Ujian Dominasi PKB di Pilkada Sidoarjo
Melihat peta persaingan di antara tiga calon bupati dan wakil bupati Pilkada Sidoarjo tahun ini, dukungan kekuatan partai politik terbilang merata. Parpol lain terlihat tak gentar di hadapan rekor kemenangan PKB.
Kejayaan Partai Kebangkitan Bangsa dalam Pilkada Sidoarjo akan mendapat ujian kali ini. Korupsi yang dilakukan bekas Bupati Saiful Illah, kader PKB, dapat menjadi batu sandungan bagi partai tersebut.
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mendominasi kehidupan politik di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Dominasi ini setidaknya terekam dalam penyelenggaraan tiga pemilu legislatif dan tiga pilkada sejak 2005, yakni PKB selalu unggul di Sidoarjo.
Dominasi PKB cenderung berlanjut pada pemilihan bupati dan calon bupati di Sidoarjo tahun ini. PKB juga masih unggul dari segi perolehan kursi legislatif pada Pemilu 2019.
Pada 2005, Saiful Illah, kader PKB, maju sebagai wakil bupati, mendampingi Win Hendarso. Keduanya berhasil memenangi pilkada. Dalam gelaran pilkada langsung yang pertama ini, mereka, antara lain, juga didukung PAN. Duet Win-Saiful pada 2005 memperoleh 469.206 suara (67,85 persen), mengalahkan Sjamsu-Fatmah (9,12 persen) dan Amir-Salam (23,01 persen).
PKB kembali unjuk diri dalam Pilkada 2010. Kali ini, Saiful Illah maju menjadi calon bupati didampingi Hadi Sutjipto sebagai wakilnya. Kendati hanya mendapat dukungan dari PKB, keduanya tetap menang dengan raihan 450.586 suara (60,46 persen), menggusur dua pasangan calon lainnya.
PKB lalu menjadi partai tunggal pengusung Saiful Illah pada Pilkada 2015. Kali ini, sang petahana didampingi Nur Ahmad sebagai calon wakil bupati. Kepercayaan diri PKB berbuah manis dengan kemenangan 58,97 persen suara, jauh unggul dibandingkan dengan tiga pasangan calon lain kala itu.
Pada Pemilu Legislatif 2019, PKB kembali unggul dalam jumlah perolehan kursi di keenam daerah pemilihan (dapil) Sidoarjo. PKB memborong 16 kursi, diikuti PDI-P (9 kursi), Partai Gerindra (7 kursi), PAN (5 kursi), Partai Golkar dan PKS (4 kursi), Partai Demokrat dan Partai Nasdem (2 kursi), serta PPP (1 kursi).
Namun, korupsi yang dilakukan Saiful Illah perlu dianggap sebagai ancaman yang dapat mengurangi perolehan suara pada Pilkada 2020. Saiful Illah tertangkap tangan oleh KPK pada Januari 2020. Operasi tangkap tangan berawal dari informasi transaksi suap terkait proyek infrastruktur di Kabupaten Sidoarjo.
Pada 7 Januari silam, tim KPK bergerak ke rumah dinas bupati dan menangkap tiga tersangka lainnya. KPK mengamankan Saiful Illah dan ajudannya, Budiman, di Kantor Bupati Sidoarjo. Dari operasi tangkap tangan ini disita Rp 1,8 miliar dari tangan para tersangka.
Setelah itu, Wakil Bupati Nur Ahmad Syarifuddin, yang juga kader PKB, ditunjuk sebagai bupati. Sayangnya, Nur Ahmad meninggal akhir Agustus akibat Covid-19.
PKB lantas menunjuk Ahmad Muhdlor ketimbang putra kandung Saiful Illah (Achmad Amir Aslichin) untuk mengisi kekosongan jabatan bupati. Terpilihnya Ahmad Muhdlor yang masih berusia 29 tahun disangkutpautkan dengan nama besar ayahnya, KH Agoes Ali Masyhuri (Gus Ali), pengasuh Pondok Pesantren Bumi Shalawat. Padahal, PKB memiliki opsi untuk berkoalisi dengan partai lain, sekaligus mempersiapkan pilkada selanjutnya.
Penunjukan Ahmad Muhdlor dilakukan berdasarkan kesepakatan internal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKB. Muhdlor akhirnya diusung PKB dalam kontestasi pilkada tahun ini. Di sinilah ambisi, strategi, dan dominasi PKB dipertaruhkan.
Ketokohan
Melihat peta persaingan di antara tiga calon bupati dan wakil bupati Pilkada Sidoarjo tahun ini, dukungan kekuatan partai politik terbilang merata. Parpol lainnya terlihat tak gentar di hadapan rekor kemenangan PKB. Calon pesaing yang diusung memiliki faktor ketokohan yang berpotensi mendulang suara.
Pasangan calon nomor urut satu, Bambang Haryo dan Moh Taufiqulbar, paling banyak mendapat dukungan partai, yakni Partai Gerindra, Golkar, PKS, PPP, dan Demokrat. Total ada dukungan 18 kursi legislatif.
Pasangan calon ini juga memiliki modal ketokohan yang kuat. Bambang Haryo merupakan anggota Komisi V dan VI DPR dari Fraksi Gerindra periode 2014-2019 serta berlatar belakang pengusaha perkapalan dan properti.
Adapun Taufiqulbar merupakan putra dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) di Sidoarjo. Ia digadang-gadang dapat menjembatani antara NU dan Muhammadiyah di Sidoarjo.
Pasangan Ahmad Muhdlor dan Subandi, pemegang nomor urut dua, mendapat dukungan dari PKB, Nasdem, dan PSI. Kendati hanya PKB dan Partai Nasdem yang menyumbang kekuatan, pasangan calon ini sudah mendapat dukungan 18 kursi di legislatif. Tampak jelas, kali ini pun PKB tampil percaya diri dengan mengajukan dua kader.
Keyakinan PKB bersandar kepada faktor ketokohan Ahmad Muhdlor atau disapa Gus Muhdlor. Basis dukungan Gus Muhdlor tentunya dari barisan NU, apalagi saat ini ia menjabat Direktur Pendidikan Yayasan Bumi Shalawat Progresif (sejak 2012) dan Sekretaris GP Anshor Sidoarjo (sejak 2015). Adapun Subandi menjabat Ketua Komisi A DPRD Sidoarjo 2019-2024 yang kemudian mengundurkan diri.
Pasangan bernomor urut tiga ialah Kelana Aprilianto dan Dwi Astutik. Mereka mengandalkan dukungan dari dua parpol, yakni PDI-P dan PAN. Meski hanya didukung dua parpol, pasangan calon ini mendapat dukungan 14 kursi legislatif. Dengan kehadiran pasangan calon ketiga ini, PDI-P memantapkan posisinya sebagai pesaing PKB dalam Pilkada Sidoarjo sejak 2005.
Baca juga: ”Jenggala” Bergulat Melawan Pandemi
Sebenarnya, pengajuan kedua tokoh mengundang tanda tanya, mengingat sosok mereka kurang akrab bagi masyarakat Sidoarjo. Kelana Aprilianto berlatar belakang pengusaha di berbagai bidang.
Pasangannya, Dwi Astutik, merupakan Ketua Forum PAUD Jatim, Ketua Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) Jawa Timur, dan Bendahara Dewan Pendidikan Jawa Timur. Jabatannya yang lain ialah Wakil Ketua Persatuan Guru NU (Pergunu) Jatim serta pengurus Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Jawa Timur.
Dengan demikian, ketiga pasangan calon tampak mendapat dukungan kekuatan parpol yang cukup berimbang. Lalu, faktor ketokohan tiap-tiap figur dapat menjadi poin penting dalam mendulang suara pemilih. Hal lain yang perlu diperhatikan ialah program kerja pasangan calon dengan melihat kebutuhan Kabupaten Sidoarjo saat ini.
Isu strategis
Sebenarnya ada ironi yang terjadi di Sidoarjo di bawah kepemimpinan Bupati Saiful Illah. Pada 2019, Kabupaten Sidoarjo masuk sebagai nomine peraih penghargaan Nirwasita Tantra (Green Leadership) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Nominasi ini diterima Saiful Illah karena program kerjanya yang memberikan solusi atas pengaliran limbah lumpur di Sidoarjo.
Padahal, pada tahun yang sama, isu lingkungan menerpa Sidoarjo. Muncul gumpalan busa yang berbau tidak sedap di Sungai Desa Sumput akibat limbah pabrik. Selain itu, di Sidoarjo, sempat mencuat isu pabrik tahu yang menggunakan bahan bakar dari plastik dan disorot oleh media internasional The New York Times.
Baca juga: Kopisemel Memanusiakan Orang dengan Gangguan Jiwa
Isu lainnya yang harus diperhatikan ialah kasus korupsi yang melibatkan enam tersangka, termasuk Saiful Illah. Kasus ini terkait proyek pembangunan di Sidoarjo, daerah penyangga utama Kota Surabaya. Selain Sidoarjo, daerah penyangga Surabaya ialah Kabupaten Gresik.
Setidaknya ada empat proyek yang diungkap KPK, yakni proyek pembangunan wisma atlet senilai Rp 13,4 miliar, proyek pembangunan Pasar Porong Rp 17,5 miliar, proyek Jalan Candi-Prasung Rp 21,5 miliar, dan proyek peningkatan Afv Karang Pucang, Desa Pagerwojo, Kecamatan Buduran.
Dengan melihat isu strategis di Sidoarjo, diharapkan para pemilih bijak dengan memperhatikan program kerja yang ditawarkan setiap pasangan calon. Jangan sampai faktor ketokohan atau partai menjadi satu-satunya pertimbangan dalam memilih. (LITBANG KOMPAS)