JAKARTA, KOMPAS — Situasi kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden dinilai belum menyentuh isu substantif yang berisi adu gagasan dan program. Sebaliknya, isu kampanye yang muncul justru didominasi oleh ujaran kebencian serta berita bohong atau hoaks. Dalam situasi itu, aparatur sipil negara diharapkan tidak terseret arus politik dan tetap menjaga netralitas.
Keresahan itu muncul dari pernyataan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo saat menjadi pemimpin apel ”Persiapan Pemilu 2019” di Jakarta, Jumat (15/2/2019). Menurut dia, hampir tiga bulan masa kampanye Pilpres 2019, isi kampanye masih diliputi rasa fitnah, ujaran kebencian, dan hoaks.
”Ini tentu membuat kita semua resah dan gelisah karena seharusnya kampanye itu beretika, bermartabat, adu konsep, dan adu gagasan. Jadi, bukan malah kampanye yang merusak persatuan,” ujar Tjahjo.
Hadir dalam apel itu semua jajaran staf dan pejabat di lingkup Kemendagri serta Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). Dalam kesempatan itu, para aparatur sipil negara (ASN) juga diminta untuk membaca ikrar menolak segala bentuk kampanye yang bermuatan fitnah, hoaks, dan ujaran kebencian terkait dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Tjahjo mengingatkan bahwa tujuan Pilpres 2019 adalah membangun rasa persatuan dan kesatuan dengan memilih pemimpin yang amanah. Dengan demikian, pemimpin terpilih diharapkan dapat semakin mempercepat pemerataan pembangunan dan kesejahteraan rakyat.
”Jadi, kita harus punya sikap dan perasaan yang sama untuk membangun sistem pemilu yang semakin demokratis dan baik ke depan sesuai dengan konstitusi,” ujar Tjahjo.
Jaga netralitas
Tjahjo juga meminta agar ASN tidak terseret dalam arus politik dan tetap menjaga netralitas di tengah situasi kampanye yang mulai memanas jelang pemilihan. ”ASN harus netral sama dengan TNI-Polri,” katanya.
Secara terpisah, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara Sofian Effendi menambahkan, kasus pelanggaran netralitas cukup besar pada masa Pemilihan Umum 2019. ASN pun diingatkan agar tetap menjaga netralitas dan berhati-hati dalam menggunakan media sosial.
”ASN tak boleh mengomentari pandangan paslon, baik di media elektronik, media cetak, maupun media sosial, karena bisa ditafsirkan sebagai keberpihakan. ASN harus sadar bahwa hukuman atau sanksinya berat jika nanti terbukti melanggar,” ujar Sofian.
ASN tak boleh mengomentari pandangan paslon, baik di media elektronik, media cetak, maupun media sosial, karena bisa ditafsirkan sebagai keberpihakan.
Berdasarkan data Komisi ASN, hingga Desember 2018 terdapat 508 kasus pelanggaran netralitas ASN, baik menyangkut pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan presiden. Dari 508 kasus itu, total ada 978 ASN yang melanggar.
Jika dilihat dari persebaran wilayahnya, ASN yang paling banyak melanggar ada di Sulawesi Selatan (305 orang). Kemudian, diikuti Sulawesi Tenggara (223 orang), Jawa Barat (54 orang), Maluku Utara (41 orang), Riau (40 orang), Lampung (39 orang), dan Jawa Tengah (30 orang).
Sofian menegaskan, ASN tersebut akan dikenai sanksi disiplin dari sedang hingga berat. Sanksi sedang meliputi teguran tertulis. Sementara sanksi berat bisa berupa penundaan kenaikan pangkat, penurunan gaji, dan pemberhentian.
”Pelanggaran berat, misalnya, menunjukkan keberpihakan dan terlibat aktif dalam mendukung salah satu paslon di medsos. Itu, kalau tertangkap, bisa jadi pelanggaran berat,” katanya.