Menguji Nilai Sosial ”Jogo Tonggo”
Strategi ”Jogo Tonggo” dengan melibatkan warga masyarakat untuk meredam penyebaran Covid-19 di Jawa Tengah berhadapan dengan masifnya mobilitas penduduk dari kawasan pandemi lain yang masuk ke provinsi ini.
Seluruh 35 kabupaten/kota di Jateng sangat rawan penularan penyakit Covid-19 yang disebabkan virus korona baru. Indikasinya terlihat dari kenaikan angka penularan positif korona yang kian meningkat setiap hari.
Pada masa awal, mulai pertengahan Maret hingga akhir Maret, rata-rata penambahan kasus positif korona rata-rata hanya sekitar 6 kasus per hari. Sejak awal April hingga pertengahan bulan itu jumlah positif Covid-19 bertambah 13 kasus per hari. Sempat pada 14 April terjadi penambahan kasus hingga 75 laporan.
Sepanjang 15 April hingga akhir April, angka penambahan kasus Covid-19 melonjak kian tajam. Meskipun berfluktuasi, rata-rata hariannya mencapai 29 kasus. Lonjakan tertinggi pada 21 April dengan jumlah kasus positif harian mencapai 99 laporan.
Dinamika penambahan data tersebut menunjukkan tren yang terus meningkat. Hingga akhir April lalu, dari 35 kabupaten/kota di Jateng setidaknya ada delapan daerah yang jumlah positif koronanya sudah lebih dari 20 kasus. Daerah tersebut adalah Banyumas, Purbalingga, Purworejo, Wonosobo, Temanggung, Kota Magelang, Kota Surakarta, dan Kota Semarang.
Dua wilayah perkotaan terakhir, yakni Surakarta dan Semarang, adalah daerah dengan jumlah kasus korona terbanyak untuk sementara ini. Jumlah positif Covid-19 di Solo mencapai 65 kasus dan Kota Semarang mencapai 222 kasus.
Masih menurut data dari Pemprov Jateng per 30 April, hampir semua daerah sudah terjangkiti Covid-19, kecuali empat daerah yang status positif koronanya masih nol. Daerah tersebut adalah Kabupaten Blora, Jepara, Pekalongan, dan Brebes.
Meskipun demikian, kewaspadaan harus terus ditingkatkan mengingat seluruh daerah ditemukan kasus pasien dalam pengawasan (PDP). Daerah dengan nol kasus positif Covid-19 seperti di keempat daerah tersebut juga ditemukan kasus PDP.
PDP itu adalah status yang diberikan kepada pasien yang sudah mengalami gejala penyakit Covid-19. Gejala batuk kering, demam, dan sesak napas sudah ditemukan pada pasien tersebut dan mirip dengan indikasi penyakit Covid-19.
Bukan tidak mungkin pada Mei ini kasus positif korona akan kian meningkat. Terindikasi dari jumlah PDP yang masih di rawat pada akhir April di seluruh rumah sakit di Jateng masih sebanyak 827 pasien.
Baca juga : Jateng Percepat dan Perbanyak Tes Cepat Covid-19
Pelarangan Mudik
Pada 24 April, pemerintah secara efektif memberlakukan larangan mudik bagi beberapa daerah zona merah yang rawan penularan korona. Larangan mudik itu hanya berlaku untuk wilayah yang memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang sudah disetujui oleh pemerintah. Saat ini, setidaknya ada 24 daerah yang mendapat persetujuan memberlakukan PSBB dari Kementerian Kesehatan.
Larangan mudik, antara lain, bertujuan mencegah penyebaran lebih luas Covid-19 dari Jabodetabek. Daerah Jabodetabek adalah daerah zona merah yang memiliki angka penularan wabah tertinggi di Indonesia. Daerah pertama yang melaksanakan PSBB di Indonesia pun juga berasal dari wilayah Jabodetabek ini.
Sementara itu, kawasan Jabodetabek adalah daerah yang menjadi tujuan utama migrasi penduduk dari daerah-daerah di Indonesia untuk mencari nafkah.
Salah satunya penduduk migran yang banyak merantau ke kawasan Jabodetabek berasal dari Jateng. Dengan banyaknya jumlah penduduk yang bermigrasi, menjelang hari raya Idul Fitri biasanya kaum urbanisasi itu mudik ke kampung halaman.
Berdasarkan analisis Kementerian Perhubungan pada Lebaran tahun 2019, potensi pemudik dari wilayah Jabodetabek ke seluruh pelosok Tanah Air diperkirakan 14,9 juta orang. Tujuan mudik terbanyak adalah ke arah Jateng dengan besaran 38 persen atau sebanyak 5,6 juta orang.
Selanjutnya, 3,7 juta orang ke arah Jawa Barat dan 1,6 juta pemudik menuju ke Jawa Timur. Pada kondisi tanpa ada wabah Covid-19, jumlah pemudik yang akan pulang kampung pada tahun ini diperkirakan juga tidak akan terpaut jauh dengan nominal tersebut.
Dengan diberlakukannya larangan mudik pada tahun ini, jumlah masyarakat yang akan pulang kampung atau mudik diupayakan untuk ditekan sekecil mungkin. Tujuannya untuk menekan potensi penularan wabah dari masyarakat yang berasal dari zona merah. Dengan demikian, daerah-daerah tujuan para pemudik menjadi lebih aman dan tidak terjadi penularan virus lebih masif lagi.
Sayangnya, kebijakan pelarangan tersebut tampaknya agak terlambat diberlakukan. Sejumlah pemudik dari Jabodetabek sudah menuju kampung halamannya masing-masing. Para pemudik melakukan perjalanan pulang lebih awal seiring dengan mulai diberlakukannnya PSBB di wilayah DKI Jakarta lalu disusul wilayah Bodebek dan Tangerang Raya.
Dengan kebijakan PSBB tersebut, sejumlah pekerja serabutan dan informal sangat terasa dampaknya. Sulit mendapatkan rezeki harian karena terjadi penerapan sejumlah aturan yang membatasi kegiatan manusia. Oleh sebab itu, tidak ada pilihan yang lebih baik selain pulang kampung lebih awal. Sambil menunggu keadaan pulih kembali.
Baca juga : Merunut Jejak Kebijakan Larangan Mudik 2020
Pemudik dini
Menurut pemantauan Pemprov Jateng, sejak akhir Maret terjadi gelombang kedatangan pemudik ke wilayah Jateng. Hingga 30 April 2020, setidaknya hampir 750.000 pemudik sudah sampai ke kampung halamannya.
Pemantauan ini dilakukan sejak 26 Maret lalu di seluruh moda transportasi yang menuju Jateng. Mulai dari bus umum, kereta api, kapal laut, hingga pesawat udara. Pada kurun 26-30 Maret, rata-rata jumlah kedatangan penumpang di Jateng per hari sekitar 13.000 orang.
Hingga April, pergerakan penduduk masuk ke Jateng masih terus terjadi meskipun rata-rata terjadi pengurangan sekitar 9 persen atau sekitar 1.300 penumpang per hari. Saat pendataan awal pada 26 Maret lalu, jumlah penumpang yang turun di wilayah Jateng hampir mencapai 49.000 orang. Namun, hari-hari selanjutnya angkanya terus menurun menjadi kisaran belasan ribu orang hingga pertengahan April lalu.
Setelah 15 April, jumlah penumpang terus susut di bawah 10.000 orang. Apalagi, setelah penerapan larangan mudik pada 24 April lalu, jumlahnya anjlok drastis hingga di bawah 1.000 orang per hari.
Turunnya jumlah penumpang itu salah satunya karena semua transportasi umum berhenti operasi sejak 24 April. Kereta api, kapal laut, dan pesawat udara sudah nol kedatangan penumpang yang berarti sudah tidak beroperasi sama sekali. Kedatangan penumpang yang tercatat saat ini hanya berasal dari angkutan bus umum.
Sejak pemberlakuan larangan mudik itu, angkutan bus umum masih membawa penumpang ke Jateng dengan jumlah yang kian sedikit. Sehari setelah pelarangan mudik, bus umum masih membawa penumpang sekitar 1.900 orang, tetapi pada akhir April ini tinggal membawa 200-an penumpang.
Baca juga : 626.000 Pemudik Masuk Jateng dalam 44 Hari Terakhir
Pemudik menyebar
Meskipun demikian, total jumlah pemudik yang sudah tiba menggunakan angkutan umum hingga 30 April 618.299 orang. Padahal, total pemudik yang sudah tersebar di 35 kabupaten/kota di Jateng mencapai 749.577 orang.
Artinya, ada sekitar 130.000 pemudik yang datang ke kampung halamannya menggunakan kendaraan pribadi ataupun angkutan sewaan di luar transportasi umum. Penggunaan moda pribadi ini relatif sulit terdeteksi. Apalagi, jika para pemudik ini mengakses jalur alternatif yang jauh dari pantauan pemerintah.
Secara umum, para pemudik yang sudah datang lebih dini tersebut tersebar merata di 35 kabupaten/kota di Jateng. Ada lima daerah yang kedatangan pemudiknya paling banyak di seluruh Jateng. Daerah tersebut adalah Kabupaten Brebes, Pemalang, Banyumas, Cilacap, dan Tegal. Kelima daerah ini sudah kedatangan pemudik lebih dari 50.000 orang. Bahkan, di Brebes jumlah pemudik sudah mencapai 93.000 orang.
Apabila dipilah berdasarkan wilayahnya, dari enam eks karesidenan di Jateng, daerah Pekalongan adalah yang terbanyak kedatangan para pemudik dini ini. Karesidenan yang melingkupi Kabupaten Batang, Pekalongan, Pemalang, Brebes, Kota Pekalongan, dan Kota Tegal ini untuk sementara kedatangan 278.000 orang.
Wilayah selanjutnya disusul oleh eks karesidenan Banyumas yang terdiri dari Kabupaten Cilacap, Banyumas, Purbalingga, dan Banjarnegara. Keempat daerah ini sudah kedatangan pemudik hingga 174.000 orang.
Posisi berikutnya ditempati eks karesidenan Surakarta yang sudah kedatangan sekitar 121.000 pemudik. Wilayah Surakarta ini mencakup Kabupaten Boyolali, Klaten, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, Sragen, dan Kota Surakarta. Untuk wilayah lainnya seperti daerah eks karesidenan Kedu, Pati, dan Semarang jumlahnya jauh lebih sedikit lagi, yakni masing-masing kurang dari 80.000 orang.
Baca juga : Pemudik Nekat Diantisipasi, Jateng Survei Puluhan Tempat Karantina
Program ”Jogo Tonggo”
Hadirnya para pemudik dini tersebut patut menjadi perhatian bersama karena sebagian besar berasal dari daerah zona merah terjangkit virus korona.
Sejalan dengan kondisi tersebut, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah meluncurkan program ”Jogo Tonggo” sehari setelah pemerintah pusat mengeluarkan aturan larangan mudik bagi sejumlah daerah di Indonesia. Program yang diluncurkan 25 April ini bertujuan mempercepat penanganan wabah korona di wilayah Jateng.
Program Jogo Tonggo dan larangan mudik itu berkaitan sangat erat dalam kondisi seperti saat ini. Tradisi pulang kampung itu pada tahun ini terpaksa ditiadakan demi memutus mata rantai penularan wabah Covid-19.
Seperti dari wilayah Jabodetebek. Wabah korona yang sangat masif penyebarannya di sekitaran Ibu Kota ini harus diredam penularannya agar kian tidak menyebar ke Jateng. Program yang berarti ’menjaga tetangga’ itu diharapkan mampu meningkatkan kepedulian masyarakat Jateng hingga di level rumah tangga agar memperhatikan kondisi kanan-kirinya.
Dalam program Jogo Tonggo ini semua warga masyarakat dilibatkan. Mulai dari remaja karang taruna, kelompok Dasa Wisma, posyandu, bidan desa, penyuluh pertanian, Linmas, warga di tingkat RW, hingga lembaga atau organisasi di luar wilayah RW yang terkait pencegahan Covid-19.
Kelompok Satgas Jogo Tonggo ini bertugas memastikan bahwa warga setempat bergotong royong melawan penyebaran dan penularan Covid-19 di wilayahnya. Selain itu, juga memastikan dukungan dari luar wilayahnya untuk melawan Covid-19 tepat sasaran dan tepat guna.
Gotong royong
Program Jogo Tonggo dilaksanakan secara gotong royong dengan berbagi tugas di empat bidang utama. Bidang tugas itu mencakup kesehatan, ekonomi, sosial dan keamanan, serta hiburan.
Setiap bidang satuan tugas (satgas) ini memiliki koordinator yang bertugas memberikan laporan secara rutin setiap hari kepada desa/kelurahan. Tentu saja, dalam menjalankan kegiatannya, setiap satgas tersebut melibatkan segenap warga masyarakat untuk berpartisipasi.
Keempat satgas itu berperan aktif dalam pencegahan korona dengan optimalisasi sejumlah kegiatan di dalam lingkup masyarakat sehari-hari. Misalnya saja, satgas melakukan pemutakhiran data orang tanpa gejala (OTG), orang dalam pantauan (ODP), dan pasien dalam pengawasan (PDP) serta mendukung upaya jaga jarak antarwarga. Anggota satgas juga mendata warga tidak mampu serta mengupayakannya agar bisa mendapat bantuan.
Selain itu, mereka juga melayani kebutuhan warga yang dikarantina, mendata warga yang keluar-masuk daerahnya, melakukan ronda menjaga lingkungan, hingga menciptakan hiburan bagi warga masyarakat setempat.
Dengan program ini, warga pun menjadi kian peduli dengan kondisi di sekitarnya, terutama terkait dengan bahaya Covid-19. Bahkan, satgas ini juga bertanggung jawab untuk memastikan orang tanpa gejala (OTG) dan orang dalam pantauan (ODP) tidak keluar dari rumahnya.
Adanya OTG dan ODP ini salah satunya berkaitan erat dengan para pemudik yang berasal dari daerah zona merah korona. Dengan demikian, program Jogo Tonggo menjadi semacam gerakan sosial untuk memantau dan mengingatkan masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan.
Sangat Dibutuhkan
Peranan Satgas Jogo Tonggo sangat dibutuhkan saat Jateng berada dalam urutan empat besar kasus penularan korona di Indonesia seperti sekarang. Data per 1 Mei, jumlah kasus positif korona di Jateng mencapai 746 kasus, dengan tingkat kematian sekitar 8 persen. Tingkat mortalitas ini melebihi rata-rata nasional, yaitu 7,5 persen.
Menjelang hari raya Idul Fitri pada Mei ini, diduga masih ada sebagian pemudik yang nekat untuk pulang kampung. Tidak beroperasinya angkutan umum seperti bus, kereta, pesawat, dan kapal laut sepertinya tak memupuskan tekad para perantau untuk pulang ke kampung halaman.
Indikasinya, terlihat dari hasil prediksi Balitbang Kementerian Perhubungan. Data per 30 April 2020 dari lembaga tersebut menunjukkan, 490.000 orang di wilayah Jabodetabek tetap berkeinginan mudik. Angka ini akan menambah jumlah pemudik yang saat ini sudah tiba lebih awal di Jateng sekitar 750.000 orang.
Baca juga : Persentase Kematian Pasien Covid-19 Tertinggi Ada di Jateng
Mayoritas para pendatang itu berasal dari kawasan zona merah Jabodetabek. Program Jogo Tonggo memastikan pemudik yang datang ke kampung halaman secara otomatis harus segera mengarantina dirinya sekitar 14 hari. Bahkan, sebagian desa juga menyediakan lokasi karantina khusus pendatang atau pemudik yang pulang kampung.
Para pendatang ini diisolasi terlebih dahulu di tempat khusus, seperti rumah, lapangan, sekolah, atau lokasi tertentu lainnya selama dua minggu. Selama masa karantina, segala kebutuhan konsumsi para pendatang itu disediakan oleh warga desa agar mereka tidak keluar dari lokasi isolasi tersebut.
Kerja sama antara pemerintah dan masyarakat memang sangat diperlukan saat ini demi memutus mata rantai penularan Covid-19. Semua bentuk kepedulian dan nilai-nilai sosial itu sudah terangkum dalam program Jogo Tonggo.
Saat ini, waktu akan menunjukkan sejauh mana efektivitas Jogo Tonggo di lapangan. Nilai-nilai sosial dan adat istiadat di dalam masyarakat kini diuji untuk membuktikan kearifannya melawan wabah yang tak kasatmata.
(LITBANG KOMPAS)