Mengapa Banyak Begal Berusia Remaja di Depok?
Belakangan, kasus begal dengan pelaku remaja di bawah umur semakin marak terjadi di Depok, Jawa Barat. Alasan para pemuda membegal cukup beragam, salah satunya adalah ikut-ikutan. Namun, benarkah alasan para remaja ini menjadi begal karena kesulitan menemukan sarana untuk menyalurkan energi berlebih yang mereka miliki?
Sejak awal 2019 sudah ada belasan kasus begal yang melibatkan puluhan pelaku remaja. Usia para begal ini beragam, mulai dari 14 tahun hingga 21 tahun. Usia ini juga menentukan alasan para pelaku begal ini melakukan aksinya.
MR (14), salah satu begal yang tertangkap di Kelurahan Harjamukti, Kecamatan Cimanggis, awal Maret lalu, misalnya, membegal karena ikut-ikutan. Kala itu, MR dan temannya YS (20) yang sedang nongkrong di warung kopi diajak melakukan aksi keji itu oleh pimpinan begal, yakni S (22).
Saat ditanya lebih lanjut, MR mengaku dirinya termasuk anak yang dibebaskan oleh orang tuanya dalam hal bergaul. Sejak duduk di sekolah Dasar MR sudah biasa bergaul dan nongkrong dengan orang-orang yang lebih tua darinya di malam hari. Orang tua MR juga cuek dengan kebiasaan MR ini.
“Orang tua saya tidak pernah marah saya bergaul dengan siapapun, termasuk jika saya pulang malam,” kata MR saat ditemui di Polres Metro Kota Depok, pekan lalu.
Baca juga : Begal Beraksi lagi di Tangerang Selatan
Pemimpin begal, S, menuturkan, dirinya membegal karena tak punya pekerjaan. Ia mengatakan dirinya terdesak oleh keperluan rumah tangga yakni, membeli susu untuk anaknya yang masih berusia 6 bulan. S lantas mempengaruhi remaja lain untuk membegal karena dirinya tak berani beraksi seorang diri.
ASP (16), pelaku begal lain yang tertangkap di Kawasan Cagar Alam, Kecamatan Pancoran Mas pekan lalu mengatakan, dirinya sudah membegal setidaknya sebanyak Sembilan kali. Uang hasil membegalnya selama ini digunakan untuk membeli pakaian dan minuman keras. Menurutnya, orang tuanya jarang menuruti keinginannya untuk membeli pakaian. Sehingga, dia mengambil jalan pintas dengan membegal.
Wakil Kepala Kepolisian Resor Kota Depok Ajun Komisaris Besar Arya Perdana mengatakan, hanya sedikit begal remaja yang membegal karena kebutuhan ekonomi. Kebanyakan, mereka membegal untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan gaya hidup mereka.
"Rata-rata ingin punya barang mewah dan mahal, supaya bisa pamer dan dianggap keren oleh temannya. Mereka akhirnya membegal karena orang tua mereka tidak mau memberi mereka uang untuk membeli barang-barang itu," ungkap Arya.
Membegal sering kali dijadikan pilihan karena cara itu dianggap paling mudah dan cepat untuk mendapatkan uang. Mereka hanya perlu merampas barang milik korbannya sambil mengacungkan senjata tajam. Dalam hitungan menit uang sudah bisa didapatkan.
Para pembegal usia remaja tidak berpikir bahwa apa yang mereka lakukan itu melanggar pasal 365 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juncto pasal 351 KUHP. Hukman yang sebenarnya juga tidak ringan. Jika tertangkap, para begal itu harus mendekam di balik jeruji besi hingga sembilan tahun lamanya.
Menurut anggota Komisi D bidang Kesejahteraan Masyarakat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Depok Sahat Farida Berlian, maraknya begal dengan pelaku remaja yang terjadi di Depok disebabkan oleh penyaluran energi berlebih yang tidak terfasilitasi.
“Berdasarkan basis data pemberitaan, mayoritas usia pelaku begal yang beraksi di Depok berada pada kisaran 18-22 tahun. Pada usia ini, remaja memiliki energi yang berlebih. Sayangnya, penyaluran energi yang berlebih ini tidak terfasilitasi,” ucap Sahat.
Menurut Sahat, energi yang tidak terfasilitasi ini sering kali dialihkan kepada hal-hal yang tidak perlu seperti, nongkrong di jalanan pada malam hari. Tanpa perhatian khusus dari orang tua, nongkrong-nongkrong di jalanan pada malam hari bisa menjadi pintu gerbang anak-anak masuk kepada kegiatan yang mengarah ke kriminalitas, termasuk begal.
Kota Depok sebenarnnya telah mengatur soal kewajiban orang tua, pemerintah dan pihak-pihak terkait untuk melindungi anak dari ancaman permasalahan sosial dalam kehidupannya pada Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 15 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Kota Layak Anak. Namun, di lapangan, pengimplementasiannya masih jauh dari target.
Sahat memaparkan, masih banyak kewajiban-kewajiban dalam Perda Kota Layak Anak yang belum berhasil ditunaikan. Kewajiban tersebut antara lain tentang pembentukan Pusat Krisis Anak, Call Center Anak serta Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK Remaja) di banyak tempat. Sekalipun sudah ada, fungsinya belum maksimal.
“Regulasi yang mengatur soal pengawasan terhadap anak sebenarnya sudah ada. Hanya saja, dari segi pelaksanaan masih belum sempurna. Harapan kami, Pemerintah Kota bersama dengan dinas-dinas terkait bisa bersinergi untuk mewujudkan upaya ini. Sebab, ini adalah tanggung jawab bersama,” tutur Sahat.
Komunitas
Sebenarnya, ada banyak cara yang bisa dipilih oleh remaja untuk menghabiskan energi berlebihnya. Salah satunya adalah dengan menyibukan diri di komunitas.
Salah satu anggota komunitas bicycle moto cross (BMX) Kota Depok Adrian Dwi Pradipta (21) memilih untuk menghabiskan energi berlebihnya dengan bergabung dalam komunitas sepeda. Menurut dia, remaja seusianya sering kali tertantang untuk mecoba hal-hal yang membangkitkan adrenalin.
“Anak muda, terlebih laki-laki, cenderung memiliki keinginan untuk bisa melakukan kegiatan yang memacu adrenalin. Saya memilih untuk melampiaskan hal itu kepada BMX. Sayangnya, banyak teman-teman di luar sana yang salah memilih cara,” kata Adrian.
Cara-cara salah yang kerap kali dipilih menurut Adrian adalah tawuran, mabuk-mabukan hingga membegal. Padahal, di Depok ada beberapa komunitas yang bisa mengakomodasi energi berlebih dan mengisi kekosongan waktu para remaja tersebut meskipun, jumlahnya masih terbatas.
Baca juga : Demi Ingin Mabuk, Pelajar SMP Nekat Jadi Begal
Adrian mencontohkan, di Depok ada beberapa komunitas yang menawarkan kegiatan menarik dan positif seperti komunitas olahraga, komunitas seni dan musik, komunitas keagamaan hingga komunitas lingkungan. Menyibukkan diri pada kegiatan yang positif dinilai Adrian menjadi salah satu cara efektif Adrian untuk menangkis ajakan berbuat kriminal.
“Dulu pernah diajak tawuran seperti itu, tapi, saya kasih tahu yang mengajak saya kalau berbuat kriminal bukan pilihan yang tepat untuk unjuk gigi. Mereka mengiming-imingi saya akan dianggap jagoan dan hebat kalau saya bisa melukai orang. Menurut saya, itu tidak masuk akal,” ucap Adrian.
Sebagai pemuda Kota Depok Adrian berharap, dirinya dan pemuda lain bisa mendapatkan kesempatan dan wadah untuk menyalurkan energi mereka pada kegiatan-kegiatan yang positif. Adrian ingin agar pemerintah Kota Depok mendukung dan lebih banyak memfasilitasi kegiatan komunitas seperti, membuat arena latihan bmx, membuat dinding panjat, membuat lapangan olahraga dan lain-lain.
Terkait upaya penyediaan fasilitas untuk warga dan komunitas, Sahat menambahkan saat ini, Pemerintah Kota Depok sedang berupaya membangun sarana dan prasarana seperti, taman kota, gelanggang olahraga, gedung kesenian, dan taman bermain. Sebab, tahun lalu, Kota Depok pernah disomasi oleh Jaringan Advokasi Ruang Terbuka Hijau (RTH) karena Kota Depok baru punya 16 persen RTH. Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mewajibkan sebuah daerah atau kota memiliki setidaknya 30 persen RTH. (KRISTI DWI UTAMI)