Persaingan dalam Pilkada Kota Metro, Lampung, patut disimak. Komponen persaingannya terbilang lengkap, mulai dari jalur perseorangan, calon wakil wali kota anak muda, hingga sosok perempuan sebagai calon wali kota.
Oleh
Yohanes Mega Hendarto
·5 menit baca
Kota Metro menjadi satu-satunya wilayah dari delapan kabupaten/kota di Provinsi Lampung yang memiliki pasangan calon dari jalur perseorangan di Pilkada 2020. Sebagaimana pilkada sebelumnya, calon dari jalur ini harus berjuang keras untuk meraup suara pemilih.
Pada 4 September 2020, Komisi Pemilihan Umum Kota Metro, Lampung, menyatakan pasangan Wahdi-Qomaru Zaman telah mendaftar untuk mengikuti pilkada. Dengan berbekal 11.491 dukungan, mereka menjadi satu-satunya pasangan dari jalur perseorangan di kota itu dan mendapat nomor urut 1.
Pasangan calon (paslon) nomor urut 2 diisi oleh Ahmad Mufti Salim-Saleh Chandra Pahlawan. Pasangan ini diusung Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Nasdem yang total memiliki tujuh kursi di DPRD Kota Metro.
Ahmad Mufti Salim adalah kader PKS yang pada 2019 menjabat Ketua Fraksi PKS DPRD Lampung. Kiprahnya di kursi legislatif sudah dimulai sejak 2004 dengan menjabat anggota DPRD Kabupaten Lampung Tengah. Ahmad Mufti juga mendapat dukungan dari kelompok Nahdlatul Ulama (NU) karena ia adalah anak dari tokoh NU Sendang Agung, Lampung Tengah.
Pasangannya, Saleh Chandra Pahlawan, merupakan politikus yang sudah dikenal di Kota Metro. Saat ini dirinya menjabat Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Nasdem Metro sejak 2017. Bersama Lukman Hakim, Saleh Chandra menjadi Wakil Wali Kota Metro setelah memenangi Pilkada 2010.
Nomor urut tiga diisi pasangan Ampian Bustami-Rudy Santoso. Pasangan ini diusung Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN) dengan total memiliki 10 kursi DPRD Kota Metro.
Ampian Bustami mengikuti pilkada setelah mendapat dukungan dari basis pendukung Partai Golkar yang pada Pemilu Legislatif 2019 sebagai partai pemenang di Metro dengan mendapat 6 kursi DPRD kota itu. Kiprahnya di politik tercatat sejak 2004 ketika dia menjabat Wakil Ketua DPRD Kota Metro.
Ampian menggandeng Rudy Santoso yang belum memiliki kiprah di bidang politik. Rudy Santoso, yang berasal dari keluarga pengusaha, menjadi calon termuda yang maju di Pilkada Metro kali ini. Bisa jadi Rudy Santoso dipilih untuk menggalang suara dari pemilih milenial.
Pasangan calon nomor empat adalah Anna Morinda-Fritz Akhmad Nuzir. Pasangan ini diusung PDI-P, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hanura, Partai Gerindra, dan Partai Demokrat yang seluruhnya memiliki 8 kursi DPRD Metro.
Anna Morinda menjadi satu-satunya perempuan dalam kontestasi ini. Ia pernah menjabat Ketua DPRD Kota Metro periode 2014-2019 dan Ketua DPC PDI-P sejak 2019. Latar belakang pendidikannya di bidang ekonomi diimbangi dengan keterlibatannya dalam sejumlah organisasi masyarakat di Kota Metro sejak 2015.
Sementara Fritz Akhmad Nuzir berlatar belakang pendidikan doktoral di bidang arsitektur. Berbekal pendidikan dan lingkup pergaulannya, Akhmad Nuzir digadang-gadang akan memberi suntikan ide dan terobosan untuk Kota Metro.
Petahana
Saat Pilkada Metro 2015, ada dua pasangan dari jalur perseorangan yang ikut kontestasi. Namun, keduanya gagal mendulang dukungan yang optimal. Mereka kalah dari tiga pasangan lainnya yang diusung partai politik (parpol). Kondisi ini patut menjadi pelajaran bagi pasangan Wahdi-Qomaru Zaman dalam mengembangkan strategi guna meraih suara.
Sekilas, tiga pasangan lain yang diusung parpol di Pilkada Metro kali ini juga memiliki modal ketokohan. Di atas kertas, persaingan sengit akan terjadi di antara tiga pasangan ini untuk memperebutkan suara di lima kecamatan dan 22 kelurahan di Kota Metro.
Pada Pilkada 2010 dan 2015 terlihat gambaran persaingan antara tokoh, parpol, dan pendukung di setiap kubu. Persaingan sengit pada Pilkada Kota Metro 2010 akhirnya berakhir di Mahkamah Konstitusi, khususnya antara pasangan Lukman-Saleh dan Djono-Herno.
Pasangan Lukman-Saleh akhirnya menang dengan selisih sangat tipis, 1,43 persen suara, dari pasangan Djono-Herno. Saat itu, Lukman menyandang status sebagai petahana wali kota. Sementara Djohan adalah petahana wakil wali kota. Keduanya pecah kongsi dan bersaing di arena yang sama.
Pertarungan di 2015 lebih bervariasi. Ada lima pasangan yang ikut kontestasi, dua pasangan dari jalur perseorangan dan tiga pasangan diusung parpol. Kedua pasangan dari jalur perseorangan itu ialah Supriadi-Megasari dan Okta Novandra Jaya-Wahadi. Namun, kedua pasangan ini gagal memenangi pilkada.
Pecah kongsi
Pada Pilkada 2015, PDI-P, PAN, dan Partai Nasdem berada di satu koalisi dan berhasil memenangkan calon mereka. Kini, partai-partai itu mengambil jalan masing-masing di Pilkada 2020, berpencar ke tiga pasangan. Pecahnya koalisi pemenang Pilkada 2015 membuka peluang bagi calon perseorangan Wahdi-Qomaru.
Latar belakang pasangan nomor urut ini 1 terbilang menarik. Wahdi berprofesi sebagai dokter di Rumah Sakit Ahmad Yani Metro sejak 2010 serta memiliki Rumah Sakit Ibu dan Anak Anugerah Medical Center Metro. Sementara Qomaru Zaman adalah pensiunan pegawai negeri sipil dan mendapat tanda penghormatan Satyalancana Karya Satya 10 tahun pada 2009. Ia juga pernah menjabat Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Lampung Utara. Bisa dikatakan, dukungan untuk pasangan ini cukup banyak diisi oleh para pendukung Qomaru Zaman yang sudah mengenalnya lewat dakwah dan kiprahnya di Kementerian Agama.
Terlepas dari bobot masing-masing pasangan, persaingan memperebutkan kursi wali kota dan wakil wali kota Metro patut disimak. Pasalnya, komponen persaingan yang tersajikan ke publik terbilang lengkap, mulai dari pasangan dari jalur perseorangan, calon wakil wali kota anak muda, dan munculnya sosok perempuan sebagai calon wali kota.
Melihat pengalaman pilkada di periode sebelumnya, calon perseorangan dituntut bekerja lebih keras dalam bersaing dengan mesin untuk memenangkan hati pemilih Kota Metro. (Litbang Kompas)