Pegiat informasi dan literasi digital di berbagai daerah mencoba melawan maraknya peredaran kabar bohong atau hoaks di media sosial ataupun antar pengguna aplikasi percakapan. Berbagai cara mereka tempuh.
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pegiat informasi dan literasi digital di berbagai daerah mencoba melawan maraknya peredaran kabar bohong atau hoaks di media sosial ataupun antarpengguna aplikasi percakapan. Berbagai cara mereka tempuh. Mendekati pelajar, membuat infografis, dan membentuk sistem verifikasi adalah di antaranya.
Di sela-sela acara pelatihan bagi pegiat informasi dan literasi digital dari sejumlah daerah yang diselenggarakan TikTok, ICT Watch, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Siber Kreasi, dan Red and White China, Rabu (23/1/2019), Ketua Umum Relawan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Sulawesi Barat (Sulbar) Haikal Fikri mengeluhkan hoaks yang kian marak menyebar di Sulbar.
Hoaks menyebar di media sosial dan tersebar pula di antara pengguna aplikasi percakapan. Mayoritas konten hoaks itu terkait Pemilu 2019.
”Hoaks tidak hanya menyerang satu partai tertentu, tetapi banyak partai. Hoaks politik tengah panas di sana,” kata Haikal.
Tak hanya di Sulbar. Aminulloh, pegiat literasi digital dari Kelompok Informasi Masyarakat (KIM) Mojo, juga mengeluhkan hoaks yang marak di Surabaya, Jawa Timur. ”Paling cepat hoaks menyebar melalui Whatsapp,” ujar Amin.
Tidak sedikit dari hoaks itu yang kemudian menimbulkan kepanikan masyarakat. Dia mencontohkan kabar bohong terkait peredaran beras plastik. Kemudian tsunami yang dikabarkan akan melanda wilayah Surabaya dan sekitarnya pascagempa bumi mengguncang Lombok pada 2018.
Selain di media sosial dan aplikasi percakapan, Yuni Lestari dari Bagian Pusat Pemberdayaan Informasi Desa (Puspindes) Pemalang menyayangkan media massa yang turut menyebarkan kabar bohong. Padahal, media seharusnya mampu memilah antara kabar bohong dan bukan, serta tidak lantas ikut mengamplifikasi kabar bohong.
Terkait kabar bohong ini, Direktur Informasi dan Komunikasi Perekonomian dan Kemaritiman Kemkominfo Septriana Tangkary, sebelumnya, mengatakan, mayoritas hoaks atau 62,10 persen tersebar dalam bentuk tulisan. Kemudian dalam bentuk gambar 37,50 persen dan video 0,40 persen.
”Hoaks itu tersebar dari berbagai media sosial, seperti Facebook dan Instagram, serta media chatting, seperti Line dan grup Whatsapp,” kata Septriana. Mayoritas di antaranya atau sebanyak 92,40 persen tersebar melalui media sosial.
Sasar pelajar
Prihatin dengan maraknya hoaks itu, TIK Sulbar, KIM, serta tidak sedikit pegiat informasi dan literasi digital di daerah lainnya tak henti-hentinya mencoba melawannya. Salah satunya dengan mendekati kalangan pelajar. Tidak jarang mereka memberikan pembekalan kepada siswa SMP atau SMA di wilayahnya agar bisa memilah antara kabar bohong dan fakta.
AM Bayhaqi, inisiator Indokubator.id yang juga aktif dalam Forum Jogja Kreatif, misalnya, melakukan hal tersebut ke sejumlah SMP dan SMA di Yogyakarta. Kegiatan tersebut bekerja sama dengan Masyarakat Digital Jogja (Masdjo) dan Dinas Informasi dan Komunikasi Yogyakarta.
Dalam sosialisasi, siswa diajarkan tentang bagaimana seharusnya mereka bereaksi terhadap informasi yang belum bisa dipastikan kebenarannya.
Hal yang sama juga dilakukan Haikal Fikri dan para relawan di TIK Sulbar. Mereka getol mengajak pelajar mengidentifikasi hoaks. Tak sebatas itu, agar mudah memahami cara-cara menghadapi kabar bohong, mereka membuat sejumlah infografis.
”Infografis berisi imbauan tentang cara mengenali hoaks, tindak lanjutnya, dan langkah pelaporannya,” kata Haikal.
Sementara KIM telah membentuk sistem untuk mengklarifikasi kabar yang diragukan kebenarannya. Sebagai contoh, jika relawan KIM di kelurahan memperoleh kabar yang diduga bohong, mereka langsung mengirimkannya ke KIM untuk diklarifikasi, bahkan mengidentifikasi kreatornya.
”Contohnya seperti pelaku pembuat hoaks tsunami yang berhasil ditangkap di Jawa Timur,” kata Aminulloh.
Beragam karakter
Pelaksana Tugas Direktur Eksekutif ICT Watch Widuri melihat penyebaran kabar bohong di setiap daerah berbeda-beda. Dengan mengumpulkan mereka dalam pelatihan bertajuk ”Digital Literacy for Internet Activist”, mereka diharapkan bisa bertukar pengalaman sehingga akhirnya masing-masing bisa memperkuat kapasitasnya dalam melawan hoaks.
”Salah satunya dengan mengambil ilmu dari penggiat literasi digital lainnya. Banyak dari penggiat tersebut yang sudah menghasilkan buku-buku untuk dijadikan acuan,” kata Widuri. (FAJAR RAMADHAN)