Tamu Dini Hari
Tiba-tiba Suta melihat kepala tamu di hadapannya bertambah dari detik ke detik sampai berjumlah sepuluh.
Suta berkemas hendak meninggalkan gedung kesenian kota yang masih berdenyut selepas tengah malam. Ia minta maaf kepada teman-temannya yang masih asyik berbincang karena mendahului pulang dengan alasan, besok pagi ia harus mudik untuk mengikuti upacara perabuan ibu mertuanya.
Yang ingin ia lakukan setiba di rumah tentu membereskan sisa riasan di wajah sebelum membersihkan keringat yang mengering di sekujur tubuh. Namun, setelah memarkir motor di garasi samping rumah, mendadak ia merasakan sesuatu yang membuat kepalanya dipenuhi tanda tanya. Ada semacam firasat, akan terjadi sesuatu tetapi ia tidak dapat menerka. Itu sempat merampas waktunya yang sangat berharga sebelum ia memutuskan untuk mengabaikan.
Lapar. Itu yang kemudian mengganggunya sehabis mandi. Ia terpaksa merebus mi instan walau sesungguhnya tidak suka. Apa boleh buat, demi memenuhi tuntutan perut yang tidak bisa diajak kompromi, ia nikmati saja apa yang ada. Bagaimanapun ia harus berdamai dengan keadaan sebab istri dan anak-anaknya sudah berada di desa sejak kemarin.
Baru saja ia selesai mencuci peralatan yang dipakai bersantap dan duduk kembali, seorang laki-laki bertubuh tinggi besar tiba-tiba sudah duduk di hadapannya, di seberang meja makan.
”Hei.., Anda siapa?” Ia menggeragap dengan wajah pucat.
Laki-laki itu tersenyum. ”Jangan takut. Saya bukan perampok atau semacamnya. Saya datang ke sini dengan cara seperti ini karena merasa akrab dengan Anda.”
”Maaf, saya tidak mengenal Anda.”
”Bukankah Anda yang memerankan Dasamuka dalam pementasan sendratari tadi?”
”Ya. Kenapa?”
”Sosok yang berusaha Anda dalami karakternya belakangan ini adalah saya.”
”Anda …?”
”Saya Dasamuka.”
Setelah mengusap-usap mata untuk meyakinkan diri bahwa masih terjaga, Suta memberanikan diri menatap wajah tamu di hadapannya dan berkata, ”Jangan mengada-ada, Dasamuka sudah mati.”
Baca juga: Cinta Buta Amangkurat
Melihat Suta bingung, laki-laki yang mengaku Dasamuka itu tersenyum lagi. ”Tubuh saya memang sudah mati, tapi tidak kesadaran saya. Saya ada di sini sekarang tanpa tubuh. Coba sentuh saya kalau tidak percaya.”
Seakan berada di bawah pengaruh hipnosis, Suta bangun dari kursi lalu mengulurkan tangan ke seberang meja tetapi tangannya tidak menyentuh apa-apa. Ia kembali duduk seperti orang linglung.
Bagaimana tidak, kenyataan yang yang sedang terpampang di depan matanya sangat tidak masuk akal.
Tanpa kehilangan senyum di bibirnya laki-laki di seberang meja berkata lagi, ”Tak usah khawatir. Saya datang hanya untuk beramah-tamah. Anggap saja saya wartawan yang ingin mewawancarai Anda.”
”Anda ingin tahu tentang apa dari saya?”
”Tentu saja tentang tokoh yang Anda perankan dalam sendratari tadi.”
Sambil menahan perasaan jengkel Suta melayangkan pandang ke arah jam dinding yang membuatnya tahu bahwa itu pukul setengah tiga dini hari.
”Saya tahu Anda akan pulang ke desa dalam beberapa jam lagi. Jangan khawatir, saya jamin Anda akan berada di sana tepat waktu dan dapat mengikuti upacara perabuan ibu mertua Anda sebagaimana mestinya,” kata laki-laki itu lagi.
”Sekarang tolong jawab pertanyaan saya. Apa pendapat Anda mengenai tokoh yang Anda perankan dalam sendratari itu?”
”Saya tidak punya pendapat pribadi,” jawab Suta jujur. ”Saya mendalami karakternya lewat buku selain mengikuti arahan sutradara.”
”Jadi, Anda membenarkan semua itu?”
”Saya menerimanya sebagai kebenaran sebagaimana persepsi orang pada umumnya.”
”Bagaimana kalau sebenarnya tidak seperti itu?”
”Maksud Anda?”
”Sebenarnya Dasamuka tidak seperti itu.”
”Lalu seperti apa?”
”Lihat mata saya.”
Lagi Suta melakukan apa yang diminta laki-laki bertubuh gempal di depannya.
”Apakah Anda mendapat kesan seburuk yang diyakini banyak orang tentang diri saya?”
Suta menggeleng pelan.
”Maukah Anda mendengar cerita tentang diri saya yang sebenarnya?”
Suta diam sejenak sebelum berdalih, ”Tapi, saya perlu istirahat.”
”Percayalah, Anda tidak perlu istirahat. Anda akan sampai di desa dalam keadaan bugar.”
”Mengapa saya harus percaya pada Anda?”
”Karena saya Dasamuka. Anda pasti tahu, saya bukan orang sembarangan. Saya satu-satunya petapa di muka Bumi yang mendapat anugerah istimewa.”
”Itu cerita sinetron.”
”Tapi itu kebenaran, seperti kehadiran saya di depan Anda saat ini.”
Setelah diam sejenak dan tidak menemukan alasan lagi untuk menampik, Suta berucap, “Ceritakanlah.”
Baca juga: Pohon di Tengah Telaga
Tiba-tiba Suta melihat kepala tamu di hadapannya bertambah dari detik ke detik sampai berjumlah sepuluh.
”Maaf, saya tak bermaksud pamer kesaktian,” kata-laki-laki itu. ”Anda pasti tahu, inilah identitas yang menyebabkan saya diberi nama Dasamuka. Ciri orang yang memiliki pengetahuan luas tentang kitab suci dan sastra.”
Suta manggut-manggut dengan pikiran bergerak liar.
”Mengapa saya menculik Dewi Sita? Bukankah itu yang ada di kepala Anda sekarang?”
Suta tidak membantah.
”Saya ingin menyelamatkannya. Saya kasihan padanya,” ungkap Dasamuka.
Suta mengerutkan kening.
”Sudah saya duga, Anda pasti tidak percaya.”
”Bagaimana saya bisa percaya? Tak ada satu referensi pun mengatakan demikian, setidaknya yang pernah saya baca.”
”Itulah mengapa saya datang ke sini sekarang.”
”Untuk mengubah karakter Dasamuka dalam sendratari kami?”
”Tidak perlu. Anda bisa dianggap tidak waras kalau sampai melakukannya.”
”Lalu untuk apa?”
”Saya hanya ingin Anda tahu sisi lain diri saya. Bukankah tidak adil menilai seseorang dari sisi negatifnya saja? Bukankah segala sesuatu di dunia ini memiliki dua unsur yang berseberangan? Rwa bhineda menurut istilah Anda, bukan?”
Suta menganggukkan kepala.
Anda bisa dianggap tidak waras kalau sampai melakukannya.
”Seperti Anda, orang-orang mengenal saya sepenuhnya sebagai asura atau raksasa. Padahal saya juga seorang brahmana. Wisrawa, ayah saya, adalah laki-laki yang sangat bijak. Dan Kubera, mantan penguasa Alengka itu, saudara tiri saya.”
Suta mulai tertarik dengan cerita tamunya.
”Saya telah melakukan tapa yang sangat berat hingga bisa meluluhkan hati Brahma yang lantas menganugerahi saya kemampuan menaklukkan para penguasa di tiga alam.”
”Para penguasa di tiga alam?”
”Betul. Para penguasa Patala, Bumi dan Swarga. Jangankan manusia atau raksasa, para dewa pun tak bisa membunuh saya. Itulah anugerah istimewa Brahma kepada saya.”
”Tapi Anda mati di tangan Rama.”
”Itu kealpaan saya yang baru saya sadari saat akan menghembuskan napas terakhir.”
”Kealpaan…?”
”Saya hanya mohon anugerah tidak akan terbunuh oleh ras apa pun di tiga alam. Pantas saja Brahma begitu murah hati. Ternyata ia menyimpan dengan rapi rahasia kematian saya, yakni seorang avatar penjelmaan Wisnu.”
”Tak dapat dimungkiri, yang berawal dengan kelahiran pasti berakhir dengan kematian. Akan selalu terbuka jalan menuju pemenuhan hukum itu, apa pun itu. Tapi, bagaimana ceritanya Anda bisa menjadi sosok setengah brahmana dan setengah raksasa?”
”Karena ketidakpedulian ibu saya.”
”Ketidakpedulian akan apa?”
”Ayah saya pernah mengingatkannya bahwa melakukan hubungan badan pada saat yang tidak tepat bisa melahirkan putra yang memiliki sifat raksasa. Tapi ibu saya tidak peduli.”
”Jadi, Anda lahir karena itu?”
”Tak perlu diragukan.”
”Maaf, sebagai brahmana, adakah kebaikan yang pernah Anda lakukan?”
”Anda tahu tentang negeri Alengka, bukan?” Dasamuka balik bertanya.
”Yang saya tahu, itu negeri para raksasa,” jawab Suta.
”Alengka itu negeri paling makmur di planet Bumi. Warganya yang paling miskin pun memiliki kendaraan berlapis emas. Rakyat negeri itu sangat mencintai dan menghormati saya karena saya memerintah dengan adil dan bijaksana.”
”Tapi menculik Dewi Sita itu sangat tidak bijaksana.”
”Saya maklum akan penilaian Anda. Dipojokkan dan didiskreditkan secara permanen sudah jadi risiko orang kalah. O ya, bukankah sudah saya katakan tadi, saya ingin menyelamatkan Sita?”
”Menyelamatkan dari apa?”
”Ketidakadilan.”
”Saya tidak menangkap maksud Anda.”
”Sita mendapat perlakuan tidak adil sejak jadi istri Rama.”
”Maksud Anda, Sita kehilangan hak untuk jadi permaisuri di Ayodya?”
”Betul. Dan yang paling menyakitkan, Rama tidak memperlakukan Sita sebagaimana mestinya setelah ia berhasil menyingkirkan saya. Ia bahkan minta Sita membuktikan kesuciannya dengan membakar diri. Adakah perilaku yang lebih biadab dari itu?”
”Rama melakukan itu untuk menghormati aspirasi rakyatnya.”
”Itu bukan aspirasi rakyat tapi intrik politik. Rama tahu betul itu tapi ia memilih mengorbankan Sita daripada menanggung risiko kehilangan takhta lagi.”
”Tuduhan Anda sangat keji,” protes Suta.
”Yang saya katakan sesuai dengan fakta,” Dasamuka memberi alasan.
”Bagaimana Anda bisa tahu?”
”Jangan lupa, saya Dasamuka. Saya memang tak punya tubuh lagi tapi kesadaran saya masih utuh. Ada satu hal lagi yang saya ingin Anda ketahui. Untuk menunjukkan rasa simpati, saya mengunjungi Sita di tempat pengasingannya selepas ia membuktikan kesuciannya.”
”Di pertapaan Walmiki?”
”Tentu. Saya sempat membawanya jalan-jalan untuk sekadar menghiburnya.”
”Sulit saya bayangkan bagaimana Anda bisa melakukannya,” tanggap Suta skeptis.
”Ingat, saya Dasamuka.”
”Terus…?”
Saya sempat membawanya jalan-jalan untuk sekadar menghiburnya.
”Cukup sampai di sini saja,” potong Dasamuka sebelum minta maaf jika kehadirannya telah membuat kenyamanan Suta terganggu.
Suta melongo mendapati kursi di seberang meja tiba-tiba sudah kosong. Ia bimbang, tidak dapat memastikan apakah perbincangannya dengan Dasamuka barusan memang nyata atau hanya halusinasi.
Ketut Sugiartha, tinggal di Beringkit Belayu, Tabanan, Bali. Telah menulis sejumlah buku meliputi kumpulan puisi, kumpulan cerpen, dan novel. Buku terbarunya: kumpulan cerpen Tentang Sepuluh Wanita dan kumpulan puisi Mantra Sekuntum Mawar. Keduanya terbit tahun 2023.