JAKARTA, KOMPAS – Presentase kesuksesan bisnis startup atau usaha rintisan di Indonesia dinilai masih rendah. Untuk menjaga eksistensi, usaha rintisan dinilai perlu menyusun perjanjian legal hukum yang jelas guna melindungi potensi sengketa dan menarik investasi.
Deputi Infrastruktur Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), Hari Sungkari, mengatakan, belum banyak usaha rintisan sadar pentingnya perjanjian legal hukum dalam dunia usaha. Padahal, hal tersebut amat krusial untuk menjaga eksistensi sebuah usaha rintisan.
Bekraf mencatat, ada 992 perusahaan rintisan di Indonesia saat ini. Awalnya berjumlah ribuan, Namun bertumbangan di tengah jalan. Lebih dari 3.000 usaha rintisan di Indonesia telah tutup. Adapun usaha rintisan yang tergolong sukses di Indonesia hanya sekitar 10 persen.
“Banyak usaha rintisan tutup bukan karena tidak dapat modal, tapi lantaran mereka tidak memiliki kontrak hukum yang jelas di awal,” kata Hari saat menghadiri peluncuran platform digital yang bergerak di bidang hukum bernama Kontrak Hukum, di Jakarta, Selasa (29/1/2019).
Banyak usaha rintisan tutup bukan karena tidak dapat modal, tapi lantaran mereka tidak memiliki kontrak hukum yang jelas di awal.
Menurut Hari, perjanjian legal tersebut mengatur tentang hak dan kewajiban para pendiri usaha rintisan. Hal itu penting untuk menghindari terjadinya sengketa saat mendapatkan keuntungan pendapatan dan keuntungan.
“Jangan sampai masing-masing mengklaim pembagian pendapatan yang lebih besar,” kata Hari.
Perjanjian legal tersebut mengatur tentang hak dan kewajiban para pendiri usaha rintisan. Hal itu penting untuk menghindari terjadinya sengketa saat mendapatkan keuntungan pendapatan dan keuntungan.
Selain itu, Hari juga mendorong kepada para usaha rintisan agar bisa berbadan hukum, menjadi Perseroan Terbatas (PT). Tujuannya menarik para investor menanamkan modal. Sebab dalam PT, terdapat pemisahan yang jelas antara harta kekayaan pribadi pendiri dengan perusahaan.
“Investor sejatinya ingin berinvestasi kepada usahanya, bukan pendirinya,” ujar Hari.
Hari menguraikan, dari seluruh pelaku ekonomi kreatif, baru 16 persen yang berstatus sebagai PT, sedangkan 14 persen berbentuk persekutuan komanditer (CV). Selain itu, ada lebih dari 52 persen yang berstatus badan usaha.
Sementara, baru ada 11 persen yang telah mendaftarkan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI). Padahal, HaKI merupakan aset terpenting dalam dunia industri kreatif, baik itu hak cipta, merek, dan hak paten.
“Ke depan, orientasi usaha rintisan bukan untuk menjual banyak produk, tapi mendapatkan royalti dari hak cipta, merek dan hak paten,” kata Hari.
Pendiri pecah
Pendiri dan Chief Eksekutif Officer (CEO) Kontrak Hukum, Rieke Caroline, mengatakan, tak sedikit usaha rintisan mengalami perpecahan di kalangan pendiri. Beberapa usaha rintisan bahkan berumur tak lebih dari satu tahun.
Hal ini menunjukkan betapa pentingnya founders agreement atau perjanjian antarapendiri. “Di awal, para pendiri harus membuat perjanjian. Begitu juga perjanjian dengan partner,” kata Rieke.
Tak sedikit usaha rintisan mengalami perpecahan di kalangan pendiri. Beberapa usaha rintisan bahkan berumur tak lebih dari satu tahun.
Hal itu mendorong Rieke membentuk usaha rintisan Kontrak Hukum. Kontrak Hukum memberikan layanan pengurusan kontrak hukum, badan usaha dan pendaftaran merek secara daring.
Kontrak Hukum juga menyediakan jasa bantuan hukum. Namun jasa bantuan hukum itu fokus padausaha rintisan dan usaha kecil menengah (UKM).
Kontrak Hukum kerap memangani permasalahan-permasalahan mendasar usaha rintisan. Misalnya, ada yang ingin mendapatkan investor padahal belum berbentuk PT. Ada juga yang sudah berdiri selama dua tahun tapi belum mendaftarkan mereknya.
“Itu karena saat awal berdiri, mereka hanya fokus pada produk dan pasar saja,” kata Rieke.
Pendiri dan CEO Layaria, Dennis Adhiswara mengatakan, perjanjian legal tersebut seringkali menjadi prasyarat bagi investor. Tak jarang ada investor yang mengundurkan diri karena tidak adanya kelengkapan surat atau dokumen prasyarat yang diminta. (FAJAR RAMADHAN)