Kalosara yang Merekatkan Persatuan
”Inae kosara ie pinesara. Inae lia sara ie pinekasara....” (Siapa yang menghargai adat ia akan dihormati. Siapa yang melanggar adat ia akan diberi sanksi.)
Bagi suku Tolaki yang mendiami wilayah Konawe di Sulawesi Tenggara, satu lingkaran batang rotan yang dipilin menjadi tiga bagian merupakan simbol keagungan hukum adat. Rotan itu wujud tradisi kalosara yang telah diagungkan sebagai pemersatu sekaligus penyelesai berbagai konflik.
Kalosara berasal dari dua kata, kalo dan sara. Menurut Abdurrauf Tarimana dalam bukunya, Kebudayaan Tolaki (1985), kalo mengekspresikan kesatuan dan persatuan semua warga Tolaki yang berasal dari satu nenek moyang, adat dalam kehidupan kerabat, dan pola dari suatu wilayah tempat permukiman. Sementara itu, sara adalah adat istiadat.
Atas filosofi itu, kalo diwujudkan dalam bentuk batang rotan atau yang disebut uewatu yang dipilin menjadi tiga bagian. Kemudian, masing-masing ujung rotan diikatkan menjadi sebuah lingkaran. Untuk melengkapi tradisi kalosara, lingkaran rotan itu dialaskan kain putih yang disimpan di atas wadah anyaman dari daun pandan hutan.
Perselisihan dan kesalahpahaman, bahkan yang hampir berujung kematian dari salah satu pihak, dapat didamaikan melalui suatu prosesi dengan menggunakan kalosara sebagai perangkat adat utama
Pengajar antropologi Universitas Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara, Abdul Alim, mengatakan, kalosara mengekspresikan bentuk dan susunan alam semesta dan isinya. Lingkaran rotan merupakan simbol dunia atas atau Tuhan Yang Mahakuasa. Kain putih menjadi simbol dunia tengah yang dihuni manusia. Adapun wadah anyaman atau siwole uwa adalah simbol dunia di dasar bumi.
Pertemuan tiga unsur yang disimbolkan dalam tiga rotan yang dipilin menjadi satu dalam kalo, kata Abdul, menggambarkan bahwa apa pun kesulitan yang ditemui masyarakat Tolaki selalu dapat diselesaikan melalui musyawarah yang mempertemukan kedua pihak yang bermasalah.
”Perselisihan dan kesalahpahaman, bahkan yang hampir berujung kematian dari salah satu pihak, dapat didamaikan melalui suatu prosesi dengan menggunakan kalosara sebagai perangkat adat utama,” ujar Abdul.
Kegunaan
Peran kalosara bagi masyarakat Tolaki dapat dirujuk dari kisah yang menaungi tradisi itu. Salah satu versi yang paling umum dipahami masyarakat Tolaki adalah kalosara merupakan peninggalan Wekoila, raja pertama Konawe yang bertakhta pada 948 hingga 968.
Pada pertengahan abad ke-10, kondisi wilayah Konawe, yang didiami masyarakat Tolaki, dalam keadaan kacau-balau karena tidak ada sosok pemimpin yang mampu memberikan tata tertib untuk mengatur kehidupan masyarakat. Kondisi ini diperparah dengan perang saudara di tiga kerajaan yang berada di Konawe, yaitu Kerajaan Padangguni, Kerajaan Besulutu, dan Kerajaan Wawolesea. Saat ini, wilayah Konawe terbagi dalam sejumlah kabupaten, seperti Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan, Kolaka, dan Kolaka Utara.
Setelah konflik berkepanjangan yang dimenangi Kerajaan Padangguni itu, hadir perempuan bernama Wekoila. Kehadiran Wekoila di hadapan raja Kerajaan Padangguni, yaitu Raja Rundulangi, membawa sebuah benda sakti bernama kalo.
Kemudian, setelah Wekoila menikah dengan anak Raja Padangguni yang bernama Ramandalangi, ia memindahkan pusat kerajaan ke daerah Unaaha. Perpindahan ini membuat nama kerajaan juga berganti menjadi Konawe dengan Wekoila menjadi raja pertama. Atas penobatan itu, Wekoila menjadikan kalo alat kebesaran Kerajaan Konawe.
Melalui petunjuk Wekoila, lanjut Abdul, penggunaan kalo dibagi atas tiga ukuran. Pertama, kalo dengan lingkaran berukuran tubuh orang dewasa ditujukan untuk urusan golongan ningrat atau bangsawan. Kedua, kalo dengan lingkaran berukuran bahu orang dewasa dikhususkan untuk urusan golongan toono motuo atau pemangku adat. Ketiga, kalo yang berukuran kepala atau lutut manusia dewasa diperuntukkan bagi urusan golongan toono dadio atau masyarakat umum.
”Sejak saat itu, kehidupan yang tenteram terwujud di tanah Konawe. Alhasil, kalo memiliki peran untuk mengatur hubungan kekeluargaan dan persatuan bagi masyarakat Tolaki yang ada di wilayah Konawe,” tutur Abdul.
Pelerai konflik
Kepala Seksi Bimbingan Edukasi Museum Negeri Sulawesi Tenggara Rustam Tombili menjelaskan, tradisi kalosara masih bertahan lebih dari 10 abad karena ada kesadaran dari masyarakat Tolaki untuk menjaga adat yang menjadi wujud penghormatan kepada leluhur. Kalosara juga masih digunakan untuk menyatukan individu atau kelompok di masyarakat yang berkonflik.
Bagi orang yang menentang kalosara, masyarakat Tolaki percaya hukuman alam akan menimpa mereka, bahkan sanksi sosial berupa pengucilan dari lingkungan akan diberikan kepada pelanggar kalosara
Dalam melaksanakan upacara tradisi kalosara, kalo yang berupa lingkaran rotan berpilin tiga dialaskan wadah anyaman segi empat yang ditempatkan di tengah-tengah majelis pertemuan. Kemudian, kedua belah pihak yang berkonflik duduk berhadapan di kedua sisi kalo. Sebagai saksi, perwakilan pemerintah dan tokoh adat juga duduk dan menyaksikan musyawarah perdamaian di dua sisi lainnya dari wadah anyaman itu.
”Bagi orang yang menentang kalosara, masyarakat Tolaki percaya hukuman alam akan menimpa mereka, bahkan sanksi sosial berupa pengucilan dari lingkungan akan diberikan kepada pelanggar kalosara,” kata Rustam, yang juga tokoh adat Desa Rawua di Kecamatan Sampara, Kabupaten Konawe.
Di era modern ini, permasalahan yang umum diselesaikan melalui kalosara, lanjut Rustam, adalah pertikaian yang disebabkan tanah adat hingga persoalan harta warisan di keluarga.
Selain untuk menyelesaikan konflik, kalosara juga digunakan dalam acara lamaran. Khusus untuk acara itu, daun sirih dan buah pinang ditambahkan di tengah kalo. ”Pernikahan juga bertujuan untuk mempersatukan dua keluarga. Maka, itulah fungsi kalosara,” katanya.
Dalam Pilkada 2018, kalosara dapat menjadi pegangan semua warga Sulawesi Tenggara, bukan hanya masyarakat Tolaki, untuk menciptakan pilkada yang tetap menjunjung tinggi persaudaraan dan persatuan.
Baca juga: