Butuh Gebrakan untuk Atasi Buruknya Kualitas Udara Jakarta
Oleh
Irene Sarwindaningrum
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Jakarta sudah berulangkali diingatkan akan buruknya kualitas udara karena tingginya polusi. Namun, sejauh ini belum gebrakan kebijakan untuk memperbaikinya. Maret ini, lembaga lingkungan hidup internasional Greenpeace kembali merilis kualitas udara Jakarta sepanjang 2018 sudah terburuk di Asia Tenggara.
Jakarta dan Hanoi adalah dua kota paling tercemar debu halus berukuran 2,5 mikron di Asia Tenggara sepanjang 2018. Hal ini didasarkan dari data yang dikumpulkan AirVisual tentang polusi PM2.5. Data diperoleh dari jaringan pemantauan publik, pemerintah, serta pengukuran IQAir AirVisual yang dioperasikan oleh individu, peneliti, dan lembaga swadaya masyarakat.
Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak mengatakan, konsentrasi rata-rata tahunan PM2.5 tahun 2018 sangat buruk. Pengukuran di Jakarta Selatan mencapai 42.2 mikron gram per meter kubik (µg/m3) dan di Jakarta Pusat mencapai 37.5 µg/m3. Hasil ini naik dari tahun 2017 sebesar 26,9.
“Artinya, konsentrasi PM2.5 di Jakarta ini mencapai empat kali lipat di atas batas aman tahunan menurut standar Badan Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 10 µg/m3. Angka tersebut juga telah jauh melebihi batas aman tahunan menurut standar nasional pada Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, yaitu 15 µg/m3,” katanya di Jakarta, Jumat (8/3/2019).
Artinya, konsentrasi PM2.5 di Jakarta ini mencapai empat kali lipat di atas batas aman tahunan menurut standar Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Leonard mengatakan, buruknya kualitas udara Jakarta paling banyak disumbang oleh tingginya emisi kendaraan bermotor yang jumlahnya jutaan dan terus bertambah serta polusi udara dari industri. Selain itu, DKI Jakarta adalah ibu kota yang paling banyak dikelilingi pembangkit listrik uap (PLTU) batubara di seluruh dunia.
Terdapat delapan PLTU batubara (22 unit) yang telah beroperasi, dan akan bertambah sebanyak empat PLTU batubara baru (7 unit) yang berada di daerah-daerah tetangga DKI Jakarta dalam radius 100 kilometer dari DKI Jakarta.
Sementara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tak punya regulasi kuat untuk membatasi penggunaan kendaraan pribadi maupun mengalihkan ke bahan bakar ramah lingkungan. DKI juga belum mempunyai regulasi terkait PM2.5.
“Memang terlihat ada keseriusan untuk membangun transportasi umum di tahun-tahun terakhir, namun regulasi pembatasan penggunaan kendaraan pribadi tak terlalu serius. Pajak progresif, pengelolaan parkir yang masih murah hingga belum jalannya kebijakan jalan berbayar ERP,” katanya.
Sebelumnya, dalam Indeks Kualitas Lingkungan Hidup 2017 yang diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Oktober 2018, DKI Jakarta disebutkan menjadi satu-satunya provinsi dengan Indeks Kulitas Lingkungan Hidup (IKLH) terburuk dibanding provinsi-provinsi lain. Status IKLH DKI Jakarta dinyatakan waspada.
Dari segi kualitas udara, DKI Jakarta termasuk dari tiga provinsi yang kualitas udaranya turun dibanding tahun sebelumnya. Provinsi-provinsi dengan indeks kualitas udara (IKU) turun itu DKI Jakarta, Jawa Barat dan Maluku. Pada 2017, IKU Provinsi DKI Jakarta sebesar 53,5 atau turun 2,9 dari tahun sebelumnya.
Sementara pada 2018, Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) juga mengajukan somasi atas minimnya upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk memperbaiki kualitas udara DKI Jakarta. Hampir setahun somasi dilayangkan, kata Syafrudin, belum ada tanggapan sama sekali.
Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Syafrudin mengatakan, dari pengukuran pada Bulan Mei 2018, indeks PM 2,5 Jakarta sempat mencapai 136 (µg/m3). Jauh di atas ambang batas sehat yang ditetapkan Pemerintah maksimal 50 ug/m3.
“Partikel debu halus ini tidak bisa lagi disaring, langsung masuk ke tubuh manusia sehingga sangat berbahaya untuk kesehatan kaum rentan seperti anak-anak dan orang sakit,” kata Syafrudin.
Partikel debu halus ini tidak bisa lagi disaring, langsung masuk ke tubuh manusia sehingga sangat berbahaya untuk kesehatan kaum rentan seperti anak-anak dan orang sakit
Saat ini, kata Syafrudin, sebenarnya sudah ada 36 peraturan untuk untuk mengendalikan pencemaran udara, mulai dari undang-undang hingga peraturan gubernur. Namun, belum ada keseriusan untuk menjalankan peraturan-peraturan itu.
Klaim aman
Kendati sejumlah data menunjukkan buruknya kualitas udara, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 2018 mengklaim udara Jakarta masih aman. Salah satunya pernyataan menjelang penyelenggaraan Asian Games.
Pada Juli 2017, Isnawa Adji, yang saat itu menjabat Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, mengatakan, stasiun-stasiun pemantau kualitas udara pemerintah menunjukkan kualitas udara masih aman. Pengukuran itu di antaranya di stasiun Bundaran HI, Kelapa Gading, Jagakarsa, Lubang Buaya, dan Kebon Jeruk pada polutan PM10 terukur sebesar 52 (µg/m3). Angka ini di bawah syarat baku mutu, yaitu 150 (µg/m3).
Sementara polutan dari kendaraan bermotor, yaitu sulfur dioksida (S02), tercatat 166 µg/Nm3, yang juga masih jauh dari baku mutu 900 µg/Nm3. Nitrogen dioksida (NO2) terukur 156 (µg/Nm3) dari ambang batas 400 (µg/Nm3), dan karbon monoksida (CO) terukur sebesar 1.367 (µg/Nm3) yang masih sangat jauh di bawah baku mutu 30.000 (µg/Nm3).