Pemerintah Alihkan Tugas Impor Beras kepada Perum Bulog
Oleh
Mukhammad Kurniawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akhirnya menugasi Perum Bulog untuk mengimpor beras. Sebelumnya, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita pada Kamis pekan lalu menyebutkan impor beras akan dilakukan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero). Keputusan menunjuk Perum Bulog untuk mengimpor beras diambil dalam rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Perekonomian, Senin (15/1).
Rapat dipimpin oleh Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution. Hadir dalam rapat itu, antara lain, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti, dan Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto.
”Sesuai mandat Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2016 dan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015, pemerintah menugasi Perum Bulog untuk impor dalam rangka stabilisasi harga beras, meningkatkan cadangan beras pemerintah, dan menjaga ketersediaan beras di masyarakat,” kata Darmin.
Keputusan itu sekaligus membatalkan keputusan impor melalui PT PPI dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 1 Tahun 2018 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Beras yang mendasarinya. Dengan demikian, impor akan dilakukan oleh Perum Bulog dalam waktu segera.
Menurut anggota Ombudsman RI, Ahmad Alamsyah Saragih, penunjukan PT PPI tidak sejalan dengan Perpres No 48/2016 dan Inpres No 5/2015. Sesuai Pasal 3 Ayat 2 Perpres No 48/2016 tentang Penugasan kepada Perum Bulog dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional menyebutkan bahwa untuk pengamanan harga di tingkat produsen dan konsumen, pengelolaan cadangan beras pemerintah, dan penyediaan beras untuk golongan masyarakat tertentu, Perum Bulog bisa mengimpor beras.
Sementara pada diktum ketujuh Inpres No 5/2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras oleh Pemerintah menyebutkan bahwa pengadaan beras dari luar negeri dilakukan oleh Perum Bulog. Impor ditempuh dengan tetap menjaga kepentingan petani dan konsumen dengan pertimbangan ketersediaan dalam negeri tak cukup, kepentingan memenuhi cadangan beras pemerintah, atau untuk menjaga stabilitas harga.
Menurut Alamsyah, sesuai ketentuan itu, pengimpor beras semestinya Perum Bulog. Selain itu, impor semestinya ditempuh untuk meningkatkan cadangan beras pemerintah serta kewibawaan stok Bulog sebagai stabilisator harga, bukan mengguyur pasar karena situasinya mendekati panen yang dikhawatirkan justru menekan harga di tingkat petani.
Penggelembungan
Ombudsman Republik Indonesia menengarai adanya penggelembungan data produksi padi. Gejala naiknya harga beras sejak akhir tahun tanpa temuan penimbunan dalam jumlah besar serta klaim produksi cukup dan surplus menjadi indikasinya.
Anggota Ombudsman RI, Ahmad Alamsyah Saragih, di Jakarta, Senin (15/1), menyatakan, akibat pernyataan surplus yang tidak didukung data akurat tentang jumlah dan sebaran stok beras yang sesungguhnya di masyarakat, pengambilan keputusan berpotensi keliru. Data beras menjadi contoh. Kementerian Pertanian mengklaim produksi beras surplus dan stoknya cukup berdasarkan perkiraan luas panen dan produksi gabah.
Kenyataannya, harga berangsur naik dan mencapai titik tertinggi dalam kurun tiga tahun terakhir. Laju kenaikan berlangsung lebih kencang sejak akhir Desember 2017, kemudian berlanjut pada awal Januari 2018 meski pemerintah melalui Perum Bulog telah menggelar operasi pasar sejak Oktober 2017.
Dengan kondisi itu, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan akhirnya memutuskan untuk mengimpor beras 500.000 ton. Namun, prosedur impor sebagaimana disampaikan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dinilai tidak sejalan dengan sejumlah ketentuan. Selain berpotensi penyalahgunaan kewenangan, keputusan impor dinilai tidak tepat karena dilakukan menjelang masa panen dan bukan oleh Perum Bulog sebagaimana mandat pemerintah.