat pekerja tidak betah bekerja agar mengundurkan diri. Jika hal itu terjadi, itikad baik antara pemberi kerja dan pekerja menjadi ternoda. (LITBANG KOMPAS)