Putusan PTUN Jadi Alternatif Buntunya Polemik Caleg Bekas Koruptor
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyelenggara pemilihan umum saat ini mengalami kebuntuan terkait penyelesaian kasus bekas koruptor menjadi calon anggota legislatif karena belum ada putusan dari Mahkamah Agung. Oleh sebab itu, caleg ataupun pihak yang merasa dirugikan bisa mengajukan permohonan ke lembaga peradilan, yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara, sebagai alternatif jalur hukum.
Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Veri Junaidi mengatakan, seharusnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) Dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bisa saling menghormati kewenangan setiap lembaga. Hal ini perlu dilakukan karena terjadi perbedaan sikap antara KPU dan Bawaslu terkait Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 terkait pelarangan bekas napi korupsi menjadi caleg.
”Kami melihat, yang sebenarnya terjadi yaitu konflik antara caleg bekas napi korupsi dan penyelenggara pemilu. Seharusnya, pihak yang merasa dirugikan ini bisa mengajukan permohonan ke lembaga peradilan, yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN),” ujarnya dalam diskusi bertajuk ”Jalan Hukum untuk Konflik KPU-Bawaslu” di Jakarta, Kamis (6/9/2018).
Para caleg tersebut seharusnya bisa mengajukan permohonan ke PTUN selama belum ada putusan dari Mahkamah Agung (MA) terkait judicial review PKPU No 20/2018.
Menurut Veri, putusan PTUN ini bisa menjadi rujukan hukum jika nantinya KPU tetap mencoret nama-nama bakal caleg bekas koruptor meskipun Bawaslu telah menyetujui permohonan bakal caleg tersebut.
”MA memiliki ranah hukum, yaitu pada pengujian peraturan, sedangkan PTUN ranahnya pada pengujian administrasi. Namun, jika putusan MA keluar sebelum putusan PTUN, PTUN perlu mengikuti putusan MA tersebut,” kata Veri.
Veri berharap, laporan ke PTUN ini bisa menjadi jalan tengah di saat MA belum mengeluarkan putusannya. Menurut Veri, hal ini perlu dilakukan agar tahapan pemilu tidak terhambat jika semua pihak hanya menanti putusan dari MA.
Sebelumnya, Rabu (5/9/2018) malam, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Bawaslu, dan KPU melakukan pertemuan tripartit untuk membahas hasil polemik PKPU No 20/2018.
Ketua DKPP Harjono menjelaskan, saat ini penyelenggara pemilu berencana untuk menyurati MA agar lembaga tersebut bisa segera mengeluarkan putusan.
Ketua Bawaslu Abhan Misbah berharap, putusan MA bisa keluar sebelum daftar calon tetap (DCT) dikeluarkan pada Kamis (20/9/2018). Hingga saat ini, para penyelenggara pemilu masih menunda status para bekas narapidana korupsi ini, apakah akan diperbolehkan menjadi caleg atau tidak.
Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, KPU akan tetap mencoret nama bekas narapidana korupsi ini jika putusan MA belum keluar setelah DCT ditetapkan. ”Selama PKPU No 20/2018 belum ada perubahan, maka akan kami laksanakan,” ujarnya.
Selain itu, Harjono mengatakan, penyelenggara pemilu akan kembali melakukan pendekatan kepada elite parpol yang telah menandatangani pakta integritas. Menurut ia, para elite parpol perlu bertanggung jawab karena masuknya daftar bekas koruptor ini sebagai caleg.
Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi), Jeirry Sumampow, menjelaskan, sudah seharusnya publik tidak menyalahkan KPU atau Bawaslu terhadap polemik yang terjadi. ”Kami tidak ingin nantinya parpol peserta pemilu memanfaatkan kekisruhan kedua lembaga ini sehingga tahapan pemilu menjadi berantakan,” katanya.
Sebelumnya, sejumlah parpol telah berkomitmen untuk mencoret nama-nama bekas terpidana korupsi. Sekjen PPP Arsul Sani mengatakan, partainya sudah mencoret bekas napi korupsi yang menjadi caleg.
Meski demikian, Arsul berharap agar polemik hukum terkait hak konstitusi setiap warga untuk dipilih bisa segera diselesaikan oleh penyelenggara pemilu.
Senada dengan Arsul, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera mengatakan, PKS akan mencoret bekas narapidana korupsi ini. Menurut Mardani, masuknya bekas terpidana korupsi menjadi caleg merupakan kelalaian dari parpol yang tidak memperhatikan staus para bakal calegnya.