Ombudsman : Pintu Masuk TNI ke Wilayah Sipil Tertutup Rapat
Oleh
Khaerudin
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Ombudsman RI menilai wacana pemerintah membuka penempatan baru untuk anggota Tentara Nasional Indonesia aktif di jabatan sipil berpotensi maladministrasi. Dalam penilaian Ombudsman, jika merujuk pada Undang-Undang Nomor Nomor 34 Tahun 2014 tentang TNI dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, pintu masuk prajurit TNI ke wilayah sipil telah tertutup rapat.
Jika pemerintah bersikeras menempatkan perwira tinggi TNI tanpa jabatan di posisi-posisi sipil, maka harus ada aturan yang diubah atau direvisi.
"Mengenai wacana penempatan militer di jabatan sipil, Ombudsman memandang ini perlu mendapat perhatian. Kalau memerhatikan ketentuan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2014 tentang TNI, UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017, sesungguhnya pintu masuk prajurit ke wilayah sipil itu sudah ditutup rapat-rapat," ujar anggota Ombudsman Republik Indonesia Ninik Rahayu di Jakarta, Kamis (21/2/2019).
Pasal 39 UU 34/2014, misalnya, menyebutkan bahwa anggota TNI aktif dilarang terlibat dalam kegiatan menjadi anggota partai politik, politik praktis, bisnis dan kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilihan umum dan jabatan politis lainnya.
Jika seorang anggota TNI ingin menjabat di posisi atau kegiatan di ranah sipil tersebut, maka mereka harus mengundurkan diri terlebih dahulu. Hal ini diatur dalam Pasal 47 UU 34/2014.
Kalau memerhatikan ketentuan UU TNI danUU Aparatur Sipil Negara, sesungguhnya pintu masuk prajurit ke wilayah sipil itu sudah ditutup rapat-rapat
Sebagai pengecualian, dalam pasal yang sama, 10 lembaga pemerintahan dan kementerian boleh diisi anggota TNI aktif. Ini antara lain Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Kementerian Pertahanan, Lembaga Sandi Negara, Mahkamah Agung, Badan Narkotika Nasional, dan Lembaga Ketahanan Nasional.
Meski anggota TNI tidak mendapat ruang di jabatan sipil, program kegiatan bersama antara TNI dengan institusi sipil dalam bentuk MoU (nota kesepahaman bersama) membuka peluang TNI untuk masuk ke wilayah sipil. Sejak 2004 saja, sudah ada 40 MoU yang dibuat TNI degan sipil (Kompas, 16/10/2018). Padahal, menurut Ninik, TNI adalah alat pertahanan negara yang menjalankan kebijakan dan keputusan politik negara.
"Secara normatif tidak mal (melanggar), tapi fungsi kegiatannya masuk wilayah sipil dan bisa bersentuhan langsung ke masyarakat. Jadi, baiknya kita patuhi prosedur dan tata cara yang ada saja," ujarnya.
Ombudsman lanjut Ninik telah melakukan analisis terhadap hasil rapat koordinasi nasional (rakornas) antara TNI dan Kepolisian RI, 13 Februari 2019 yang memunculkan wacana restrukturisasi dan reorganisasi prajurit TNI.
Rakornas tersebut menghasilkan empat usulan yang menjadi arah kebijakan baru TNI. Usulan itu antara lain terkait perpanjang masa usia pensiun, pembuatan unit kerja baru, peningkatan status di jabatan dan pangkat di beberapa unit, lalu penempatan militer di jabatan sipil.
Hasil rakornas telah disampaikan ke Presiden Joko Widodo pada Rapat Pimpinan (Rapim) TNI-Polri 2019, akhir Januari lalu. Restrukturisasi dan reorganisasi ini juga tidak lepas dari Peraturan Presiden Nomor 62 tahun 2016 tentang Susunan Organisasi TNI.
Dalam waktu dekat, Ombudsman berencana duduk bersama Kementerian Pertahanan untuk menyampaikan analisis tersebut.
Semangat reformasi
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Arif Maulana berpendapat sama dengan Ombudsman. Menurutnya, pemerintah harus berpijak pada prinsip administratif yang sesuai dengan asas umum pemerintahan yang baik ketika membuat kebijakan.
"Rencana restrukturisasi TNI tidak hanya berpotensi maladministrasi. Ini juga inkonstitusional atau melanggar peraturan perundang-undangan, khususnya tentang semagat reformasi dalam Ketetapan MPR dan UU TNI," katanya saat dihubungi secara terpisah.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang dimaksud adalah Nomor X/MPR/1998 Tahun 1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.
Lalu, Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 Tahun 2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 Tahun 2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Belum lama ini, LBH dan 38 lembaga lain, baik pemerintahan maupun swasta, serta 39 tokoh dari berbagai elemen masyarakat, membuat petisi bersama. Petisi itu bertajuk "Reorganisasi TNI tidak boleh bertentangan dengan agenda reformasi".
Mereka meminta, penataan organisasi TNI harus mempertimbangkan aspek reformasi TNI, sehingga tidak boleh bertentangan dengan agenda reformasi TNI itu sendiri.
"Kami menilai rencana penempatan militer aktif pada jabatan sipil melalui revisi UU TNI tidak tepat. Penempatan TNI aktif pada jabatan sipil dapat mengembalikan fungsi kekaryaan TNI yang dulunya berpijak pada doktrin dwi fungsi (fungsi sosial-politik) ABRI yang sudah dihapus sejak reformasi. Hal ini tentu tidak sejalan dengan agenda reformasi TNI dan dapat mengganggu tata sistem pemerintahan yang demokratis," demikian bunyi petisi tersebut. (ERIKA KURNIA)