Sumba Tengah di Nusa Tenggara Timur menyimpan potensi budaya dan panorama alam menjanjikan untuk dikembangkan jadi destinasi wisata baru di Indonesia. Oleh karena itu, promosi terus dilakukan.
Oleh
A Ponco Anggoro
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sumba Tengah di Nusa Tenggara Timur menyimpan potensi budaya dan panorama alam menjanjikan untuk dikembangkan menjadi destinasi wisata baru di Indonesia. Oleh karena itu, promosi terus dilakukan. Salah satunya, memamerkan kain tenun Sumba di ajang pameran Internationale Tourismus Borse 2019 di Berlin, Jerman, Maret 2019.
Hal ini mengemuka saat diskusi dalam acara Malam Pagelaran Seni dan Budaya Sumba Tengah di Hotel Borobudur, Jakarta, Jumat (15/2/2019) malam. Acara yang diinisiasi Komunitas Sumba Tengah Jabodetabek itu dibuka Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran Kementerian Pariwisata Nia Niscaya.
Hadir juga Wakil Pemimpin Umum Kompas Rikard Bagun, mantan Wakil Menteri Pariwisata Sapta Nirwandar, Wakil Bupati Sumba Tengah Daniel Landa, dan sejumlah tokoh pegiat pariwisata di Indonesia.
Pada malam pergelaran itu, kekayaan budaya Sumba turut dikenalkan, yaitu tenun ikat Sumba dan sejumlah tarian dan lagu daerah. Ada juga pemutaran film keindahan panorama alam Sumba, ritual adat masyarakat setempat, hingga pembuatan tenun ikat.
Ketua Komunitas Sumba Tengah Jabodetabek Umbu Pada Boli Yora mengatakan, kain tenun Sumba terbilang unik karena selain bahan dasarnya dari alam, juga terkandung nilai-nilai spiritual di dalamnya. Kain tenun, misalnya, turun-temurun digunakan sebagai mahar perkawinan atau penutup jenazah.
Di setiap kain dengan bahan dasar kapas dan komposisi warna yang cerah itu terdapat pula beragam motif. Motif kuda, tumbuhan, hingga gambar orang. Motif itu menunjukkan sisi humanis masyarakat Sumba yang selama ini hidup berdampingan dengan alam.
”Di kain itu, motifnya lebih menunjukkan sisi humanis orang Sumba. Makanya, motifnya bergambar kuda dan tumbuhan. Ada juga motif bergambar orang yang merupakan nenek moyang orang Sumba,” katanya.
Proses membuat kain tenun itu tidak sembarangan. Selembar kain tenun bisa menghabiskan waktu enam bulan hingga satu tahun. Maka, jangan heran jika selembar kain tenun bisa dijual dengan harga puluhan juta rupiah.
Di malam pergelaran itu saja, misalnya, beberapa lembar kain dilelang dengan harga terendah Rp 15 juta.
Selain kain tenun, Sumba Tengah menyimpan panorama alam berupa padang rumput atau sabana, air terjun, dan kampung adat yang masih dipertahankan keasliannya hingga kini.
Iklim di daerah Sumba Tengah juga menjadikan daerah itu sebagai tempat hidup dan berkembang biaknya ribuan ekor kuda, termasuk kuda sandelwood. Kuda ini dikenal masyarakat sekitar karena kecepatan dan kekuatannya.
Nia Niscaya menilai kekayaan budaya dan panorama alam Sumba Tengah memang sudah memenuhi prasyarat untuk dikembangkan sebagai daerah tujuan destinasi wisata. Namun, untuk mengembangkannya, terganjal oleh sulitnya akses ke wilayah itu.
Akses ke wilayah tersebut hanya bisa melalui jalan darat dari Waingapu, Sumba Timur, dan Tambolaka, Sumba Barat Daya. Di kedua wilayah itu sekaligus terdapat bandar udara. Kemudian waktu tempuh untuk tiba di Sumba Tengah bisa lebih dari dua jam dengan jalan berkelok-kelok.
Walaupun masih menyisakan kekurangan, upaya promosi terus dikembangkan. Selama ini, kata Nia, NTT di mata masyarakat internasional hanya dikenal melalui Taman Nasional Komodo.
”Sumba Tengah masih merupakan properti yang kita simpan. Tetapi secara umum, NTT sudah ada di benak wisatawan asing,” ujarnya.
Ia berharap gambaran baik tentang NTT yang sudah tersimpan di benak wisatawan itu turut dimanfaatkan pemerintah daerah, khususnya Pemerintah Kabupaten Sumba Tengah, dalam mengembangkan pariwisata di wilayahnya.
Selain itu, upaya promosi juga ditempuh dengan memamerkan kain tenun Sumba di ajang pameran Internationale Tourismus Borse 2019 di Berlin, Jerman. Pameran terbesar di dunia itu akan digelar pada Maret 2019.