Triwulan Terberat di 2020
Ekonomi Indonesia yang hanya tumbuh 2,97 persen pada triwulan I-2020 menjadi sinyal target tahunan pertumbuhan ekonomi dan indikator makro-ekonomi 2020 perlu dikoreksi.
Perlambatan ekonomi Indonesia pada masa pandemi Covid-19 ini telah diprediksi sejak awal tahun. Namun, pertumbuhan ekonomi triwulan pertama 2020 yang dilaporkan Badan Pusat Statistik sebesar 2,97 persen cukup mengejutkan. Angka tersebut menjadi sinyal target tahunan pertumbuhan ekonomi dan indikator makro-ekonomi 2020 perlu dikoreksi.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia telah dimulai sejak triwulan III-2019. Saat itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia secara tahunan turun menjadi 5,02 persen dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tercatat 5,05 persen. Pada triwulan terakhir di 2019, pertumbuhan kembali turun menjadi 4,97 persen.
Mengawali 2020, ketika pandemi Covid-19 mulai merebak, sejumlah pengamat ekonomi dan otoritas moneter memperingatkan pertumbuhan ekonomi akan melambat dan kecenderungannya tidak akan baik pada awal tahun. Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi triwulan I-2020 masih akan berkisar 4,9 persen. Sementara pemerintah masih optimistis perekonomian akan tumbuh sekitar 5 persen.
Di luar perkiraan, perekonomian triwulan I-2020 hanya tumbuh 2,97 persen. Rilis BPS menyebutkan, pertumbuhan didukung oleh semua lapangan usaha, dengan pertumbuhan tertinggi dicapai oleh Jasa Keuangan dan Asuransi (10,67 persen), diikuti Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial (10,39 persen), serta Informasi dan Komunikasi (9,81 persen). Artinya, tiga sektor tersier inilah yang lebih banyak menggerakkan perekonomian kita di masa pandemi karena relatif produk dan jasanya paling banyak dibutuhkan.
Pertumbuhan sebesar 2,97 persen ini bukan yang terburuk dalam 20 tahun terakhir. Pada triwulan IV tahun 2001, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat 1,56 persen. Situasi ekonomi masih buruk saat itu dampak panjang dari krisis mulitidimensi yang terjadi 1998/1999 dan pasca-tragedi 11 September 2001 di Amerika Serikat yang memengaruhi ekonomi global. Tahun 2001 tersebut, pertumbuhan ekonomi tahunan hanya mencapai 3,64 persen.
Baca juga: Konsumsi Merosot, Pertumbuhan Ekonomi Bisa Melorot
Perlambatan ekonomi akibat pandemi Covid-19 bukan hanya dialami oleh Indonesia. Dana Moneter Internasional (IMF) di laman resminya pada April lalu memproyeksi pertumbuhan ekonomi global pada 2020 akan jatuh hingga menjadi minus 3 persen. Karantina atau isolasi yang dilakukan secara massal oleh banyak negara (Great Lockdown) telah memicu resesi yang terburuk bahkan dibandingkan dengan masa Depresi Besar (Great Repression) tahun 1930-an.
Menurut IMF, kumulatif kerugian produk domestik bruto global selama 2020-2021 akibat merebaknya virus korona baru ini diperkirakan sekitar 9 triliun dollar Amerika Serikat, lebih besar daripada besaran perekonomian Jepang dan Jerman jika digabung sekaligus.
Di China, negara di mana wabah Covid-19 bermula, pertumbuhan ekonominya juga terimbas cukup besar. Seperti dilaporkan dalam laman CNBC pada 16 April 2020, perekonomian China triwulan I-2020 mengalami kontraksi sebesar 6,8 persen dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun lalu. Penurunan ini merupakan yang terbesar dalam hampir 30 tahun terakhir (sejak 1992).
Penurunan tersebut ditandai dengan merosotnya produksi di sektor industri China sebesar 8,4 persen pada triwulan I-2020. Investasi modal tetap juga anjlok 16,1 persen. Adapun rata-rata penjualan ritel jatuh sedalam 19 persen. Namun, penjualan secara daring (online) meningkat sebanyak 5,9 persen.
Jika diasumsikan pandemi mulai teratasi pada paruh kedua 2020 dan kebijakan yang diterapkan banyak negara efektif dalam meredam keterpurukan ekonomi dan menekan angka pengangguran, pertumbuhan ekonomi global 2021 diproyeksikan IMF dapat meningkat menjadi 5,8 persen.
Untuk kelompok ASEAN-5, di mana Indonesia termasuk di dalamnya, pertumbuhan ekonomi 2020 akan terkontraksi menjadi minus 0,6 persen. Namun, pada 2021 diperkirakan akan terkoreksi menjadi 7,8 persen.
Baca juga: Hadapi Resesi, Ekonomi Global Anjlok ke Minus 3 Persen
Indikasi Survei
Bank Indonesia pada Februari 2020 menurunkan angka proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari sebesar 5,1-5,5 persen menjadi 5,0-5,4 persen. Proyeksi ini lebih rendah dibandingkan yang dinyatakan pemerintah (APBN, 5,3 persen) dan lembaga internasional lainnya (Bank Dunia dan IMF 5,1 persen, ADB 5,2 persen).
Koreksi tersebut diperkuat oleh sejumlah survei berkala yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha, misalnya, mengindikasikan kegiatan dunia usaha menurun pada triwulan I-2020. Hal itu tecermin dari nilai Saldo Bersih Tertimbang (SBT) pada triwulan I-2020 sebesar -5,56 persen, turun dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang sebesar 7,79 persen.
Penurunan kegiatan dunia usaha tersebut terjadi terutama pada sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pertambangan, sektor pengangkutan dan komunikasi, serta sektor konstruksi. Sejalan dengan itu, kapasitas produksi terpakai dan penggunaan tenaga kerja pada triwulan I-2020 juga lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya. Sektor industri pengolahan menjadi sektor yang paling terpukul akibat pandemi Covid-19 karena terganggunya rantai pasokan dan menurunnya permintaan.
Survei Bank Indonesia lainnya yang menggambarkan terjadinya penurunan pertumbuhan adalah survei perbankan yang juga dilakukan berkala. Survei perbankan BI yang terbaru menunjukkan pertumbuhan triwulanan kredit baru melambat pada triwulan I-2020. Hal itu tecermin dari nilai SBT permintaan kredit baru pada triwulan I-2020 sebesar 23,7 persen, lebih rendah daripada triwulan sebelumnya yang sebesar 70,6 persen.
Perlambatan permintaan kredit baru tersebut terutama terjadi pada jenis kredit konsumsi, yang turun dari75,8 persen menjadi -7,6 persen. Penurunan permintaan kredit konsumsi terutama terjadi pada kredit multiguna dan kredit tanpa agunan. Sementara kredit kepemilikian rumah/apartemen, kredit kendaraan bermotor, dan kartu kredit tumbuh melambat. Secara keseluruhan, pertumbuhan kredit pada 2020 diperkirakan sebesar 5,5 persen, lebih rendah dibandingkan dengan realisasi kredit pada 2019 yang sebesar 6,1 persen.
Baca juga: Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi Bisa Lebih Dalam
Triwulan berikutnya
Melihat kondisi demikian, lalu akan seperti apakah kondisi di triwulan II-2020? Kegiatan di dunia usaha dan perbankan akan membaik seiring dengan kebijakan yang ditempuh bank sentral.
Berdasarkan survei yang dilakukan Bank Indonesia, diperkirakan kegiatan dunia usaha di triwulan kedua akan meningkat. Sektor yang diperkirakan akan meningkat skala usahanya adalah sektor pertanian, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan karena antara lain faktor panen padi di sejumlah daerah. Selain itu, kegiatan di sektor jasa-jasa juga akan tetap menggeliat.
Di sektor perbankan, memasuki triwulan II-2020, kebijakan penyaluran kredit diperkirakan akan lebih longgar, terutama terhadap kredit modal kerja dan kredit UMKM. Aspek kebijakan penyaluran kredit yang akan diperlonggar tersebut meliputi penyesuaian suku bunga, biaya persetujuan, jangka waktu, dan plafon kredit. Namun, premi kredit berisiko, perjanjian kredit, agunan, dan persyaratan administrasi akan lebih ketat.
Memasuki triwulan kedua, sejumlah relaksasi di sektor perbankan terkait kartu kredit pun mulai dilakukan sejumlah bank berpedoman pada kebijakan bank sentral. Bank Indonesia dalam masa darurat pandemi Covid-19 ini mengeluarkan kebijakan keringanan suku bunga, pembayaran minimum, dan denda keterlambatan pembayaran bagi pemegang kartu kredit.
Batas maksimal bunga kartu kredit akan diturunkan menjadi 2 persen per bulan atau 24 persen per tahun. Untuk pembayaran minimum, BI yang sebelumnya mematok 10 persen dari total tagihan berubah menjadi 5 persen atau minimal Rp 50.000. Sementara untuk denda keterlambatan pembayaran berlaku ketentuan 1 persen dari total tagihan dengan jumlah denda maksimal Rp 100.000.
Kebijakan keringanan yang menguntungkan pengguna ini, yang juga dimaksudkan untuk menekan rasio kredit bermasalah, mulai berlaku pada Mei 2020 hingga 31 Desember 2020.
Dengan melihat perkembangan perekonomian seperti demikian, agaknya pemerintah perlu menghitung dengan cermat dan menyampaikan perubahan proyeksi pertumbuhan ekonomi selama 2020 dalam pembahasan APBN-Perubahan mendatang.
Target pertumbuhan ekonomi 5 persen akan sulit untuk dicapai. Mengingat pula kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) baru akan berakhir pada akhir triwulan kedua atau awal triwulan ketiga. Pada saat itu perekonomian baru mulai memulihkan diri. (LITBANG KOMPAS)