Perang Melawan Politik Uang (6)
Tidak sedikit calon anggota legislatif harus masuk penjara karena politik uang. Badan Pengawas Pemilu bersama Kepolisian dan Kejaksaan kini terlihat lebih bergigi. Modal berarti mendekati hari H pemilu, 17 April 2019, saat politik uang biasanya lebih masif.
Larangan memberikan uang atau materi lainnya kepada masyarakat saat berkampanye seperti tertera di Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, belum sepenuhnya ditaati oleh para calon anggota legislatif (caleg).
Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), sepanjang tiga bulan masa kampanye sejak 23 September 2018, ada 67 dugaan pelanggaran politik uang yang dilakukan oleh pelaksana maupun tim kampanye caleg.
Dari puluhan kasus itu, Bawaslu bersama unsur Kepolisian dan Kejaksaan di Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu), yang menangani kasus-kasus dugaan politik uang tersebut, terlihat lebih bergigi daripada pemilu sebelumnya.
Banyak diantaranya berhasil dilimpahkan ke pengadilan. Kemudian berdasarkan bukti-bukti yang dihadirkan oleh Gakkumdu, ditambah keterangan para saksi, tak ada alasan bagi pengadilan untuk tidak memvonis bersalah.
Salah satunya, yang melibatkan caleg DPR daerah pemilihan (dapil) DKI Jakarta II (Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan Luar Negeri) Mandala Shoji dan caleg DPRD DKI Jakarta Lucky Andriani. Keduanya, caleg Partai Amanat Nasional (PAN).
Mereka terbukti melakukan politik uang, sehingga divonis tiga bulan penjara dan denda Rp 5 juta subsider satu bulan kurungan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kedua caleg terbukti melakukan politik uang saat membagikan kupon berhadiah umrah saat kampanye di Pasar Rawa Jati, Jakarta Selatan dan Pasar Gembrong Lama, Jakarta Pusat.
Sebelumnya, caleg DPRD DKI Jakarta dari Partai Perindo, David Rahardja, juga divonis hukuman kurungan 6 bulan penjara serta denda Rp 5 juta subsider satu bulan penjara dengan masa percobaan 10 bulan. Dia terbukti membagikan sembako kepada warga saat berkampanye di Jakarta Utara, September 2018. Kasus ini ditangani oleh Gakkumdu Bawaslu Jakarta Utara.
Gebrakan Gakkumdu itu bisa terjadi salah satunya karena penguatan Gakkumdu di UU 7/2017 tentang Pemilu.
Gakkumdu seperti diatur di UU tersebut, terdiri atas unsur Bawaslu, penyidik Kepolisian, dan penuntut Kejaksaan. Mereka ditugaskan di Gakkumdu menjalankan tugas penuh waktu.
Baca juga : Warna-Warni Kampanye Caleg (1)
Desain baru Gakkumdu ini sebagai jawaban atas mandulnya gerak Gakkumdu di pemilu-pemilu sebelumnya.
Gakkumdu sekalipun sudah hadir di setiap pemilu tetapi penyidik dan penuntut tidak penuh waktu berada di Gakkumdu. Mereka masih melekat di institusi masing-masing.
Baca juga : Ketika Tak Ada Lagi Bulan Bahagia (2)
Ini membuat penanganan perkara lambat, bahkan tak jarang terjadi, berkas perkara bolak balik dari Bawaslu ke Kepolisian atau ke Kejaksaan akibat perbedaan pandangan setiap institusi atas kecukupan bukti satu perkara. Akhirnya perkara terpaksa gugur, tidak bisa dilanjutkan ke pengadilan, karena melampaui batas waktu penanganan dugaan pidana pemilu.
“Setelah penguatan Gakkumdu di UU Pemilu tersebut, penanganan perkara tidak lagi macet,” ujar Ketua Sentra Gakkumdu Bawaslu Jakarta Utara Benny Sabdo.
“Sejak laporan atau temuan dugaan pelanggaran pidana pemilu diterima, sudah kami tangani sama-sama, Bawaslu, polisi, bersama jaksa. Jadi masing-masing bisa langsung melihat apakah satu perkara memenuhi unsur pidana atau tidak. Ini membuat Gakkumdu lebih efektif dan kuat,” tambahnya.
Baca juga : Seperti Memilih Wakil dalam Karung (3)
Selain itu, menurut Benny, adanya komitmen kuat untuk menegakkan hukum pidana pemilu sekaligus mematahkan pandangan miring publik atas mandulnya peran Gakkumdu di setiap pemilu, ikut memotivasi personel di Gakkumdu untuk menunjukkan kerja nyata.
Gebrakan Gakkumdu di separuh waktu masa kampanye ini, menjadi modal berarti untuk memerangi politik uang yang selalu marak di setiap gelaran pemilu. Terlebih mendekati hari H pemilu, 17 April 2019, di mana politik uang atau kerap dikenal dengan sebutan serangan fajar, seringkali marak terjadi.
Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo memahami ancaman yang ada tersebut. Makanya, pihaknya senantiasa mengingatkan jajarannya di daerah untuk tidak surut dalam memerangi politik uang.
Patroli anti politik uang misalnya, diintensifkan di sisa masa kampanye sekitar dua bulan. Kemudian di masa tenang atau tiga hari sebelum hari pemungutan suara, dan terakhir, saat hari pemungutan suara. Di tiga masa ini, politik uang sering terjadi di setiap pemilu, dan rawan terulang di Pemilu 2019.
Baca juga : Jebakan di Surat Suara (4)
Selain mengingatkan agar jajarannya bertindak tegas menindak politik uang, Ratna juga mengingatkan agar sosialisasi menolak politik uang diintensifkan.
“Kesadaran bersama akan menjadi salah satu yang dapat mencegah terjadinya politik uang. Politik uang adalah racun dalam proses pemilu, kejahatan besar dalam pemilu karena dia mencederai kemurnian suara rakyat,” kata Ratna.
Dioptimalkan
Meski Gakkumdu saat ini tampak lebih bergigi, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini melihat, kinerjanya masih bisa ditingkatkan.
Sebab, sekalipun Bawaslu, polisi, dan jaksa, sudah satu atap, tetapi masih kerap terjadi pemahaman hukum yang berbeda dalam melihat kasus dugaan politik uang. Dia mencontohkan kasus yang muncul di Gorontalo dan Anambas.
Aturan yang sering ditafsirkan berbeda oleh polisi dan jaksa yaitu Pasal 515 dan Pasal 523 UU Pemilu.
Baca juga : "Mesin" Caleg untuk Caleg (5)
Kedua pasal tersebut menerangkan tentang ketentuan pidana bagi para pelanggar, tetapi tidak menyebutkan secara tegas definisi maupun bentuk pelanggaran politik uang.
“Konstruksi dasar hukum untuk penindakan politik uang sudah cukup baik. Tetapi pelaksanaannya masih bergantung pada pemahaman dan penafsiran para pihak tersendiri, khususnya pada fase pembuktian,” tuturnya.
Selain itu, kata Titi, UU Pemilu dan PKPU 23/2018 juga masih bias mengatur pengeluaran kampanye yang berpotensi melegalkan politik uang. Pasalnya dalam peraturan tersebut masih membolehkan pemberian uang transport, uang makan, uang minum, dan hadiah yang bisa diberikan dalam bentuk tunai.
“Sejauh ini pengaturan dalam PKPU 23/2018 bisa memberikan uang makan dalam bentuk uang tunai sesuai dengan harga satuan daerah. Namun aturan ini penuh dengan bias sehingga bisa disiasati oleh caleg untuk kamuflase politik uang,” katanya.
Baca juga : Gerilya Pengawas Pemilu (7-habis)
Berkaca pada kelemahan yang masih ada, hendaknya perbaikan tetap terus dilakukan, sehingga perang Bawaslu dan Gakkumdu terhadap politik uang yang kini sudah tampak, bisa lebih ditingkatkan hingga hari H pemilu.
Sekali lagi, ini penting demi pemilu yang berkualitas, masa depan demokrasi, dan lahirnya pemimpin-pemimpin yang bersih, berintegritas, dan berkapasitas.