JERUSALEM, KAMIS -- Israel mengesahkan undang-undang yang secara resmi mengistimewakan warga Yahudi dan mendiskriminasikan keturunan Arab. Undang-undang baru ini dinyatakan melegalkan kebijakan apartheid di negara itu. Sejumlah pihak, termasuk Presiden Israel Reuven Rivlin, menolak aturan tersebut.
Parlemen Israel mengesahkan UU itu pada Kamis (19/7/2018). Dari 120 anggota parlemen, 62 mendukung, 55 menentang, dan 2 abstain. Dalam UU itu, ditetapkan Ibrani sebagai bahasa resmi dan pembentukan komunitas Yahudi sebagai kepentingan nasional.
Israel akan menghapus tanda penunjuk berbahasa Arab di tempat umum. Semua penunjuk hanya akan menggunakan bahasa Ibrani. Sesuai UU itu, bahasa Arab bukan lagi bahasa resmi negara.
Sekretaris Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Saeb Erekat mengatakan, UU itu berbahaya dan rasis. UU itu melegalkan apartheid—kebijakan diskriminatif berdasarkan warna kulit yang pernah diterapkan di Afrika Selatan dari 1948 hingga dihapus pada awal 1990-an—dan secara resmi mendefinisikan Israel sebagai penerap apartheid.
Berbagai versi UU sudah menjadi perdebatan selama bertahun-tahun. Pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu memaksa UU itu disahkan sebelum masa sidang kali ini berakhir. UU ini disahkan setelah ada perubahan aturan yang akan mengizinkan negara mengesahkan masyarakat yang memiliki agama dan kewarganegaraan sama untuk menjaga karakter eksklusif masyarakat itu.
”Ini negara kita, negara Yahudi, tetapi beberapa tahun terakhir ada orang yang mempertanyakan hal itu. Seperti juga soal prinsip keberadaan dan hak kita. Ini momen penting dalam kronik zionisme dan sejarah Israel,” tutur Netanyahu.
Penolakan
Anggota Partai Likud pengusul UU itu, Avi Dichter, mengatakan, UU tersebut untuk mempertahankan status Israel sebagai negara Yahudi dan demokrasi. Namun, istilah Yahudi dan demokrasi dihapuskan di rancangan awal UU. UU itu juga tidak mengacu pada persamaan yang ditegaskan dalam proklamasi pendirian Israel pada 1948.
Tokoh politisi Arab di Israel, Ayman Odeh, menyebut pengesahan itu tanda matinya demokrasi di Israel. Para politisi keturunan Arab menyebut UU itu rasis. ”UU ini tak hanya mendorong diskriminasi, tetapi juga rasisme,” kata Yousef Jabareen, anggota parlemen Israel.
Dari 9 juta penduduk Israel, hingga 17,5 persennya merupakan keturunan Arab. Mereka sejak lama mengeluhkan diskriminasi.
Rivlin juga pernah memperingatkan bahaya UU itu. Ia menyatakan, UU membahayakan orang Yahudi di berbagai penjuru dunia dan Israel. Bahkan, UU itu bisa dijadikan senjata oleh musuh Israel. ”Apakah kita mau mendukung diskriminasi dan pengecualian berdasarkan etnis,” tulis Rivlin dalam surat terbuka yang disiarkan beberapa waktu lalu.
Peneliti Institut Demokrasi Israel, Shuki Friedman, menyebutkan, banyak UU hanya simbol. Namun, hal itu akan memaksa pengadilan lebih mempertimbangkan keyahudian negara itu dan mempersempit pemaknaan hak warga keturunan Arab. ”Dengan menekankan keyahudian Israel, akan mengurangi, tidak secara langsung, nilai-nilai demokrasi,” ujarnya.
Kepala Kebijakan Politik Uni Eropa Frederica Mogherini menyatakan prihatin atas pengesahan UU itu. (AFP/REUTERS/RAZ)