JAKARTA, KOMPAS -- China kembali menjadi sorotan publik internasional terkait program pelatihan dan pendidikan vokasi yang dilaksanakan di Provinsi Xinjiang, wilayah barat laut negeri itu. China diminta memberikan informasi yang lebih terbuka guna menegaskan program ini bukan kamp penahanan etnis Uighur.
Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid dalam diskusi bertajuk "Mengungkap Fakta Pelanggaran HAM terhadap Etnis Uighur" di Jakarta, Kamis (20/12/2918), mengatakan, tanggapan Kedutaan Besar Republik Rakyat China di Indonesia bahwa program itu bukan kamp penahanan adalah pernyataan normatif.
"Sanggahan itu bukan hal baru. Kami baru mengapresiasi jika mereka mengundang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) karena selama ini belum ada akses bagi PBB masuk ke wilayah China untuk investigasi,” tutur Usman.
Dalam laporan Amnesty International berjudul China: “Where Are They?”, Amnesty International mewawancarai lebih dari 100 orang di luar China yang melaporkan kehilangan anggota keluarga mereka di daerah otonomi Uighur Xinjiang (Xinjiang Uyghur Autonomous Region) pada September 2018.
Amnesty International menemukan, sebanyak satu juta orang etnis Uighur ditahan dan disiksa dalam kamp penahanan yang berkedok sebagai program pelatihan dan pendidikan vokasi itu. Kamp ini diperkirakan sebagai upaya indoktrinasi terhadap warga Uighur yang dinilai menganut ajaran yang tidak sejalan dengan paham negara.
Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan menambahkan, jika China benar membentuk kamp penahanan, tindakan itu telah melanggar nilai kemanusiaan dan agama. "Kami minta pemerintah China bicara agar tidak memperkeruh suasana,” tuturnya.
Namun, selama beberapa tahun terakhir terjadi gejolak di wilayah itu. Pemerintah China menuduh oknum ekstrimis dan teroris yang telah melakukan berbagai aksi teror, seperti di Ibu Kota Urumqi pada 5 Juli 2009 dan Stasiun Kereta Api Kunming pada 1 Maret 2014.
"Pemerintah daerah memutuskan membuat program pelatihan dan pendidikan vokasi gratis kepada masyarakat yang dinilai terdampak oleh pemikiran ekstremisme," demikian pernyataan Kedubes China di Jakarta. Program diharapkan dapat membantu masyarakat yang tidak menguasai bahasa Mandarin, mengecap pendidikan tinggi, dan memiliki keterampilan sehingga mereka tidak rentan terhasut.
Pernyataan tertulis juga menyertakan penjelasan kondisi Xinjiang yang kini disebutkan dalam keadaan aman. Bahkan, Kedutaan China juga mengajak masyarakat untuk meninjau langsung kondisi di sana.
Titik masuk
Pengajar Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) Agung Nurwijoyo berpendapat, tanggapan China dapat menjadi titik masuk bagi Indonesia untuk mendorong China semakin terbuka kepada dunia.
Indonesia memiliki peran signifikan, yaitu sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar dan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Ditambah lagi, Indonesia memiliki hubungan baik dengan China. "Pemerintah sebaiknya melakukan soft diplomacy melalui pendekatan bilateral dan multilateral dengan China,” kata Agung.
Dengan kata lain, selain berdialog langsung dengan China, Indonesia dapat mendesak keterbukaan informasi melalui Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).
Agung melanjutkan, saat ini dunia internasional berhati-hati dalam menyikapi masalah Uighur. Beberapa negara menganggap sebagai masalah domestik sehingga tidak ingin mengganggu kedaulatan China. Ada juga yang berhati-hati agar tidak merusak hubungan diplomasi dengan China yang memiliki kekuatan politik dan ekonomi besar.
Ia mengatakan, masalah Uighur tidak lagi hanya menjadi problem suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Provinsi Xinjiang yang menjadi rumah Uighur memiliki lokasi strategis bagi perdagangan China dan mengandung sumber daya alam berlimpah. "Masalah ini dapat menjadi jalan bagi Amerika Serikat (AS) untuk menekan China sehingga perang dagang dapat terus berlanjut,” tutur Agung.