JAKARTA, KOMPAS – Peredaran hoaks di media sosial semakin meningkat selama masa Pemilu 2019. Peningkatan ini perlu menjadi perhatian serius bagi seluruh komponen masyarakat karena rawan menimbulkan konflik horizontal, bahkan diduga ada upaya mendelegitimasi penyelenggaraan pemilu.
Anggota Bawaslu Rahmat Bagja mengatakan, yang krusial dari peredaran hoaks di media sosial adalah dampak yang kemudian ditimbulkan di dalam realitas kehidupan bermasyarakat.
"Akibat hoaks ini terjadilah konflik horizontal, bahkan delegitimasi penyelenggaraan pemilu. Itu yang kita harus lawan. Ada yang bilang, tak benar KPU, dibuatlah KPU begini-begini, semua berita fitnah. Karena tidak benar dan masyarakat mudah percaya, lalu minta agar pemilu diulang. Ini upaya delegitimasi penyelenggaraan pemilu," ujar Bagja usai diskusi "Hoaks, Kebebasan Berpendapat, dan Pemilu 2019" di Jakarta, Senin (25/3/2019).
Selain Bagja, diskusi tersebut juga dihadiri oleh Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Bidang Teknologi Herry Abdul Aziz, Kepala Unit I Subdirektorat II Direktorat Tindak Pidana Siber Bareksrim Polri Ajun Komisaris Besar Purnomo, dan Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo.
Peredaran hoaks memang terus meningkat setiap bulannya selama masa Pemilu 2019. Kemenkominfo mencatat, pada Oktober 2018 setidaknya ada 53 hoaks, November 2018 (63 hoaks), Desember 2018 (75 hoaks), Januari 2019 (175 hoaks), dan Februari 2019 (353 hoaks).
Menurut Bagja, peningkatan hoaks itu terjadi karena konsumsi informasi di media sosial tidak disertai cek fakta atau literasi digital yang cukup. Akibatnya, hoaks yang awalnya hanya diproduksi oleh satu pihak tak bertanggung jawab bisa meluas begitu saja di seluruh jejaring media sosial.
"Situasi ini yang kita hadapi sekarang di mana informasi dengan mudahnya dimanipulasi. Mereka tak sadar kalau jejak digital mereka tak bisa dihapus dan ini perlu diwaspadai," kata Bagja.
Pelanggaran pemilu
Oleh karena itu, selama Pemilu 2019 ini, dari 1.440 laporan hoaks yang Bawaslu terima dari Kominfo, setidaknya ada 142 laporan hoaks yang terbukti melanggar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Artinya, hoaks itu berisi hasutan atau adu domba terhadap salah satu peserta pemilu ataupun masyarakat.
Terhadap 142 laporan hoaks yang terbukti melanggar UU Pemilu tersebut, Bawaslu telah meminta kepada Kemenkominfo untuk dimatikan akunnya (take down).
Namun, Bagja menambahkan, pihaknya tak menutup kemungkinan akan meneruskan laporan yang ada itu kepada kepolisian jika ditemukan konten pidana, seperti ujaran kebencian berbasis suku, agama, ras, dan antargolongan.
Sementara itu, Herry Abdul Aziz menambahkan, upaya mematikan akun penyebar hoaks penting agar informasi sesat itu tak semakin tersebar luas dan menjadi bola liar di masyarakat. "Kalau orang sibuk mencari dulu pidananya tetapi konten masih ada, hoaks ini sudah menyebar. Jadi ada rentang waktu yang tak bisa kita perbaiki," katanya.
Aplikasi percakapan
Purnomo menuturkan, pelaku penyebar hoaks di aplikasi percakapan lebih sulit dideteksi dibandingkan di media sosial. Sebab, melalui aplikasi percakapan seperti, seperti Telegram, Whatsapp, atau surat elektronik, pesan hoaks bisa diteruskan (forward) hanya dalam satu waktu kepada banyak orang dan terus meluas.
"Kami tidak bisa serta-merta mengetahui pelakunya. Kalau di media sosial, kami masih mudah berkoordinasi dengan Kemenkominfo atau penyedia platform. Tetapi kalau di dark social ini yang sulit dideteksi," ujar Purnomo.