Pemerintah Larang Pawai Kemenangan Sebelum Ada Keputusan KPU
Pemerintah melarang mobilisasi massa dalam rangka pawai kemenangan sebelum ada keputusan resmi hasil pemilu dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Mobilisasi dinilai rentan menimbulkan sentimen negatif dari kubu lawan.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah melarang adanya mobilisasi massa dalam rangka pawai kemenangan sebelum ada keputusan resmi hasil pemilu dari Komisi Pemilihan Umum. Mobilisasi dinilai rentan menimbulkan sentimen negatif dari kubu lawan.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengatakan, penghitungan cepat hasil pemilu tidak bisa menjadi acuan kemenangan kandidat. Karena itu, masyarakat diharapkan tetap mengacu pada keputusan resmi dari KPU.
”Jadi, tidak bisa serta-merta pasangan calon atau peserta pemilu pawai kemenangan lewat mobilisasi massa. Ini sesuatu yang dianjurkan jangan dilakukan karena akibatnya akan membuat sesuatu menjadi ricuh,” ujar Wiranto setelah Rapat Koordinasi Persiapan Akhir Pemilu 2019 di Jakarta, Senin (15/4/2019).
Hadir dalam rapat koordinasi itu antara lain Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, Jaksa Agung HM Prasetyo, Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Djoko Setiadi, Ketua KPU Arief Budiman, dan Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan.
Wiranto menilai, mobilisasi massa sebelum ada keputusan resmi dari KPU bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Secara spesifik, dalam Pasal 6 UU 9/1998 disebutkan bahwa kegiatan unjuk rasa atau mobilisasi massa di muka umum paling tidak memenuhi empat syarat, yakni tak mengganggu ketertiban umum, tak mengganggu kebebasan orang lain, tak mengganggu kesatuan dan persatuan bangsa, serta ada batasan etika moral.
”Jadi, mobilisasi massa dalam bentuk apa pun, dalam rangka pawai kemenangan, syukuran kemenangan, dan sebagainya, itu tak akan diizinkan oleh kepeolisian, di pusat dan daerah,” kata Wiranto.
Sementara itu, Tito Karnavian membenarkan bahwa pihaknya tak akan memberikan izin mobilisasi massa dalam rangka pawai kemenangan kandidat sebelum ada keputusan tetap dari penyelenggara pemilu.
”Polri akan berlandaskan UU 9/1998 tentang penyalahgunaan pendapat di muka umum. Jadi, kami minta masyarakat tidak melakukan pawai syukuran ataupun mobilisasi massa karena hal itu dapat memprovokasi pihak lainnya,” tutur Tito.
Menurut Tito, apabila ada sekelompok masyarakat tidak sepakat dengan hasil pemilu, hal itu bisa diadukan ke pengawas penyelenggara pemilu atau mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. ”Kalau ada yang dianggap tak sesuai UU, ada mekanismenya, tetapi tidak dalam bentuk mobilisasi massa,” katanya.
Peta kerawanan
Dalam kesempatan itu, Tito juga menjelaskan bahwa pihaknya telah memetakan seluruh tempat pemungutan suara berdasarkan tingkat kerawanannya. Tingkat kerawanan itu dibagi menjadi empat, yaitu aman, rawan 1, rawan 2, dan sangat rawan.
Kategori aman berarti TPS tersebut didominasi oleh salah satu pendukung, sedangkan pendukung lain sedikit. Otomatis, kekuatan aparat keamanan pun minimal atau standar.
Sementara itu, untuk kategori rawan 1 dan rawan 2, berarti proporsi pendukung di TPS tersebut hampir sama. Dengan demikian, Polri akan memperkuat aparat keamanan dengan tambahan kekuatan, baik dari lintas masyarakat, TNI, maupun Polri.
Kemudian, untuk kategori sangat rawan, itu didasari basis dukungan hampir sama, mempunyai sejarah konflik, dan kerap muncul isu-isu sensitif berkaitan dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
”Untuk kategori sangat rawan ini, kami telah menyiapkan kekuatan standby. Daerah-daerah lain juga dilihat kalau ada rawan kumpulan-kumpulan massa yang bisa memberikan tekanan psikologis intimidatif. Ini juga kami waspadai dengan menambah kekuatan standby,” ujar Tito.
Menurut Tito, penambahan kekuatan itu bersifat situasional. Sebab, jika berlebihan, hal itu dikhawatirkan bisa menimbulkan kesan negatif dari masyarakat.
Sementara itu, Arief Budiman meminta masyarakat untuk hadir di TPS lebih pagi. Dia menyebutkan, TPS akan dibuka sejak pukul 07.00 hingga 13.00 waktu setempat. Warga yang diperbolehkan mencoblos adalah mereka yang telah mendaftar dan mengantre hingga pukul 13.00.
”Kalau tiba-tiba ada gerombolan orang lagi datang, misal pukul 14.00, baru datang, itu yang sudah tak boleh. Tetapi, yang sudah datang sampai dengan pukul 13.00, meski antrean panjang, itu harus tetap dilayani semua,” ujar Arief.