JAKARTA, KOMPAS — Kepercayaan publik menjadi modal bagi legitimasi elektoral dalam keseluruhan proses dan tahapan Pemilu 2019. Oleh karena itu, upaya membangun kepercayaan publik menjadi salah satu hal penting guna menaikkan tidak hanya partisipasi publik dalam pemilu, tetapi juga kualitas pemilu itu sendiri. Kegagalan dalam memperoleh kepercayaan publik berpotensi membuat pemilu kehilangan legitimasinya.
Problem disinformasi dan penyebaran berita bohong atau hoaks menjadi fenomena baru yang mesti direspons dengan cepat oleh penyelenggara pemilu, baik Komisi Pemilihan Umum maupun Badan Pengawas Pemilu. Selama ini, antisipasi untuk mengatasi problem baru itu belum cukup direspons dengan cepat oleh penyelenggara pemilu. Sejumlah isu tidak benar atau berita bohong terkait dengan proses dan tahapan penyelenggaraan pemilu sempat beredar luas. Akibatnya, keraguan di benak publik terhadap profesionalitas penyelenggara pun muncul.
”Ketika kepercayaan publik kepada penyelenggara pemilu tidak tinggi, berbagai hal bisa terjadi. Keseluruhan proses dan hasil pemilu bisa kehilangan legitimasinya. Ketidakapercayaan terhadap penyelengara pemilu juga lebih bisa menghasilkan potensi konflik antara pendukung dan penyelenggara pemilu sendiri atau konflik antarkontestan. Oleh karena itu, kepercayaan publik kepada penyelenggara pemilu harus dipupuk terus,” kata Sigit Pamungkas, Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), saat menjadi pembicara dalam diskusi media bertajuk ”Membangun Kepercayaan Publik dalam Pemilu 2019” di kantor Bawaslu, Selasa (8/1/2019), di Jakarta.
Pembicara lainnya yang hadir ialah juru bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma’ruf Amin, Tb Ace Hasan Syadzily; juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Andre Rosiade; anggota Bawaslu Mochammad Afifuddin; serta anggota KPU, Viryan Aziz, yang menyusul di termin akhir diskusi.
Sigit mengatakan, merujuk survei yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dan Indonesia Corruption Watch (ICW), Desember 2018, kepercayaan publik terhadap KPU dan Bawaslu berada di bawah 70 persen. Angka itu turun jika dibandingkan dengan hasil survei kepercayaan publik terhadap lembaga penyelenggara pemilu sebelumnya pada akhir masa jabatan mereka, Mei 2017. Pada saat itu, kepercayaan publik kepada penyelenggara pemilu mencapai 80 persen.
Turunnya kepercayaan publik itu dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Unsur internal itu ditentukan oleh sejauhmana penyelenggara pemilu bekerja dengan profesional, transparan, dan berintegritas. Adapun faktor eksternal berasal dari pihak luar yang secara sengaja melakukan usaha-usaha yang sistematis untuk mendelegitimasi apa yang telah dilakukan oleh KPU dan Bawaslu.
Sejumlah berita bohong, seperti tujuh kontainer surat suara yang tercoblos, kotak suara dari kardus, dan serangan pribadi kepada penyelenggara pemilu, menurut Sigit, merupakan contoh dari upaya sistematis tersebut. Dalam mengantisipasi hal itu, KPU tidak selalu cepat merespons, misalnya, tentang isu kotak suara dari kardus, yang sempat menjadi perbincangan di khalayak ramai, dan membuat profesionalitas penyelenggara turun di mata publik.
Untuk berita tujuh kontainer yang tercoblos, KPU sangat responsif, dan bertindak cepat dengan mendatangi langsung lokasi, dan memastikan itu hoaks pada hari itu juga.
Ace Hasan mengatakan, kepercayaan kepada penyelenggara pemilu harus dijaga untuk mencapai kualitas pemilu yang baik. Dari tahun ke tahun, kualitas penyelenggara pemilu terus membaik. ”Kalau dilihat dalam sejarah penyelenggaraan dari pemilu ke pemilu, relatif terus membaik. Kendati ada kepentingan-kepentingan politik dalam pemilihan anggota KPU di Komisi II DPR, tetapi secara kualitas tetap relatif baik,” katanya.
KPU dan Bawaslu pun selama ini terus diawasi oleh publik. Dalam pelaksanaan tugasnya, tim dari pasangan calon 01 menilai KPU dan Bawaslu terlihat berupaya melibatkan semua pihak terkait. Salah satunya dalam penentuan mekanisme debat capres, 17 Januari 2019, baik pasangan calon 01 maupun pasangan calon 02 dilibatkan.
Senada dengan Ace Hasan, Andre melihat penyelenggara pemilu sudah cukup responsif dalam menindaklanjuti laporan dari BPN Prabowo-Sandi. Andre mencontohkan laporan mengenai dugaan adanya 25 juta daftar pemilih tetap (DPT) ganda. Setelah dilaporkan, KPU menindaklanjuti temuan itu dan melakukan pemeriksaan DPDT.
”Kepercayaan publik itu diperoleh dengan kerja keras dari KPU dan Bawaslu. Tetapi juga ada catatan, terutama bagi Bawaslu, karena ada laporan pelanggaran kepada Bawaslu daerah yang sudah diyatakan sebagai pelanggaran, tetapi malah tidak ditindaklanjuti oleh Sentra Gakumdu, yang di dalamnya ada unsur kepolisian dan kejaksaan,” ujarnya.
Afifuddin mengatakan, kepercayaan publik menjadi acuan dan nilai yang berharga bagi penyelenggara pemilu. Dalam melaksanakan tugasnya, Bawaslu mengacu pada UU Pemilu dan mengutamakan profesionalitas. ”Kami misalnya, yang mengungkapkan soal data caleg mantan napi korupsi. Kami berupaya menyampaikan analisisnya kepada publik,” ujarnya.
Viryan mengatakan, ada pihak-pihak yang secara sistematis berupaya mendelegitimasi pemilu. Upaya itu dilakukan dengan memanipulasi berita bohong atau hoaks pemilu. ”Mulai 2019, kami mengoptimalkan publikasi, sosialisasi, dan komunikasi. Kami juga akan membanjiri media sosial dengan fakta-fakta pemilu, antara lain dengan mengoptimalkan akun medsos KPU,” katanya.