JAKARTA, KOMPAS — Jumlah perkawinan anak di seluruh dunia, termasuk Indonesia, mulai menurun. Namun, persoalan perkawinan anak harus tuntas karena menyebabkan berbagai permasalahan di sektor pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, hingga menjadi pendorong kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Direktur Statistik Kesejahteraan Rakyat Badan Pusat Statistik (BPS) Gantjang Amannullah di Jakarta, Selasa (12/3/2019), mengatakan, persoalan pernikahan anak harus diselesaikan sampai tuntas karena berpengaruh pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Pada target 5.3 SDGs, pembangunan berkelanjutan bertujuan menghapuskan semua praktik-praktik berbahaya, termasuk perkawinan usia anak, pada 2030.
”Kalau tidak bisa dientaskan, tidak akan tercapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia,” kata Gantjang dalam seminar dalam Rangka Hari Perempuan Internasional yang bertajuk ”Memaknai Putusan Mahkamah Konstitusi dan Sinergitas dalam Pencegahan Perkawinan Anak” yang diselenggarakan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di Jakarta, Selasa.
Berdasarkan data Unicef (Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak) pada 2018, dalam satu dekade terakhir, proporsi wanita muda yang menikah saat masih anak-anak menurun dari 25 persen pada 2008 menjadi 21 persen pada 2018. Diperkirakan, jumlah pengantin anak sebanyak 650 juta orang dengan populasi terbanyak ada di Asia Selatan.
Di Indonesia, jumlah perkawinan anak juga menurun. BPS mencatat, pada 2018, persentase perempuan berusia 20-24 tahun yang menikah sebelum berusia 18 tahun sebesar 11,2 persen. Jumlah tersebut menurun 3,5 persen dalam kurun waktu 10 tahun.
Dengan persentase tersebut, 1 dari 9 anak perempuan berusia 20-24 tahun menikah sebelum berumur 18 tahun sehingga rata-rata 375 anak perempuan menikah setiap harinya. Anak perempuan berusia 17 tahun paling rentan terhadap pernikahan. Adapun jumlah persentase perempuan yang menikah sebelum berusia 15 tahun mencapai 0,6 persen, turun dari 1,6 persen pada 2008.
Persentase perkawinan usia anak tertinggi di Sulawesi Barat, yaitu sebesar 19,4 persen, sedangkan terendah ada di DKI Jakarta, sebesar 4,1 persen. Perempuan berumur 20-24 tahun di pedesaan mempunyai peluang dua kali lebih besar untuk menikah di bawah umur 18 tahun daripada mereka yang tinggal di perkotaan.
Gantjang mengatakan, sektor yang paling berpengaruh akibat perkawinan anak adalah pendidikan. BPS mencatat, perempuan yang menikah sebelum umur 18 tahun empat kali lebih kecil dalam menyelesaikan pendidikan SMA ke atas dibandingkan dengan perempuan yang menikah pada usia 18 tahun atau lebih.
Perempuan yang menikah sebelum umur 18 tahun paling banyak hanya menyelesaikan pendidikan SMP atau sederajat, yaitu sebesar 44,9 persen. Akibatnya, kualitas sumber daya manusia Indonesia pun rendah.
Gantjang menyimpulkan, masyarakat dengan latar belakang keluarga miskin cenderung lebih mendominasi perkawinan usia anak. Tidak hanya persoalan ekonomi, mereka juga melakukan perkawinan anak karena faktor kurangnya pengetahuan, pola budaya, organisasi sosial lokal, dan lain-lain.
Situasi tersebut dialami oleh salah satu penyintas perkawinan anak, Endang Wasrinah (30), warga Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Ia harus menikah saat berusia 14 tahun karena paksaan orangtuanya. Saat itu, ia masih duduk di kelas 2 SMP.
Endang menceritakan, ia dijemput oleh orangtuanya saat sedang bersekolah untuk pulang ke rumah. Sampai rumah, ia pun dilamar oleh salah satu perangkat desa. Padahal, ia masih ingin belajar dan bermain dengan teman-temannya.
Orangtuanya beralasan, persoalan ekonomi keluarganya akan teratasi ketika Endang menikah karena ia masih memiliki tiga adik. Endang pun harus mengikuti keinginan orangtuanya dengan terpaksa. Ia juga harus merawat anak dari suaminya yang merupakan seorang duda.
Pernikahan Endang berjalan singkat, yaitu hanya 6 bulan, dan mereka pun bercerai. Selama menikah, Endang kerap mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan tidak diberi nafkah. Selain itu, ia pun merasa malu ketika melihat teman-teman sebayanya sekolah.
Diselesaikan bersama
Ketua KPAI Susanto mengatakan, persoalan perkawinan anak perlu diselesaikan oleh semua pihak. ”Lembaga negara tidak hanya membuat regulasi, tetapi juga perlu memikirkan pencegahannya,” ujarnya.
Selain itu, peran dari para pemangku adat dan tokoh agama dibutuhkan untuk mencegah terjadinya perkawinan anak. Ia mendorong agar mereka melihat dari berbagai sudut pandang lain, seperti kesehatan anak dan kebijakan lainnya.
Menurut Susanto, dengan mencegah perkawinan anak, akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Hal tersebut penting agar Indonesia mampu berkompetisi dengan negara lain.
Direktur Keluarga Perempuan Anak Pemuda dan Olahraga Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Woro Srihastuti Sulistyaningrum mengatakan, peran dari seluruh kementerian sangat berpengaruh dalam upaya pencegahan terjadinya perkawinan anak.
Woro menghimbau agar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) segera merealisasikan wajib belajar 12 tahun. Ia mengatakan, ketika seorang perempuan menempuh pendidikan yang lebih tinggi, kesempatan untuk menikah di usia anak-anak menjadi terbatas. Pendidikan yang lebih baik juga akan berkontribusi pada pembangunan Indonesia.
Ia juga berharap Kementerian Kesehatan dapat memberikan pemahaman pada masyarakat, bahwa perkawinan anak akan memunculkan persoalan kesehatan. Beberapa kasus, seperti kematian ibu dan anak pada proses melahirkan, sering dialami oleh mereka yang menikah pada masa anak-anak. Anak yang dilahirkan pun mudah mengalami stunting atau tengkes akibat kurang gizi.
Woro meminta setiap kementerian berkoordinasi agar regulasi yang ditetapkan dapat bersinergi. ”Selama ini, setiap kementerian masih bergerak sendiri-sendiri. Perlu sinergi supaya geraknya terarah,” ujarnya.