Dicegat Saat Mendalami Keteguhan Warga Menolak Tambang
Warga Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, menyatakan menolak tambang. Mereka sudah merasa sejahtera dengan hasil komoditas perkebunan, terutama tanaman mete. Demi membuktikan pernyataan warga, saya menyeberang ke pulau itu.
Penelusuran diwarnai drama pencegatan oleh warga protambang, persis saat saya hendak meninggalkan lokasi liputan. Sabtu (16/3/2019) sekitar pukul 15.30 Wita, dengan dua sepeda motor, saya bersama dua teman melaju melewati tanjakan bertikungan. Setelah itu, kami masih melewati satu tikungan ”halus” lainnya.
Saat itulah, tiba-tiba muncul sepeda motor dari arah berlawanan. Pengendaranya, seorang pria, memberi isyarat kepada kami untuk berhenti.
Kami menghentikan laju sepeda motor sambil tetap berada di atas sadel. ”Kalian wartawan?” tanya si pencegat yang ternyata warga Desa Bahaba, Kecamatan Wawonii Tenggara, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara (Sultra).
Usan Mursalin, wartawan Kendari Pos, yang tinggal di Langara, ibu kota Konawe Kepulauan, mengiyakan sembari menyebutkan lembaga tempatnya bekerja. Pria ini tidak bertanya lebih lanjut kepada saya dan Egy Kama, wartawan Mongabay, yang sehari-hari tinggal di Kendari.
Kami bertiga lalu serempak bertanya siapa pria yang kemudian mengaku bernama Amirlan (40) ini. Ia menyebut dirinya adalah warga Wawonii yang protambang. Ia sempat menawarkan kami pergi ke sebuah rumah agar bisa berbincang-bincang, tetapi kami tolak. Kami beralasan masih harus meneruskan perjalanan ke Langara yang membutuhkan waktu 2,5 jam karena kondisi jalan yang masih tanah dan berkubang di sejumlah titik.
Suasana menjadi hening sejenak. Saat itulah, ia merogoh saku. Saya pikir, ia hendak mengambil alat tajam untuk bersiaga, seperti pisau atau parang. Namun, ternyata ia mengeluarkan telepon genggam. Amirlan berperawakan cukup gemuk, agak pendek, dengan kulit sedikit gelap.
Ia lalu memotret saya dan Usan yang persis berhadapan dengannya. ”Kalau saya ke Kendari, kita bisa bertemu,” kata Amirlan.
”Saya juga ambil foto Bapak,” ujar Usan.
Amirlan tidak keberatan. ”Begini, di sini, kan, lagi panas soal tambang. Jangan buat suasana tambah panas antara yang mendukung dan menolak tambang. Jangan hanya mendengarkan mereka yang menolak tambang, kami juga mau ngomong,” kata Amirlan.
Nada suaranya mulai menurun, tidak seperti di awal percakapan.
Saya mengatakan bahwa kami memang butuh keberimbangan sesuai kaidah jurnalistik. Untuk narasumber warga, menurut rencana kami akan berfokus di Desa Roko-roko dan empat desa sekitarnya yang sejak lama merasakan manfaat dari komoditas mete sehingga menolak tambang. Adapun dari pihak penambangan kami berencana hendak menemui perwakilan perusahaan tambang di Kendari.
”Baiklah. Apakah kami bisa kutip pernyataan Abang, mewakili warga protambang,” tanya saya.
”Silakan,” ucapnya.
Saya lalu bertanya mengapa ia mendukung tambang.
”Saya selama ini merantau. Dengan adanya tambang, saya bisa menetap di kampung sendiri dengan pekerjaan yang tetap,” jawab Amirlan.
”Soal katanya akan ada bencana, Pulau Wawonii akan tenggelam, itu masih jauh. Bencana urusan Yang di Atas,” lanjutnya.
Baca juga: Nyaris Hilang Saat Liputan di Pulau Enggano
Berdasarkan informasi yang dihimpun, perusahaan tambang mulai membangun kamp dan membuka jalan untuk operasi produksi tambang. Warga lokal yang bekerja di perusahaan tambang, yakni di Desa Sukarela Jaya, mendapat upah Rp 2,5 juta per bulan.
Saat ditanya soal mete di Roko-roko Raya, Amirlan mengakui, ”Kalau mete, memang di sini tempatnya”.
”Abang tidak kasihan dengan tanaman mete itu nanti kalau tambang jadi di sini?” tanya saya.
”Saya yakin tidak rusak nanti. Kan, ada cara-cara tambang yang baik yang harus dilakukan perusahaan,” katanya.
Kami ngobrol sekitar 20 menit di tikungan yang berjarak sekitar 1 kilometer dari rumah terluar warga di Roko-roko Raya. Roko-roko Raya adalah sebutan untuk lima desa, yakni Desa Roko-roko, Dombo-dombo, Sukarela Jaya, Toporeko, dan Bahaba. Kelima desa itu berada di pesisir dan sambung-menyambung. Mayoritas warga di lima desa itu menolak tambang.
Atas desakan Egy, kami lantas pamit. Amirlan tidak keberatan. ”Semoga nanti kita ketemu kalau saya pergi ke Kendari,” katanya.
Kami meyakinkan akan sangat senang jika bisa bertemu di Kendari. Setelah perbincangan itu, kami memacu sepeda motor cepat-cepat menuju Langara. Berharap tak ada pencegat lain di jalan.
Kami tiba pukul 18.30 Wita dengan lancar. Namun, kami sepakat tidak akan memberi tahu warga Roko-roko Raya tentang kejadian itu agar situasi tidak semakin memanas.
Menolak tambang karena mete
Pulau Wawonii dengan luas 867 kilometer persegi terletak di timur Sultra dan secara administratif masuk Kabupaten Konawe Kepulauan. Langara, ibu kotanya, ditempuh empat jam dengan feri dari Kendari. Pulau itu masih berhutan lebat. Desa-desa kebanyakan berada di pesisir. Sementara kebun, yang antara lain ditanami mete, kelapa, dan cengkeh, berada di lembah dan bukit.
Basis penempatan saya sebenarnya di Palu, Sulawesi Tengah. Untuk ke Kendari, saya harus dinas luar kota yang saya lakukan sejak Minggu hingga Senin (10-18/3/2019).
Saat saya berada di Kendari, warga Wawonii berunjuk rasa di Kantor Gubernur Sultra menuntut pencabutan izin usaha pertambangan di pulau itu. Dalam aksi damai gabungan mahasiswa dan warga Roko-roko Raya pada Kamis (14/3/2019), Wakil Gubernur Sultra Lukman Abunawas memastikan akan mencabut 15 izin usaha pertambangan (IUP) di Pulau Wawonii, termasuk di Roko-roko Raya. Peserta aksi damai senang bukan kepalang. Janji ini ditepati.
Saat ditanya kenapa menolak tambang, warga peserta aksi mengklaim hidup mereka sudah sejahtera berkat komoditas perkebunan, terutama mete, ditambah kopra, cengkeh, dan pala. Di laut, warga berkelimpahan ikan.
Sehari sebelum unjuk rasa, saya bersama sejumlah teman di Kendari sempat bertemu warga Roko-roko Raya di tempat mereka menginap. Alasan yang sama mereka sampaikan, mete membuat mereka mampu menyekolahkan anak. Saya kemudian mencatat nomor telepon Imran (49), warga Desa Roko-roko, karena memang dari awal berencana ke desa itu. Akhirnya, pada Jumat-Sabtu (15-16/3/2019), saya bertolak ke Pulau Wawonii dan menginap di rumah keluarga Imran.
Pada 16 Maret, sejak pagi, saya, Egy dan Usan mulai menyusuri Desa Roko-roko Raya. Rumah warga di desa-desa pesisir itu hampir semuanya berkonstruksi beton. Bahkan ada beberapa rumah yang sangat besar bak kantor pemerintahan.
Sekitar pukul 09.00 Wita, kami menuju kebun mete warga. Kebun mete berjarak sekitar 500 meter dari permukiman hingga 6 kilometer ke arah hutan lebat. Dari ujung ke ujung, yang tampak hanyalah ”lautan” pohon mete. Pohon-pohon mete tampak kokoh.
Baca juga: Malu Bertanya Sesat di Hutan
Rindang pohon mete membuat sinar matahari tak bisa tembus ke tanah. Tanah di bawah pohon mete bersih. Tak ada rumput liar yang tumbuh tinggi. Di musim panen ataupun tidak, tanaman selalu bersih.
Kami menuju kebun Rasyid (61), warga Desa Roko-roko, yang berjarak sekitar 4 kilometer dari kampung. Ada jalan setapak yang bisa dilalui sepeda motor. Namun, untuk sampai ke kebunnya, kami harus berjalan kaki sejauh 400 meter.
Pohon mete milik Rasyid besar-besar dan umumnya sudah tua karena ditanam sejak 1980-an. Total ada 400-an pohon mete di dalam area 4 hektar kebunnya dengan produksi 4-5 ton per tahun. Dengan harga jual Rp 18.000 per kilogram pada musim panen lalu, ia mampu mengantongi Rp 90 juta.
Di kebun terdapat pondok yang dilengkapi peralatan dapur. ”Saat musim panen selama dua bulan, bersama 20-an pekerja, saya lebih sering di pondok daripada di rumah. Saya tidak mau kehilangan ini semua karena tambang,” kata laki-laki 10 cucu itu.
Siapakah yang menggerakkan warga untuk menolak tambang? ”Mete. Karena kami sudah sejahtera dengan mete, kami menolak tambang. Ancaman bencana juga membuat kami bersatu menolak,” kata Imran yang mendampingi kami ke kebun Rasyid .
Berdasarkan peta wilayah pertambangan di Konawe Kepulauan, sebagian kebun mete warga masuk areal pertambangan. Pada 2011, kebun Rasyid pernah diukur orang dari perusahaan tambang. Sebagian besar wilayah tambang yang berlokasi di bukit berada di hutan bagian atas yang masuk kebun mete warga. Dengan adanya tambang, debu tambang diperkirakan akan beterbangan dan bisa membuat tanaman mete gagal berbuah. Belum lagi potensi banjir dari areal tambang ke arah kebun dan akhirnya ke permukiman warga.
Tidak ada sekretariat penolakan tambang di Roko-roko Raya. Mereka berkumpul dari rumah ke rumah, paling sering di rumah Rasyid sambil bermain domino. Adakalanya pindah ke rumah Imran saat pembicaraan mulai serius, termasuk membahas rencana-rencana untuk menggelar aksi damai.
Jaringan telekomunikasi (untuk telepon dan SMS) yang lancar membuat konsolidasi lebih gampang. Tidak hanya para bapak, para ibu juga dengan lantang menyatakan menolak tambang.
Sejak gelombang penolakan pada 2017, warga Roko-roko Raya menggelar tujuh demonstrasi, baik di Langara maupun Kendari. Kebutuhan dana untuk menggelar demonstrasi dipenuhi dari donasi warga.
Motivasi dan aspirasi warga penolak tambang tergambar melalui pernyataan Abdul Masri (64). ”Menolak tambang tak hanya soal mata pencarian, tetapi hak hidup kami sekarang dan generasi masa depan. Tanah ini telah menyejahterakan kami.”