JAKARTA, KOMPAS — Sikap Oesman Sapta Odang yang terus melawan keputusan Komisi Pemilihan Umum terkait Daftar Calon Tetap Dewan Perwakilan Daerah membuat kasus ini semakin berlarut. Persoalan ini diharapkan bisa segera dituntaskan agar tidak merugikan pihak lain dan tidak mengganggu Pemilu 2019.
Pengajar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, di Jakarta, Kamis (24/1/2019), menyampaikan, sejumlah pihak yang dirugikan dari permasalahan Oesman Sapta ialah pemilih, penyelenggara, dan peserta pemilu. KPU berkukuh menolak memasukkan Oesman dalam Daftar Calon Tetap (DCT) Dewan Perwakilan Daerah Pemilu 2019 setelah Oesman tetap bertahan sebagai Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).
Bivitri menjelaskan, kasus Oesman telah membuat KPU dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai instrumen penyelenggara pemilu mengeluarkan energi ekstra menghadapi banyaknya gugatan dan proses hukum pengadilan. Fokus penyelanggara pemilu juga terbagi antara menyelesaikan kasus Oesman dan urusan logistik pemilu.
”Pencetakan surat suara calon anggota DPD sedikit terganggu karena harus menunggu 22 Januari. Jika nama Oesman akhirnya diputuskan masuk DCT (daftar calon tetap), padahal format surat suara sudah jadi, nantinya juga akan timbul masalah kembali,” ujar Bivitri.
Berlarutnya kasus Oesman dan KPU, kata Bivitri, juga merugikan peserta pemilu, yakni calon anggota DPD lainnya. Hal ini karena Oesman Sapta merasa ingin diistimewakan. Padahal, semua calon anggota DPD lainnya telah mengundurkan diri dari kepengurusan partai.
Selain itu, lanjut Bivitri, kasus ini pada akhirnya juga merugikan para pemilih dan masyarakat luas. Para pemilih seolah dihadapkan pada ketidakjelasan mengenai DCT anggota DPD Pemilu 2019 sehingga mengancam demokrasi.
”Semua isu jadi fokus ke pencalonan DPD, padahal isu program-program DPR, DPD, dan DPRD masih kurang terbahas. Akhirnya, kasus ini bisa membuat pemilih makin skeptis pada politisi dan pada DPD,” katanya.
Terbitkan SK
Adapun berkait hal ini, Ketua KPU Arief Budiman menyampaikan, KPU tetap akan menerbitkan Surat Keputusan (SK) DCT anggota DPD Pemilu 2019 tanpa memasukkan nama Oesman. Hal ini karena Oesman tak kunjung menyerahkan surat pengunduran diri dari kepengurusan partai politik sampai batas waktu yang telah ditentukan, yakni 22 Januari 2019.
Sebelumnya, KPU telah menerbitkan SK DCT anggota DPD Nomor 1130 saat penetapan peserta pemilu, 20 September 2018. Dalam SK tersebut KPU tidak dimasukkan nama Oesman.
Namun, SK tersebut kemudian dibatalkan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Nomor 242. PTUN Jakarta memerintahkan KPU membuat SK baru dengan memasukkan nama Oesman dalam DCT DPD Pemilu 2019.
”SK tersebut dibatalkan karena PTUN memerintahkan untuk memasukkan nama Oesman. Kami kemudian buat ketentuan Oesman harus mengundurkan diri. Jika kemudian ada surat pengunduran diri dari Oesman, SK lama kami batalkan dan buat SK baru. Namun, ternyata tidak ada pengunduran diri sehingga SK tidak ada perubahan,” kata Arief.
Kuasa hukum Oesman, Herman Kadir, menegaskan, Oesman tetap bersikeras mencalonkan diri sebagai anggota DPD dan tidak akan mundur dari Ketua Umum Partai Hanura. Saat ini, pihaknya telah meminta Bawaslu untuk melapor ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) karena KPU dianggap tidak menjalankan putusan Bawaslu.
Herman berharap, Bawaslu segera melaporkan KPU ke DKPP sesuai ketentuan Pasal 464 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam pasal tersebut dijelaskan, Bawaslu dapat mengadukan sikap KPU yang tidak menindaklanjuti putusan Bawaslu ke DKPP.
Anggota Bawaslu, Mochamad Afifuddin, menyatakan bahwa saat ini Bawaslu belum memutuskan untuk melaporkan KPU ke DKPP. ”Kami belum memutuskan meski di aturan UU Pemilu, Bawaslu bisa melaporkan KPU ke DKPP. kami masih akan melihat tindak lanjut dari KPU,” ujarnya.