DPR Prakarsai Reformasi Politik
Rabu, 6 Mei 1998
Setelah Presiden Soeharto dan sejumlah menteri Kabinet Pembangunan VII tetap bersikukuh akan melaksanakan reformasi sesuai dengan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), termasuk dengan kembali menjelaskan makna reformasi, DPR pun melakukan langkah berani. DPR memulai langkah reformasi dengan membahas pengajuan hak inisiatif untuk mengajukan rancangan undang-undang (RUU), khususnya di bidang politik.
Usul inisiatif DPR dalam mengajukan RUU ini nyaris tidak pernah dilakukan sepanjang masa pemerintahan Orde Baru. Perubahan atau penyusunan perundang-undangan lebih banyak berasal dari eksekutif, bukan lembaga legislatif. Dalam berita yang dimuat di halaman satu harian ini, jelas tergambar keseriusan DPR itu. Judul beritanya adalah ”DPR Mulai Gulirkan Reformasi: Sedikitnya Delapan UU Segera Diubah” (Kompas, 6/5/1998).
Baca juga: Terungkapnya Penculikan Aktivis
Parlemen yang selama ini berada dalam kendali eksekutif, terutama Presiden Soeharto, mulai berusaha mendengarkan pendapat rakyat. Misalnya, dengan tegas DPR menolak rencana pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif dasar listrik, yang diyakini akan semakin memberatkan rakyat dalam masa krisis (Kompas, 5/5/1998).
Ketua DPR Harmoko pun dalam pidatonya pada pembukaan masa persidangan IV tahun sidang 1997/1998 di gedung MPR/DPR Jakarta, Senin (4/5/1998), menyatakan, DPR memutuskan untuk mengajukan perubahan UU dalam bidang politik melalui usul inisiatifnya. Diharapkan, beberapa produk baru perundang-undangan itu dapat segera berlaku. Pemilihan Umum (Pemilu) 2002 dan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (SU MPR) 2003 juga diharapkan sudah mempergunakan UU yang baru.
Sebagai langkah awal dari agenda politik DPR itu, pimpinan DPR bertemu pimpinan fraksi-fraksi DPR guna membahas dan mengkaji reformasi politik yang dimaksud. UU yang akan disempurnakan DPR adalah paket lima UU di bidang politik, yakni UU tentang Parpol/Golkar, UU tentang Pemilu, UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, UU tentang Referendum, dan UU tentang Keormasan. Selain itu, DPR juga akan meninjau kembali UU tentang Subversif.
Parlemen yang berada dalam kendali eksekutif, terutama Presiden Soeharto, mulai berusaha mendengarkan pendapat rakyat.
Langkah pimpinan DPR ini pun saat itu dinilai sangat berani karena mayoritas parlemen dikuasai oleh anggota Fraksi Karya Pembangunan (F-KP) yang merupakan kepanjangan tangan dari Golongan Karya (Golkar). Soeharto merupakan Ketua Dewan Pembina Golkar, dengan kekuasaan yang absolut. Harmoko juga kader Golkar. Sebelum menjabat Ketua DPR/MPR, dia pernah menjabat Menteri Penerangan (1983-1997) dan Ketua Umum Golkar (1993-1998). Ia juga pernah menjadi Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) serta mendirikan surat kabar Pos Kota.
Baca juga: Reformasi Hanya Ada di GBHN
Sikap Harmoko yang mendorong perubahan dari DPR dengan ”melawan” kehendak Soeharto membuatnya ditolak oleh keluarga Cendana, sebutan bagi keluarga mantan presiden kedua Indonesia itu. Namun, saat mendorong reformasi dari DPR, seperti dituliskan dalam berita di harian Kompas (6/5/1998), Harmoko tak memasang target waktu yang pasti. ”Prinsip kita, lebih cepat lebih baik,” katanya. Dia juga menolak tuntutan mahasiswa agar MPR menggelar sidang umum istimewa. Tuntutan itu dinilainya kurang ada dasarnya.
Padahal, seperti digambarkan dalam foto utama harian Kompas edisi 6 Mei 1998, sekitar 200 anggota Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) berunjuk rasa dan mendatangi gedung MPR/DPR.
Mereka menyerukan dilakukannya reformasi total ataupun digelarnya Sidang Umum Istimewa MPR. Massa membawa poster dan spanduk, antara lain meminta anggota DPR/MPR untuk bangun dan mendengarkan aspirasi rakyat, serta prihatin dengan krisis yang terjadi serta berkepanjangan. Namun, anggota HMI itu tak bisa bertemu dengan pimpinan MPR/DPR.
Baca juga: BBM dan Blunder Politik Soeharto
Krisis berkepanjangan, khususnya krisis ekonomi di negeri ini, juga tergambar melalui pemberitaan harian Kompas edisi 6 Mei 1998. Di halaman pertama, misalnya, ada berita berjudul ”Harga Minyak Tanah Melambung” dan ”Soal Kenaikan BBM dan Tarif Listrik: DPR Panggil Mentamben” dengan berita utamanya berjudul ”IMF Cairkan Semilyar Dollar AS”. Berita utama itu berisi kepastian Dana Moneter Internasional (IMF) menyetujui pencairan bantuan satu miliar dollar Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia dalam waktu dua hari ini.
Unjuk rasa mahasiswa dan langkah DPR memulai reformasi menunjukkan, adanya krisis kepercayaan kepada Presiden Soeharto.
Dana itu akan dimanfaatkan memperkuat cadangan devisa dan mendukung neraca pembayaran. Dengan pencairan bantuan itu, diharapkan dalam waktu tiga bulan ini Indonesia bisa mendapatkan bantuan 7,050 miliar dollar AS dari bantuan bilateral dan bantuan lain. Penegasan itu disampaikan Menko Ekuin/Kepala Bappenas Ginandjar Kartasasmita dan Penasihat IMF PR Narvekar kepada wartawan seusai diterima Presiden Soeharto di kediaman, Jalan Cendana, Jakarta, Selasa (5/5/1998).
Dengan bantuan IMF itu jelas sekali negeri ini sedang krisis. Unjuk rasa mahasiswa dan langkah DPR memulai reformasi juga menunjukkan, adanya krisis kepercayaan kepada pemerintah, khususnya Presiden Soeharto. Namun, tampaknya pemimpin Orde Baru itu tetap percaya diri....