Rendahnya kesadaran masyarakat melaporkan jenis disabilitas anggota keluarganya rentan memicu tidak optimalnya pelayanan bagi calon pemilih difabel. Tanpa informasi akurat, persiapan di tempat pemungutan suara di pemilihan umum kali ini dikhawatirkan bakal tidak ramah bagi pemilih difabel.
Oleh
PANDU WIYOGA
·2 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Rendahnya kesadaran masyarakat melaporkan jenis disabilitas anggota keluarganya rentan memicu tidak optimalnya pelayanan bagi calon pemilih difabel. Tanpa informasi akurat, persiapan di tempat pemungutan suara di pemilihan umum kali ini dikhawatirkan bakal tidak ramah bagi pemilih difabel.
Berdasarkan data KPU Sumatera Utara, ada 11.882 pemilih difabel masuk daftar pemilih tetap (DPT). Dari jumlah itu, 3.889 pemilih adalah difabel daksa dan 1.839 pemilih lainnya adalah difabel netra.
"Tantangan utama melayani pemilih difabel adalah kelengkapan data jenis disabilitas yang disandang," kata Komisioner Bidang Data dan Informasi KPU Sumut Herdensi Adni, Selasa (16/4/2019).
Menurut Herdensi, pihaknya sejak jauh hari telah mengimbau seluruh kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPSS) membuat TPS yang dapat diakses difabel netra dan daksa. Standar yang diterapkan adalah pembuatan akses jalan tidak berundak, tidak dibatasi parit, dan bias dilewati pengguna kursi roda. Ia berharap, hal itu akan memberikan kenyamanan maksimal bagi pemilih difabel.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini meragukan semua KPPS akan membangun TPS sesuai dengan peraturan aksesbilitas yang berlaku. Menurut dia, perlu pengawasan ketat dan sanksi tegas agar asas aksesbilitas dalam pembangunan TPS benar-benar diterapkan.
Titi menyatakan, dari pengalaman pemilu sebelumnya ditemukan kesenjangan antara pemahaman peraturan tentang aksesbilitas bagi pemilih difabel dan implementasi di lapangan. Yang sering terjadi, petugas KPPS yang didaerahnya tidak terdapat pemilih difabel enggan membangun TPS sesuai asas aksesbilitas yang berlaku.
"Selain itu, masalah terbesarnya tentu soal masih banyak keluarga yang punya stigma penyandang disabilitas tidak penting untuk ikut memilih. Padahal menurut Undang-Undang dan Peraturan KPU pemilih difabel memiliki hak yang sama dan dapat didahulukan ketika memilih," kata Titi.
Kekhawatiran
Bendahara Umum Persatuan Tunanetra Indonesia Sumut Edi Saputra mengatakan, banyak pemilih difabel bakal memilih mencoblos di TPS khusus. Salah satunya di Kantor Dewan Perwakilan Daerah Pertuni Sumut. Mereka merasa tidak nyaman mencoblos di TPS sesuai domisili tempat tinggal.
"Kalau mencoblos di TPS umum, kami takut membuat warga lain menunggu lama. Pasti butuh waktu lebih lama untuk menyelesaikan lima kertas suara dibanding warga pada umumnya," kata Edi.
Ia menambahkan, persoalan lain yang dihadapi adalah tidak semua keluarga penyandang tunanetra bisa mendampingi mereka ke bilik suara. Dengan begitu mereka akan bergantung kepada petugas KPPS untuk mendampingi mereka menentukan pilihan.
"Kalau tidak didampingi keluarga atau teman yang benar-benar dikenal kami takut (suara) dimanipulasi. Bagi yang keluarganya tidak bisa mendampingi butuh pendekatan cukup karena tidak tiba-tiba kami percaya kepada orang yang belum lama dikenal," kata Edi.