Dinilai sebagai Ajang Coba-coba bagi Perwira
JAKARTA, KOMPAS — Ajang pemilihan kepala daerah 2018 dinilai sebagai arena coba-coba bagi para perwira aktif dari Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sejumlah perwira aktif itu mengikuti pilkada sebelum masa baktinya selesai atau belum benar-benar pensiun.
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), ada 17 bakal calon kepala daerah dari kalangan TNI dan Polri. Jumlah itu meningkat dari pilkada 2017 yang mengikutsertakan empat calon dari kalangan TNI dan Polri.
Dari ke-17 bakal calon itu, delapan orang berasal dari TNI dan sembilan dari Polri. Sebanyak 2 orang mengajukan diri sebagai bakal calon gubernur, 3 orang sebagai bakal calon wakil gubernur, 6 orang sebagai bakal calon bupati, 3 orang sebagai bakal calon wakil bupati, 2 orang sebagai bakal calon wali kota, dan 1 orang sebagai bakal calon wakil wali kota.
Sebagian besar bakal calon menjabat sebagai perwira aktif. Mereka mengajukan diri seakan sudah pensiun sehingga boleh mencalonkan diri meski sebenarnya belum benar-benar pensiun.
Mereka mengajukan surat pengunduran seperti itu sebelum mendaftar ke KPU.
Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran, Bandung, Muradi saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (14/1), mengatakan, minat perwira untuk menjajal kesempatan menjadi kepala daerah meningkat seiring dengan tidak adanya kesempatan kenaikan jabatan di institusi masing-masing.
Jumlah perwira jauh lebih banyak ketimbang jumlah pekerjaan yang tersedia. Di lingkungan TNI, 300 kolonel tidak mendapatkan pekerjaan resmi (nonjob).
Begitu pula di lingkungan Polri. Sejumlah perwira juga tidak memiliki pekerjaan resmi karena waktu tunggu rotasi jabatan terlalu lama. Mereka harus menunggu 1-2 tahun untuk mendapatkan tugas.
Posisi tinggi di TNI dan Polri tidak menjadi tantangan baru bagi mereka sehingga ingin mencari peruntungan baru.
Muradi menambahkan, kesulitan kenaikan jabatan juga terjadi karena berkembangnya faksi-faksi di institusi TNI dan Polri. ”Posisi tinggi di TNI dan Polri tidak menjadi tantangan baru bagi mereka sehingga ingin mencari peruntungan baru,” katanya.
Menurut Muradi, kontestasi di pilkada 2018 semakin menjadi ajang pertaruhan karena tidak ada jaminan pekerjaan bagi mantan perwira dari partai politik jika tidak terpilih sebagai kepala daerah. ”Jadi, semua perwira itu sedang coba-coba,” ujarnya.
Komisioner KPU, Ilham Saputra, mengatakan, untuk menghindari pertaruhan yang dilakukan bakal calon, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada telah membuat syarat pengunduran diri.
Syarat itu berlaku baik untuk anggota TNI, Polri, pegawai negeri sipil (PNS), pegawai badan usaha milik daerah (BUMD), maupun pegawai badan usaha milik negara (BUMN).
Bakal calon harus menyerahkan surat pernyataan pengunduran diri dari instansi terkait saat mendaftar.
Lima hari setelah KPU mengubah status dari bakal calon menjadi calon, mereka juga perlu menyerahkan surat pernyataan dari instansi terkait bahwa pengunduran diri tengah diproses.
Selanjutnya, surat keputusan pengunduran diri secara definitif diserahkan tiga bulan sebelum hari-H pilkada 2018. Jika surat keputusan tidak diserahkan, pencalonan akan dibatalkan.
”Sebelum ada UU Pilkada, banyak perwira yang hanya mengaku mengundurkan diri, tetapi ketika kalah, mereka kembali ke instansinya. Kami tidak ingin kejadian seperti itu terulang,” ujar Ilham.
Kaderisasi partai bermasalah
Direktur Pusat Kajian Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana mengatakan, parpol tidak mampu menyediakan kader yang kompeten untuk memimpin daerah.
Keputusan untuk mengusung bakal calon di luar kader berpotensi membuat soliditas partai keropos. Pemilihan bakal calon kerap dilakukan secara tiba-tiba.
Alih-alih menyelesaikan masalah tersebut, mereka justru menempuh jalan pintas, yaitu mengusung bakal calon dari kalangan TNI dan Polri.
”Parpol mendukung saja sosok dari TNI dan Polri yang dianggap lebih populer dan disukai masyarakat karena parpol membutuhkan kandidat yang berpotensi menang,” ucap Aditya.
Ia menambahkan, keputusan untuk mengusung bakal calon di luar kader berpotensi membuat soliditas partai keropos. Pemilihan bakal calon kerap dilakukan secara tiba-tiba.
Menurut Muradi, parpol semestinya melakukan pemetaan bakat perwira setidaknya setahun sebelum pilkada berlangsung.
Jika perwira yang dibidik menyetujui keinginan parpol menjadikannya politisi, parpol dapat membuat nota kesepahaman dengan instansi asal dan penyelenggara pilkada untuk melakukan pembinaan.
Pembinaan itu memungkinkan bakal calon dan parpol saling memahami visi dan ideologi satu sama lain.
Wakil Sekretaris Jenderal Golkar Ace Hasan Syadzily menuturkan, partainya mendukung mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Letnan Jenderal Edy Rachmayadi jelang akhir masa pendaftaran. Dukungan pun diberikan atas dasar kesepakatan koalisi.
Golkar memiliki kedekatan secara historis dengan TNI dan Polri. Sejak pemerintahan Orde Baru, kedua institusi itu menjadi pendukung terkuat Golkar.
Ace menambahkan, pemilihan bakal calon dari TNI dan Polri didasarkan pada karakter kepemimpinan yang kuat dan cocok untuk diterapkan suatu daerah. Meski bukan kader, Golkar tidak khawatir langkah yang ditempuh Edy akan berseberangan dengan visi dan ideologi partai.
”Golkar memiliki kedekatan secara historis dengan TNI dan Polri. Sejak pemerintahan Orde Baru, kedua institusi itu menjadi pendukung terkuat Golkar,” ujar Ace.
Potensi kemenangan
Menurut Aditya, potensi kemenangan calon dari TNI dan Polri kecil. Profesi politisi dan militer memiliki sifat dasar dan pola pendidikan yang berbeda.
”Politisi harus dekat dan empati kepada masyarakat, sedangkan kecenderungan tentara itu tegas, formal, sulit diajak kompromi, dan tidak fleksibel,” ujarnya.
Oleh karena itu, bakal calon membutuhkan waktu lama untuk mentransformasikan diri.
Hasil pemilihan pada dua gelombang pilkada sebelumnya pun menunjukkan bahwa mereka tidak dominan.
Berdasarkan data Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang disarikan dari KPU, pada pilkada tahun 2015, dari 18 lokasi pemilihan yang pesertanya ada purnawirawan TNI dan Polri, purnawirawan menang di tiga daerah. Daerah itu adalah Kabupaten Bantul, Pesisir Selatan, dan Rokan Hulu (Kompas, 7/1).
Pada pilkada 2017, mereka juga menang di tiga daerah dari total tujuh daerah yang memiliki peserta purnawirawan TNI dan Polri. Ketiga daerah itu adalah Kabupaten Buru, Buton Tengah, dan Kota Cimahi. ”Sebagian dari yang menang adalah putra daerah,” kata Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini (Kompas, 7/1). (DD01)