Hidup Menahun Menahan Gatal-Gatal
Tangan Tika (35) tak berhenti menggaruk leher kanannya yang kelihatan melepuh. Sudah dua hari ia menderita gatal-gatal karena mandi menggunakan air tanah yang tercemar. Teryata kejadian seperti itu bukan hal baru.
“Ini mah sudah biasa, dari dulu juga sering gatal-gatal,” ujar warga RT 02 RW 04, Desa Setiamulya, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, Kamis (10/1/2019), sambil menunjukkan lipatan lehernya. Meski kulit melepuh itu paling luas ada di sisi kanan, tetapi ruam merah melingkar di seluruh bagian leher Tika. Begitu juga di kedua lengannya.
Ruam-ruam itu tak menimbulkan gangguan saat baru muncul. Gatal menyeruak ke kulit setelah beberapa hari kemudian. Tika pun tidak ambil pusing, ruam dan gatal dibiarkan begitu saja hingga rasanya mulai tak tertahankan. “Kalau sudah gatal banget ge, baru saya berobat ke puskesmas. Habis itu pasti langsung sembuh,” ucapnya.
Warga Desa Setiamulya itu menduga, gatal-gatal terjadi karena mandi menggunakan air tanah. Sejak masih belia dan bisa mengingat, kualitas air tanah di rumahnya tak pernah bagus. Warnanya keruh, ada serbuk hitam saat diendapkan, dan berbau tak sedap.
“Air dari sumur saya selalu mirip dengan air kali,” kata Tika. Ia dan keluarga memang tinggal di bantaran Kali Pisang Batu. Baik rumah dan sumurnya berjarak sekitar tiga meter dari sungai.
Selain untuk mandi, keluarga Tika juga menggunakan air tanah untuk mencuci pakaian, piring, dan beras. Pada pakaian, alat makan, kakus, dan peralatan mandinya tertinggal noda kuning kehitaman. Bahkan, warga kulit Tika pun tidak merata di beberapa bagian.
Pengalaman serupa dialami Saali (70), warga Desa Setiamulya. Sejak pindah dari Klender, Jakarta Timur, ke Kabupaten Bekasi 18 tahun yang lalu, kulitnya dan keluarga juga kerap gatal-gatal. “Sering banget gatal-gatal, sebulan sekali juga ada,” kata dia.
Saali menambahkan, gatal belum bisa hilang jika ia belum berobat ke puskesmas. Dokter biasa memberinya beberapa tablet untuk diminum. “Bukan keluarga saya aja, semua orang disini ge gantian aja ke puskesmas ngobatin gatal,” kata Saali menunjuk ke sekeliling gang rumahnya.
Di gang itu, ada lebih dari 10 rumah yang jarak antarrumah hanya dua meter. Semuanya ada bantaran sungai. Pekerja serabutan itu mengatakan, tidak ada pilihan untuk tidak menggunakan air tanah. Penghasilannya yang tak menentu tidak cukup untuk membayar layanan air dari perusahaan daerah air minum (PDAM). Padahal, layanan tersebut sudah masuk ke wilayah yang didominasi kompleks perumahan kelas menengah itu. Namun, pelanggannya terbatas pada warga kompleks.
Kepala Puskesmas Setiamulya Susi membenarkan, penyakit kulit memang terjadi pada warga setempat. Akan tetapi, dalam beberapa waktu terakhir penambahan jumlah penderita tidak signifikan.
Tercemar
Air tanah di Desa Setiamulya semakin buruk selama sebulan terakhir karena Kali Pisang Batu dipenuhi sampah hingga 1,5 kilometer. Tidak hanya menumpuk, sampah yang didominasi plastik itu juga mengeras laiknya daratan di sebuah pulau. Akibatnya, air sungai hitam pekat, bau busuk pun menguar kemana-mana.
Dadang Fadilah (38), warga yang lahir dan besar di Desa Setia Asih, Kecamatan Tarumajaya, mengatakan, timbunan sampah bukan baru sekali terjadi. Sungai yang berhulu di Kali Bancong, Kota Bekasi, itu sudah berulang kali ditumpuki sampah. Kali Bancong terletak di Kelurahan Pejuang, Kecamatan Medan Satria, Kota Bekasi, berbatasan dengan Desa Setia Asih, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi.
“Pertama kali itu tahun 2004, sampah menimbun dan mengeras di Kali Bancong sampai 600 meter,” ucapnya. Tumpukan yang sulit diangkut itu baru hilang saat banjir menerjang. Sampah terbawa aliran air ke Kali Pisang Batu yang bermuara di Teluk Jakarta.
Muksin, Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Setia Asih mengatakan, timbunan kembali ditemukan pada 2007. Saat itu, ia dan beberapa rekannya tergerak untuk mengidentifikasi jenis sampah dan memeriksakan kualitas air sungai selama satu tahun. “Kesimpulan kami waktu itu, sampah didominasi sampah pasar baru sampah domestik,” ujar dia.
Di samping itu, kata Muksin, air sungai juga terkontaminasi limbah industri. Di hulu sungai, yaitu wilayah Kaliabang, Kota Bekasi, terdapat sejumlah pabrik yang tidak diketahui keamanan pengolahan limbahnya.
Pencemaran pun terasa hingga di hilir, yaitu Kali Blencong, Marunda, Jakarta Utara. Ketika itu warga setempat tidak bisa lagi menggunakan air sungai untuk mandi karena menyebabkan seluruh tubuh gatal. Selain itu, populasi udang peci di tambak warga merosot tajam. Sebagian besar udang peci mati karena keracunan air sungai (Kompas, 12/3/2007).
“Sejak 2004 sampai sekarang, sungai tidak pernah dibersihkan,” ujar Suratno (50), warga Taman Harapan Baru, Kota Bekasi. Dari rumahnya yang berjarak 15 meter dari Kali Bancong, ia menyaksikan bahwa kali hanya bisa bebas dari sampah saat banjir besar mendorong sampah menuju ke laut.
Baca juga : Sampah Kali Pisang Batu akan Ditangani Lintas Wilayah
Ahli air dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Suprihatin mengatakan, kondisi air sungai berpengaruh signifikan terhadap air tanah di sumur warga. “Sebab, air diserap dari sumber yang paling dekat. Tidak butuh waktu lama pula untuk menyebarkan pengaruh pencemaran ke air tanah,” kata dia.
Ia menambahkan, kontaminan atau pencemar air bisa berasal dari dua unsur, biologis dan kimia. Risiko pencemaran air tanah semakin besar jika posisi sumur semakin dekat dengan sungai yang tercemar unsur biologis. Pencemaran ini berdampak pada penyakit yang muncul secara langsung, antara lain disentri atau penyakit kulit.
Ancaman lain mengintai jika air sungai tercemar unsur kimia. Kontaminan kimia dapat berpengaruh hingga jarak yang lebih jauh dan bertahan lebih lama ketimbang kontaminan biologis.
Menurut Suprihatin, Kali Pisang Batu rentan tercemar unsur kimia. Sebab, kontaminan kimia mudah terlarut dalam air yang asam. Sementara itu, tumpukan sampah merupakan bahan yang dapat menimbulkan kondisi asam. “Dampak pencemaran kimia muncul dalam jangka panjang dengan risiko yang lebih berat ketimbang pencemaran biologis,” kata dia.
Oleh karena itu, perlu upaya untuk meminimalkan dampak tersebut. Salah satunya mengurangi penggunaan air tanah. Akan tetapi, hal tersebut membebani warga berkemampuan ekonomi pas-pasan.
“Saya enggak mampu bayar air dari PDAM,” kata Tika. Ibu tujuh anak itu tidak bekerja, suaminya pun bekerja serabutan dengan penghasilan tak menentu. Ia hanya mampu membeli air mineral isi ulang satu galon seharga Rp 5.000 per hari.
Meski demikian, ia menerapkan berbagai siasat untuk sekadar menenangkan diri dari bahaya pencemaran. Salah satunya dengan melapisi pipa yang menyambung di mesin air dengan kain, agar kotoran tersaring dan air bisa lebih jernih. Kemudian, air yang disimpan di ember didiamkan terlebih dahulu selama 12 jam sebelum digunakan, supaya kotorannya mengendap.
“Kalau untuk mencuci baju sekolah anak sih, saya numpang di rumah kakak di desa lain,” kata Tika. Entah sampai kapan Tika dan warga Desa Setiamulya hidup seperti ini.
Baca juga : Pengangkutan Sampah di Kali Pisang Batu Dikebut