Saatnya Keluar dari Bayang-bayang Soeharto
Kamis, 7 Mei 1998
Pimpinan DPR tampaknya benar-benar sudah berhitung untuk ”melawan” kehendak Presiden Soeharto sehingga berani menggulirkan reformasi dengan mengajukan rancangan undang-undang inisiatif, khususnya dalam bidang politik. Bahkan, dengan alasan lebih mendengarkan aspirasi rakyat, parlemen ingin keluar dari bayang-bayang Soeharto. Sikap ini tidak dilakukan oleh pimpinan organisasi politik yang bersifat ”oposisi” terhadap pemerintah, yakni Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia, tetapi justru dimotori oleh Golongan Karya dan ABRI.
Baca juga: Terungkapnya Penculikan Aktivis
Kondisi ini tampak dari pernyataan Ketua Umum Fraksi ABRI dan Wakil Ketua DPR Syarwan Hamid. Pernyataan mantan Kepala Staf Sosial Politik (Kasospol) ABRI itu menjadi berita di halaman satu harian Kompas edisi 7 Mei 1998, dengan judul ”Ketua Umum Fraksi ABRI Syarwan Hamid: Sekaranglah Saatnya Menjadi Pelaku Sejarah”. ”Sekaranglah saatnya bagi kita untuk memilih ingin menjadi pelaku sejarah, atau hanya akan menjadi pelengkap sejarah,” katanya, seperti dikutip Kompas di Jakarta, Rabu (6/5/1998).
Padahal, Soeharto merupakan Ketua Dewan Pembina Golkar, yang kekuasaannya absolut. Dia sebagai Presiden juga menjabat Panglima Tertinggi ABRI sehingga berwenang mengendalikan fraksi ABRI di DPR/MPR. Namun, dengan pernyataan Ketua Dewan Harmoko sebelumnya serta ditambah dengan pernyataan Syarwan, terasa parlemen memang tak ingin terus-menerus di bawah kendali eksekutif.
Baca juga: Reformasi Hanya Ada di GBHN
Syarwan pun mengakui, reformasi yang mulai digulirkan DPR merupakan pekerjaan besar dan rumit, serta harus diselesaikan dalam waktu singkat. Reformasi itu tidak hanya akan mengubah perundang-undangan, tetapi juga akan membawa dampak yang sangat signifikan, yakni perubahan tatanan perpolitikan nasional. Keterlibatan dalam reformasi merupakan tindakan bersejarah.
Saya kira akar dari persoalan ini adalah bagaimana kedaulatan rakyat lebih terwujud.
Menurut Syarwan, reformasi dapat mengarah pada perubahan besar. Reformasi tidak hanya menyangkut sistem pemilu, periodisasi masa jabatan presiden, kehadiran partai baru, tapi yang lebih penting adalah upaya makin mengejawantahkan kedaulatan rakyat. ”Saya kira akar dari persoalan ini adalah bagaimana kedaulatan rakyat lebih terwujud. Ini akan tecermin dari bagaimana DPR sebagai lembaga legislatif berperan secara optimal,” kata Syarwan (Kompas, 7/5/1998).
”Kita melihat ini peluang yang sangat bagus,” kata Syarwan lagi. Dia pun menilai aspirasi yang tertangkap dari masyarakat, termasuk melalui unjuk rasa mahasiswa, terutama adalah perubahan UU politik. Namun, dalam perkembangan pembahasan mungkin berkembang ke hal yang terkait dengan periodisasi masa jabatan presiden dan kelahiran partai baru. ”Itu bisa saja terjadi. Yang penting, apa pun nanti yang kita putuskan mesti mengacu kepada keinginan kuat masyarakat,” ujarnya saat itu.
ABRI yang kala ini masih menerapkan doktrin Dwi Fungsi, yakni pertama menjaga keamanan dan ketertiban negara, serta kedua, memegang kekuasaan dan mengatur negara, memang ingin berperan besar dalam perubahan yang saat itu diperkirakan akan terjadi di negeri ini. Dengan peran ganda ini, ABRI diizinkan memegang posisi di dalam pemerintahan.
Baca juga: BBM dan Blunder Politik Soeharto
Oleh karena itu, dari 500 anggota DPR yang ditetapkan tahun 1997, ABRI memiliki 75 anggota. Wakil rakyat lainnya berasal dari Golkar sebanyak 325 orang, 89 orang dari PPP, dan hanya 11 orang yang mewakili PDI. Sejumlah prajurit TNI dan Polri pun menjadi pimpinan lembaga negara, termasuk di MPR/DPR serta menjadi kepala daerah.
ABRI tak akan membentuk partai karena karena khawatir justru akan memecah-belah dirinya.
Syarwan, setelah Soeharto berhenti menjadi Presiden pada 21 Mei 1998, diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri oleh Presiden BJ Habibie (1998-1999). Ia menegaskan, ABRI tak akan membentuk partai karena khawatir justru akan memecah belah dirinya. ABRI menjadi kekuatan stabilisator untuk menjaga kekompakan rakyat dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jika anggota ABRI dibebaskan menjadi anggota parpol, kekuatannya pasti terpecah pula. ABRI akan semakin mengurangi perannya dalam bidang sosial politik.
Terkait gerakan reformasi ini, harian Kompas juga memberitakan masyarakat internasional yang mengikuti perkembangan di Tanah Air. Hal ini terlihat dari pernyataan Menteri Keuangan Inggris Gordon Brown, yang tengah mengunjungi Jakarta, yang menegaskan, ”Komunitas internasional butuh kepastian dari Pemerintah Indonesia mengenai niat melaksanakan reformasi ekonomi dan politik. Tanpa melaksanakan reformasi yang mengutamakan nasib rakyat miskin, Indonesia tidak layak mengharapkan dukungan ataupun kepercayaan pasar dunia” (Kompas, 7/5/1998 halaman 7). Dukungan untuk Indonesia akan lebih besar jika melakukan reformasi politik.
Baca juga: DPR Prakarsai Reformasi Politik
Pernyataan Menkeu Inggris itu mendapat pembenaran melalui berita utama harian Kompas hari itu, yang mengangkat judul ”Januari-April: Inflasi 33,09 Persen”. Angka inflasi yang tinggi itu menunjukkan negara ini memang dalam kondisi krisis. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah M Amien Rais pun mendesak pemerintahan Orde Baru untuk mengakui kesalahan sebab krisis yang terjadi saat itu terus berkepanjangan. Tak terselesaikan….