Marsha Timothy tentang Peran Marlina
PENGANTAR: Wartawan Kompas, Ambrosius Harto, mewawancarai Marsha Timothy, pemeran Marlina dalam Marlima Si Pembunuh dalam Empat Babak karya sutradara Mouly Surya. Wawancara berlangsung di Paviliun Indonesia, Village International, Festival Film Internasional Cannes 2017 di Cannes, Perancis.
Mengapa Anda sangat menginginkan peran Marlina?
Pertama kali saya diminta membaca lima lembar sinopsis dari Garin Nugroho. Cerita belum ditulis oleh Mouly Surya. Dari sinopsis itu, saya merasa, ya. Setiap ingin bermain film, yang saya inginkan adalah cerita yang berbeda dari yang sudah pernah saya perankan. Saya merasa cerita tentang Marlina ini bagus sekali. Karakter sebagai Marlina belum pernah saya mainkan. Ini tantangan baru buat saya di dunia seni peran. Kemudian, saya diajak ngobrol oleh Rama Adi dan Mouly Surya dan terus merasa deg-degan. Saya tahu, mereka pasti sedang casting meski proses casting bukan di depan kamera, melainkan sekadar ngobrol dan saya diminta membaca sinopsis. Beberapa hari kemudian, kami bertemu kembali dan mereka (Mouly dan Rama) ingin saya bermain menjadi Marlina. Itu membuat saya semakin deg-degan. Saya memang ingin banget peran ini dan begitu dikasih seperti kejutan dan bingung. ”Bisa enggak ya gua, Mol?” (pernyataan Marsha waktu itu kepada Mouly).
Marlina ini peran sebagai orang Indonesia asli. Orang Sumba atau apa pun saya belum pernah. Saya merasa look (wajah) saya enggak pas dan Mouly mengakui itu. Namun, Mouly meringankan beban saya dengan bilang bahwa dia enggak mau bikin film dokumenter. Jika saya bisa terlihat seperti karakter yang diinginkan dari kacamata sutradara, itu sudah oke. Saya senang banget saat Mouly yakin bahwa saya bisa dan pas memerankan Marlina.
Jelas ini menjadi tantangan baru. Kami belajar dialek dan latar belakang kehidupan yang jauh dari apa yang pernah saya alami. Sebagai aktris, siapa sih yang enggak mau mendapat kesempatan seperti ini? Baru kali ini saya mendapat karakter perempuan Indonesia asli, Sumba spesifiknya, dengan dialek dan segala macam dan ceritanya amat menarik.
Apa yang Anda persiapkan sebelum proses produksi agar cocok memerankan Marlina?
Pada awalnya saya berpikir terus tentang Marlina. Setelah pertama bertemu dengan Mouly dan Rama, baru setahun kemudian film ini masuk praproduksi dan produksi. Sebelum proses itu, yang saya lakukan mencari lebih banyak informasi tentang Sumba dan perempuan Sumba meski waktu itu script belum jadi. Saya mulai membaca dan mengkhayal. Saya belum pernah ke Sumba. Dari sinopsis yang saya baca, saya terus membayangkan seperti apa yang dirasakan oleh Marlina yang tinggal sendiri, ditinggal mati suami, dan menjadi korban perampokan dan pemerkosaan.
Dahulu, waktu masih tinggal di rumah lama, kediaman saya pernah dimasuki perampok dan juga tujuh orang. Memang waktu itu, saya enggak ketemu dengan mereka. Kawanan perampok itu cuma sampai ke kamar kakak saya di depan, sedangkan kami bersembunyi di ruang kerja almarhum ayah di belakang. Saya mencoba membangkitkan memori itu untuk membantu saya mengkhayal tentang Marlina. Apa, ya, rasanya Marlina yang pasti lebih dari perasaan saya waktu itu.
Setelah script jadi, diskusi dengan Mouly semakin intens. Kami banyak membahas tentang Marlina dan apa yang sutradara ingin tampilkan dari Marlina. Setelah itu, masuk ke proses reading dan workshop. Yang saya pegang adalah masukan dari Mouly bahwa Marlina adalah janda, sendiri, jauh dari tetangga, orangtua tidak ada, dirampok dan diperkosa oleh perampok. ”Perempuan yang gimana tuh menurut Lo?” (pernyataan Mouly kepada Marsha).
Apakah sebelum produksi, Anda sempat ke Sumba?
Sebelum shooting, kami tinggal di sana sekitar seminggu, melihat kehidupan Sumba secara langsung. Kami mengobrol dengan warga di sana untuk memperkaya sudut pandang kami nanti selama proses shooting. Sebelumnya, kami juga ambil kursus bahasa. Sebenarnya, bukan belajar bahasa Sumba, melainkan sekadar dialek. Kami latihan dua bulan dan ramai-ramai di Jakarta. Film ini berbahasa Indonesia, tetapi dialeknya Sumba.
Apakah Anda sempat menjalani diet khusus?
Saya sempat menurunkan berat badan. Saya melihat di Sumba itu hampir tidak ada perempuan yang berisi. Mereka rata-rata kurus atau kurang berisi. Saya menurunkan berat badan sendiri. Meskipun Mouly tidak menuntut hal itu, saya lakukan.
Apakah Anda cukup puas selama proses produksi sampai sekarang?
Kalau puas belum tahu, ya. Namun, setiap pembuatan film saya menikmati. Enggak ada dan enggak boleh ada kata capek meski memang begitu kenyataannya. Saya telah jatuh cinta di profesi ini sebagai aktris. Ya, saya selalu mencoba menikmati semua rangkaian prosesnya.
Film ini berada di Cannes, bagaimana pendapat Anda?
Luar biasa. Waktu dikasih tahu oleh Mouly, Rama, dan Fauzan Zidni (produser), ehm apa, ya, percaya enggak percaya. Saya senang banget. Bermimpi pun saya tidak pernah untuk bisa ada di sini. Tentu saya amat kaget dan bisa sampai di sini rasanya gila, ya. Premier-nya di sini, kayak sureal sih.
Anda sudah dikenal sebagai aktris. Apakah pernah terlintas bahwa film-film Anda bisa menembus Cannes?
Enggak. Saya enggak punya mimpi ke sini. Saya bukan orang yang berambisi. Saya pada awalnya mencoba dunia akting lalu jatuh cinta, saya senang mengerjakannya. Saya enggak punya ambisi. Kalau masuk nominasi, ya, senang, tapi enggak punya ambisi untuk menang penghargaan. Untuk ke sini, apalagi di sini, enggak pernah terlintas. Bermimpi soal Cannes pun saya enggak pernah. Dikasih jalan ke sini, saya, ya, bersyukur. Saat film ini diputar di sini, saya sudah menikah dan punya anak. Ini yang bisa saya banggakan untuk anak-anak saya bahwa film ibu pernah diputar di Cannes. Saya enggak berani lagi bermimpi bisa ke Cannes lagi. Semua orang tahu, masuk ke sini bukan berarti tahun berikutnya bisa lagi. Saya enggak menambah keinginan. Ya, jalani saja.
Apa yang Anda kerjakan setelah ini?
Menyiapkan peran di Wiro Sableng (bersama suami Vino Bastian). Itu saja proyeknya filmnya. Kalau berperan sebagai apa, he-he-he... saya belum boleh reveal. Pokoknya pendekar dari golongan baik. Anggini? Bukan dong. Nah, di sini, saya amat tertarik karena saya harus berlatih pencak silat di mana saya enggak punya dasar beladiri. Kami sudah belajar pencak silat sebulan terakhir. Di Wiro Sableng nanti, gerakannya pencak silat, bukan jenis beladiri lain. Kami berlatih tidak di padepokan silat, tetapi bersama koreografer Yayan Ruhian. Kami latihan di kantor. Kami merasa harus mempersiapkan dengan cepat untuk film itu. Menurut rencana, Agustus akan mulai shooting dengan lama waktu 2,5 bulan. Lokasi saya belum tahu. Wiro Sableng ini dirangkum dari beberapa episode. Enggak bisa satu novel satu film. Gawat dong bisa berapa banyak, ha-ha-ha.
Jelas ini menjadi tantangan baru. Kami belajar dialek dan latar belakang kehidupan yang jauh dari apa yang pernah saya alami. Sebagai aktris, siapa sih yang enggak mau mendapat kesempatan seperti ini? Baru kali ini saya mendapat karakter perempuan Indonesia asli, Sumba spesifiknya, dengan dialek dan segala macam dan ceritanya amat menarik.