Liputan Itu Pembuktian
Informasi boleh datang dari mana saja, misalnya dari media sosial, seperti Instagram. Namun, untuk menjadikannya produk jurnalistik ada proses konfirmasi dan verifikasi. Ini yang dilakukan Kompas ketika menerima informasi tentang pencabutan izin pertambangan.
Selama sepekan di pertengahan Februari, berita tentang tambang Silo menghiasi halaman Nusantara harian Kompas. Liputan tersebut berawal dari rasa kagum saya melihat perjuangan masyarakat di Silo dalam menolak pertambangan di sekitar tempat tinggal mereka.
Semuanya berawal ketika saya hendak pulang ke Banyuwangi seusai mengikuti rapat Kompas Biro Jawa Timur di Surabaya, Sabtu (9/2/2019). Ketika menunggu keberangkatan kereta di Stasiun Gubeng, saya menemukan unggahan Instagram milik @humas_jember tentang dicabutnya izin pertambangan di Silo.
Dari unggahan tersebut, saya memperoleh informasi bahwa penolakan warga dan pemerintah Jember terkait pertambangan di Silo membuahkan hasil. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral akhirnya mencabut izin usaha pertambangan dan wilayah izin usaha pertambangan khusus di Blok Silo, Jember. (Baca: Pertambangan Rakyat Juga Ditolak)
Setelah saya cermati baik-baik informasi tersebut, ternyata keputusan pencabutan izin sudah dilakukan sejak Rabu (6/2/2019). Jika saya membuat berita tentang pencabutan izin, tentu berita tersebut akan ”basi” karena berita akan tayang di Kompas.id pada tanggal 9 Februari atau terbit di edisi koran Kompas pada 10 Februari.
Saya sadar berita ini menarik. Namun, saya juga harus meramu agar yang menarik ini tetap menarik karena terjaga aktualitasnya. Akhirnya, saya menemukan kerangka berita yang akan saya bangun, yaitu apa yang akan dilakukan pemerintah setelah pencabutan izin tersebut. Tentu pencabutan izin tidak serta-merta membuat warga menjadi sejahtera.
Saya mencoba menghubungi Bupati Jember Faida melalui pesan singkat layanan aplikasi WhatsApp. Ini saya lakukan karena saya paham, Faida sulit ditelepon dan ia juga lebih mudah menyampaikan gagasan atau pandangannya secara tertulis.
Saya mengirim beberapa pertanyaan kepada Faida. Saya berharap sore hari ketika tiba di Banyuwangi, saya mendapat jawaban dari pertanyaan tersebut. Ternyata hingga kesokan hari pada Minggu (10/2/2019) pagi, jawaban yang diminta tak kunjung datang.
Faida hanya menjawab singkat, ”Materi (jawaban) akan segera kami kirim, Mas.”
Khawatir Faida lupa, saya mencoba menagih jawaban atas pertanyaan saya. Tak butuh waktu lama, Faida menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Saya mendapat gambaran bahwa Pemerintah Kabupaten Jember telah menyiapkan kredit usaha rakyat bagi warga di Silo yang sebagian besar merupakan petani dan pekebun kopi. Sore itu, saya melengkapi wawancara Faida dengan melakukan wawancara via telepon dengan Kepala Desa Pace Muhammad Farohan. Desa Pace merupakan salah satu desa di Kecamatan Silo.
Kepada Farohan, saya menanyakan apa harapan warga setelah pencabutan izin pertambangan. Ternyata jawaban Farohan selaras dengan Faida, warga ingin mendapat bantuan untuk mengembangkan usaha pertanian dan perkebunan.
Alhasil, saya menyusun berita dengan judul ”Izin Pertambangan Silo Dicabut, Bupati Siapkan KUR untuk Warga”. Dengan berbagai pertimbangan redaksi, keesokan harinya, Senin (11/2/2019), berita tersebut dimuat dengan judul Izin Tambang Emas Dicabut.
Berita tersebut dinilai menarik oleh redaksi dan dijadikan berita utama halaman Nusantara. Kepala Biro Malang Siwi Yunita seusai mengedit tulisan saya langsung memberi instruksi untuk membuktikan kondisi masyarakat di Silo, Jember.
Tambang merupakan isu sensitif. Pengalaman liputan tambang emas di Banyuwangi membuat saya harus berhati-hati. Karena itu, saya mengajak dua rekan wartawan untuk ikut serta liputan di Silo. Mereka ialah Ulil Albab dan Ahmad Suudi. Keduanya paham lokasi dan memiliki ketertarikan yang sama. Lebih dari itu, mereka bisa berbahasa Madura sehingga memudahkan saya saat liputan di lingkungan yang mayoritas orang Madura.
Kami berangkat dari Banyuwangi beriringan menggunakan dua sepeda motor. Sekitar pukul 11.00, kami sudah tiba di lokasi liputan di Kecamatan Silo.
Kecamatan Silo merupakan salah satu kecamatan terluar Kabupaten Jember. Letaknya berbatasan dengan Kabupaten Banyuwangi di sisi timur. Kecamatan yang memiliki luas 30.998 hektar (ha) tersebut sempat ditetapkan memiliki kawasan pertambangan seluas 4.023 ha.
Desa Pace merupakan daerah yang paling banyak masuk dalam kawasan pertambangan. Dari total 4.023 ha wilayah pertambangan, 3.000 ha di antaranya berada di Desa Pace. Tidak mengherankan apabila denyut pergerakan tolak tambang muncul dari desa kecil di lereng perbukitan yang tak jauh dari Taman Nasional Meru Betiri tersebut.
Desa Pace berjarak sekitar 15 kilometer (km) dari jalan provinsi Jember-Banyuwangi atau 35 km ke arah tenggara dari pusat Kota Jember. Dari jalur utama Banyuwangi-Jember, Anda tinggal belok ke selatan saat tiba di Pasar Sempolan dan terus mengikuti jalan melintasi perkebunan karet, jagung, sengon, dan beberapa mes karyawan perkebunan milik PT Perkebunan Nusantara XII.
Siapa menyangka desa yang asri tersebut diklaim menyimpan kekayaan mineral. Namun, warga yang sebagian besar merupakan petani dan pekebun rakyat itu enggan menerima tawaran kesejahteraan dari sektor pertambangan karena menganggap dapat mengancam kelestarian lingkungan mereka.
Narasumber pertama yang kami temui ialah Kepala Dusun Curah Wungkal Saifudin Saleh. Dari dia, saya mendapat informasi bahwa hampir seluruh warga Kecamatan Silo menolak pertambangan. Semula saya pikir yang melakukan penolakan ialah warga yang tinggal dan hidup dari perkebunan saja.
Untuk membuktikan itu, saya mencoba menjauh dari daerah perkebunan. Pasar Lumbung menjadi salah satu daerah target pembuktian. Benarkah para pedagang pasar juga menolak tambang? Ternyata benar.
Maidah (45), pedagang makanan di Pasar Lumbung, menolak tambang karena yakin pertambangan menyebabkan pencemaran lingkungan. Menurut dia, zat-zat yang digunakan dalam pertambangan tersebut beracun, berbahaya bagi lingkungan dan manusia.
”Saya mendapat informasi tersebut saat ketemu pembeli atau sesama pedagang lain. Di pasar sudah biasa membahas bahaya pertambangan. Karena itu, saya juga menolak pertambangan karena dampaknya mengerikan,” tuturnya.
Di Desa Pace, kami juga sempat bertemu dengan Bowo (45), salah satu pekebun kopi. Ia jelas menolak tambang. Ia sudah merasa sejahtera.
”Saya merasa cukup hidup dari 1 hektar kebun. Saya tanami kebun dengan kopi, alpukat, duren, dan petai. Hasil kebun cukup untuk menghidupi anak istri saya,” ujarnya.
Bowo lantas menyebutkan bahwa 1 ha kebun miliknya bisa menghasilkan 2 ton kopi dalam satu tahun. Jika per kg kopi dihargai Rp 23.000, dalam setahun ia mengantongi Rp 46 juta.
Penghasilan tersebut hanya dari tanaman kopi, belum lagi dari tanaman alpukat. Dalam setahun, kebun alpukatnya bisa menghasilkan 24 kuintal buah. Ini belum ditambah hasil dari tanaman durian dan petai.
Bowo berujar bahwa masyarakat Silo sudah cukup sejahtera. Indikatornya ialah banyak warga Silo yang mampu naik haji. Ia bahkan sangat yakin Kecamatan Silo selalu menjadi kecamatan dengan jumlah anggota jemaah haji terbanyak setiap tahun.
Informasi dari Bowo tersebut tak lantas saya telan bulat-bulat. Beberapa hari setelah bertemu dengan Bowo, saya mencoba membuktikannya dengan mendatangi Kantor Kementerian Agama Kabupaten Jember.
Kepala Seksi Penyelenggara Haji dan Umrah Kantor Kementerian Agama Kabupaten Jember Ahmad Tholibi tidak sepenuhnya membenarkan pernyataan Bowo.
”Kalau untuk tahun 2018 memang Kecamatan Silo paling banyak (anggota jemaah haji). Tetapi tidak setiap tahun Silo terbanyak. Bahwa jumlahnya tinggi benar, tetapi tidak selalu tertinggi,” ungkapnya.
Pembuktian lain yang saya lakukan ialah terkait bantahan tidak pernah ada petambang ilegal di Kecamatan Silo. Ketua Forum Masyarakat Silo Hasan Basri tidak membantah bahwa pernah ada penambangan ilegal di Silo.
Lagi-lagi, informasi tersebut coba saya buktikan. Di salah satu warung yang saya singgahi, saya mencoba menanyakan keberadaan bekas-bekas pertambangan ilegal di Silo. Ada polemik di antara beberapa warga yang ada di warung itu. Ada yang membantah, ada juga yang membenarkan. (Baca: Tolak Tambang Sudah Lama)
Kepada yang membenarkan, saya minta agar ditunjukkan lokasi bekas pertambangan ilegal. Namun, sang informan tak lantas bersedia. Lalu terjadi saling tunjuk di antara warga. ”Kamu saja, kan, kamu yang bilang ada,” ujar salah satu dari mereka.
Hingga akhirnya seorang warga, Sus Ismail (65), bersedia mengantarkan kami menuju lokasi bekas tambang. Darinya saya menjadi paham mengapa orang-orang tampak enggan membongkar lokasi bekas tambang dan menunjukkannya kepada saya. Mereka tidak mau dicurigai oleh warga lain sebagai pemandu (guide) bagi petambang. Semangat menolak tambang membuat warga takut berteman dengan petambang.
Bersama Sus Ismail saya harus menembus medan yang tidak mudah. Sepeda motor yang kami tumpangi harus melewati jalan berlumpur dan sungai yang tidak terlalu dalam. Hingga akhirnya kami menemukan sebuah lubang menyerupai goa yang dahulu sempat dijadikan lokasi pertambangan ilegal.
Pembuktian-pembuktian lain juga terus saya lakukan. Salah satu yang membuat saya tertarik ialah pembuktian manfaat perbukitan Silo bagi masyarakat. Saya sengaja mencari akademisi untuk dapat mencari tahu sejauh mana manfaatnya apabila Silo masih mempertahankan hutan dan perkebunannya.
Beruntung saya berhasil berjumpa dengan dosen biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Jember, Dra Hari Sulistiyowati, MSc, PhD. Saya memintanya untuk menghitung manfaat hutan dan perkebunan di Silo bagi masyarakat.
Hasilnya mencengangkan. Hari mencoba menghitung apabila dalam 1 ha area perkebunan minimal terdapat 500 tegakan pohon kayu keras. Sementara satu pohon rata-rata bisa menyerap karbon hingga 28,2 kg dan memproduksi oksigen sebanyak 20,4 kg per hari. Maka, lahan tersebut mampu menghasilkan 10,2 ton oksigen dan dapat menyerap emisi karbon sebesar 14,1 ton per hari.
”Di Silo ada 4.023 Ha yang masuk wilayah pertambangan. Andai 50 persen lahan pertambangan dipertahankan sebagai wilayah perkebunan, mereka bisa menyuplai oksigen 20,4 juta ton per hari. Jumlah itu bisa memenuhi kebutuhan oksigen harian untuk 24 juta orang atau setara seluruh penduduk benua Australia atau 62 persen penduduk Jawa Timur,” tuturnya.
Tak hanya itu, lahan tersebut juga mampu mengurangi emisi hingga 28 juta ton karbon per hari. Jumlah tersebut jauh dari target penurunan emisi dalam Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 67 Tahun 2012 tentang Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Jawa Timur. Dalam peraturan tersebut, target penurunan emisi pada tahun 2013-2020 ialah sebesar 6 juta ton.
Sepulang mendapat pembuktian tersebut, saya senyum-senyum sendiri di sepanjang jalan. Ada rasa puas mendapatkan data yang begitu luar biasa. Rasanya seperti puas karena berhasil mengajak gebetan kencan pertama.
Berbagai pembuktian yang saya lakukan dalam liputan ini berawal dari unggahan di Instagram. Konfirmasi, turun ke lapangan, dan membuktikan ucapan narasumber menjadi bagian dari kerja jurnalistik.
Karena bagi saya, tugas utama jurnalis ialah mencari fakta dari segala informasi yang ia terima. Harus diakui, saat ini banyak wartawan atau media yang hanya membuat berita berdasarkan unggahan media sosial tanpa melakukan klarifikasi.
Apakah mencomot informasi mentah-mentah dari media sosial itu bukan produk jurnalistik? Senior saya yang juga Ketua Perkumpulan Karyawan Kompas Aloysius Budi Kurniawan dengan tegas mengatakan, liputan yang hanya menjadikan unggahan di media sosial sebagai bahan berita tanpa konfirmasi bukan produk jurnalistik.
Dari pengalaman liputan ini saya menjadi lebih sadar, ada yang lebih penting daripada sekadar mendapat informasi, yaitu membuktikan informasi. Liputan itu pembuktian!