Benarkah dunia tengah terlelap sehingga cenderung mengabaikan manusia dan alam? Di tengah mencuatnya persoalan sosial dan perubahan iklim, dunia cenderung asyik bergelut di ranah geo-politik dan geo-ekonomi. Pergerakan dunia ke fase baru politik yang berpusat pada negara, menjadikan manusia dan alam sebagai komoditas.
Manusia dan alam memiliki nilai jual yang menguntungkan secara politis. Ketegangan negara dengan negara, ketegangan politik dan ekonomi di dalam negara, dan baku hantam unjuk kekuatan ekonomi, justru melemahkan dunia dalam penyelesaian masalah esensial-komunal.
Tak mengherankan jika Forum Ekonomi Dunia atau World Economic Forum (WEF) menyerukan kekhawatiran itu. Mengawali tahun ini, Laporan Risiko Global WEF 2019 menyebutkan, dunia sedang di luar kendali. “Apakah dunia sedang tidur sambil berjalan di tengah krisis?” Begitu pertanyaan satire WEF mengawali laporan tersebut.
Laporan itu menjadi batu pijakan pertemuan tahunan WEF di Davos, Swiss, pada 22-25 Januari 2019. Pertemuan yang digelar setiap musim dingin di kota kecil di Pegunungan Alpen itu mengusung tema utama Globalisasi 4.0. Tema itu diletakkan dalam konteks melanjutkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Ekonomi berkelanjutan itu terutama mengarah pada upaya-upaya menjawab tantangan sosial dan perubahan iklim.
Ada kekhawatiran besar dari WEF tentang dampak pertumbuhan industri 4.0 terhadap tenaga kerja. Disrupsi sektor ketenagakerjaan akan memperlambat dunia menangani kemiskinan. Sebab, banyak tenaga kerja di negara-negara berkembang mulai tergeser otomatisasi. Di sisi lain, kemiskinan yang muncul akibat terjadinya imigrasi yang disebabkan tekanan politik ataupun pertumbuhan kota belum tuntas dirampungkan banyak negara.
Sementara itu, tantangan perubahan iklim global masih terlangsung. Lingkungan terancam berbagai limbah industri dan manusia. Bencana terjadi di sejumlah negara, sehingga melupumpukan ekonomi dan infrastruktur daerah-daerah terdampak. Butuh biaya besar untuk memulihkan diri dari dampak bencana tersebut.
Pada saat bersamaan, perekonomian global terus menghadapi tekanan. Sejumlah negara mengalami gejolak politik nasional dan bersitegang dengan negara lain, baik di ranah ekonomi maupun geopolitik. Hal itu semakin membebani ekonomi global pada tahun ini. Ketegangan berskala internasional yang dipicu perang dagang Amerika Serikat-China.
WEF menilai, ketegangan geo-politik dan geo-ekonomi itu menghambat upaya-upaya menangani masalah-masalah esensial dunia, yaitu kemiskinan dan perubahan iklim. Risiko global semakin meningkat tetapi keinginan kolektif untuk menanganinya masih kurang. Perpecahan justru semakin menguat.
Fase baru
WEF menyebut, dunia tengah mengalami fase baru politik yang berpusat pada negara. Gagasan “mengambil kembali kendali” mencuat, baik itu terjadi di dalam negeri, antar negara, maupun korporasi-korporasi besar.
Presiden WEF Borge Brende menyatakan, prospek ekonomi dunia "semakin gelap". Hal itu didorong oleh ketegangan geopolitik antara AS-China.
“Tampaknya akan semakin mengurangi potensi kerja sama internasional pada 2019. Dengan perdagangan global dan pertumbuhan ekonomi berisiko pada 2019, dunia perlu saling mengisi memperbarui rancangan utama kerja sama internasional,” kata dia.
Dengan perdagangan global dan pertumbuhan ekonomi berisiko pada 2019, dunia perlu saling mengisi memperbarui rancangan utama kerja sama internasional.
Bank Dunia juga berpendapat serupa. Dalam laporan semi-tahunan berjudul ”Langit Menjadi Mendung” (Darkening Skies), perekonomian global pada tahun ini diprediksi melambat menjadi 2,9 persen dari 3 persen pada tahun lalu. Sebab, ekonomi Amerika Serikat (AS) dan China, dua negara dengan ekonomi terbesar dunia, melambat cukup dalam.
Perekonomian AS diperkirakan tumbuh 2,5 persen dari 2,9 persen, dan China tumbuh 6,2 persen dari 6,5 persen. Hal itu berdampak pada pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang. Ekonomi negara berkembang tumbuh lambat 4,2 persen dari 4,7 persen.
Manusia dan alam yang berlindung di balik negara bukan sebuah komoditas. Mereka adalah aset yang tidak boleh dipermainkan atas nama kuasa.
Indonesia saat ini tengah memasuki tahun elektroral atau tahun politik. Pertarungan memperebutkan kekuasaan diharapkan tidak membuat Indonesia tidur sembari berjalan di tengah tekanan ketidakpastian global. Pergeseran kuasa pada negara perlu dihindari.
Kedua kubu perlu bergandengan tangan menyelesaikan persoalan esensial dalam negeri. Hal itu terutama menyangkut kemiskinan, tenaga kerja, pengelolaan sumeber daya alam dan manusia secara berkelanjutan, serta perbaikan struktur ekonomi.
Manusia dan alam yang berlindung di balik negara bukan sebuah komoditas. Mereka adalah aset yang tidak boleh dipermainkan atas nama kuasa.