PALU, KOMPAS — Pemerintah daerah bersama Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia siap membangun 1.000 unit hunian tetap bagi penyintas gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Tak hanya rumah, kompleks hunian akan dilengkapi fasilitas umum untuk menunjang kebutuhan penyintas.
Pada Senin (4/3/2019), diadakan peletakan batu pertama pembangunan hunian tetap di Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu. Lokasi itu persis berada di belakang Kampus Universitas Tadulako, Palu. Lahan pembangunan hunian tetap seluas sekitar 10 hektar telah dibersihkan dan diratakan.
Dari desain Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) serta diproyeksikan dari rumah contoh di lokasi pembangunan, hunian bagi penyintas berukuran 36 meter persegi (tipe 36) dengan luas tanah 150 meter per segi per unit.
Wakil Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Sugianto Kusuma mengungkapkan, pihaknya membangun 1.000 rumah atau hunian tetap bagi penyintas di lokasi tersebut.
”Kami menargetkan paling lambat pengerjaan 1.000 rumah rampung dalam waktu enam bulan. Untuk lokasi lain, kami akan lihat kondisinya, seperti cepatnya penyediaan lahan,” kata Sugianto.
Lokasi pembangunan hunian tetap untuk penyintas gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi di Palu ada di dua lokasi, yakni Kelurahan Tondo dan Kelurahan Duyu, Kecamatan Tatanga. Kedua lokasi itu ditetapkan pemerintah setelah disetujui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Sugianto memastikan rumah yang dibangun tahan gempa sesuai kerentanan gempa bumi di Kota Palu. Secara keseluruhan, Rp 100 miliar digelontorkan untuk pembangunan 1.000 unit rumah atau Rp 100 juta per rumah.
”Untuk peningkatan ekonomi penyintas, kami pastikan mereka dilibatkan dalam pengerjaan bangunan. Itu salah satu syarat yang kami sampaikan kepada kontraktor,” ujar Sugianto sembari menyebutkan upah pekerja nantinya Rp 150.000 per hari.
Untuk peningkatan ekonomi penyintas, kami pastikan para penyintas dilibatkan dalam pengerjaan bangunan. Itu salah satu syarat yang kami sampaikan kepada kontraktor
Yayasan Buddha Tsu Chi masih menjajaki kemungkinan untuk juga membangun hunian tetap di Kabupaten Sigi. Namun, belum ada pembicaraan detail terkait hal itu dengan pemerintah setempat.
Direktur Pemulihan dan Peningkatan Fisik Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nasional Neulis Zuliasri mengingatkan, rumah atau hunian tetap yang dibangun bagi penyintas harus layak huni dan tahan gempa.
Selain itu, kompleks hunian perlu dilengkapi fasilitas umum, antara lain sarana kesehatan, pendidikan, ruang terbuka, dan pasar. Fasilitas umum itu disediakan untuk kenyamanan hidup serta menjaga perputaran ekonomi penyintas.
Helmi (38), penyintas tsunami di Kelurahan Talise, Kecamatan Palu Timur, berharap target pembangunan hunian tetap tepat waktu. ”Kami juga minta agar ada prioritas untuk menempati rumah yang lebih cepat dibangun, misalnya untuk ibu hamil, keluarga yang punya anak balita, dan lanjut usia,” ucap Helmi yang memiliki anak berusia 18 bulan.
Terkait hal itu, Sekretaris Daerah Provinsi Sulteng Hidayat Lamakarate memastikan prioritas penempatan hunian sementara ada dalam rencana relokasi. Hunian tetap disediakan untuk penyintas gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi yang melanda Sulteng lima bulan lalu.
Penyintas yang berhak menempati hunian tetap adalah yang rumahnya hilang karena likuefaksi, tsunami, dan dekat jalur sesar. Titik-titik tersebut telah ditetapkan sebagai zona terlarang atau zona merah yang artinya mesti steril dari pembangunan rumah atau aktivitas ekonomi lain.
Kami juga minta agar ada prioritas untuk menempati rumah yang lebih cepat dibangun, misalnya untuk ibu hamil, keluarga yang punya anak balita, dan lanjut usia.
Sementara penyintas dengan rumah rusak ringan, sedang, dan berat serta tidak berada di zona merah mendapatkan dana stimulan untuk perbaikan rumah. Besarannya Rp 50 juta untuk rumah rusak berat, Rp 25 juta (rusak sedang), dan Rp 10 juta (ringan). Dana itu sedang diproses untuk dicairkan.
Berdasarkan keputusan Gubernur Sulteng Longki Djanggola pada 8 Januari 2019, sebanyak 4.050 rumah hilang akibat tsunami dan likuefaksi. Hampir 100.000 rumah rusak berat, sedang, dan rusak ringan.