Tekfin dan Aset Virtual Rentan Jadi Modus Pencucian Uang
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama/I Gusti Angga
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bisnis teknologi finansial rentan digunakan sebagai modus kejahatan baru dalam tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme. Kondisi itu memanfaatkan regulasi dan pengawasan pemerintah yang masih lemah.
Hal tersebut dikemukakan Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae dalam dalam acara ”Diseminasi Rekomendasi Kebijakan Hukum dalam Rangka Mitigasi Risiko Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT) bagi Penyelenggara Teknologi Finansial dan Virtual Asset”. Acara ini diselenggarakan PPATK, di Kantor PPATK, Jakarta, Selasa (30/4/2019).
Praktik ilegal tersebut, kata Dian, terindikasi diterapkan pada teknologi finansial (tekfin) pinjaman antarpihak. Pelanggar hukum bisa saja menggunakan dana hasil korupsi atau tindak kejahatan lain untuk memberikan pinjaman di aplikasi tekfin pinjaman antarpihak. Dengan melakukan hal itu, dana ilegal seolah-olah menjadi legal.
”Pelanggar hukum berkamuflase seakan-akan menjalankan sesuatu yang legal dengan memberikan pinjaman di aplikasi tekfin pinjaman antarpihak. Padahal, uangnya bisa saja berasal dari korupsi atau tindak kejahatan lain. Kami menduga ini bisa menjadi modus baru pelanggar hukum,” tutur Dian.
Pelanggar hukum berkamuflase seakan-akan menjalankan sesuatu yang legal dengan memberikan pinjaman melalui aplikasi tekfin pinjaman antarpihak.
Selain Dian, hadir sebagai pembicara dalam acara itu pengajar Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Reda Mantovani, dan perwakilan pelaku tekfin, Direktur Espay Joshua Darmawan. Turut hadir memberikan kata sambutan kunci Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution dan Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin.
Darmin menyebutkan, selama bertahun-tahun, penegak hukum bisa mengusut TPPU dengan menggunakan teori mengikuti jalur uang (follow the money). Seiring dengan perkembangan inovasi keuangan digital, modus alur penyaluran uang dan bentuk uang pun bisa berubah menjadi aset digital.
”Ini harus segera diantisipasi pemerintah dan penegak hukum sehingga tetap mampu melacaknya,” ujar Darmin.
Selain menjadi modus baru TPPU, tekfin pinjaman antarpihak juga rentan menjadi tempat pencairan dana terorisme. Penerima pinjaman bisa mengajukan pinjaman di aplikasi tekfin senilai Rp 500.000-Rp 2 juta untuk alasan modal kerja atau konsumsi. Namun, bisa saja uang itu digunakan untuk merakit bahan peledak sederhana.
Reda menuturkan, mudahnya aplikasi tekfin dalam mengakomodasi pinjaman antarpihak menjadi celah lemahnya pengawasan kepada pemberi pinjaman atau penerima pinjaman. Proses pengajuan pinjaman dalam tekfin dilakukan tanpa tatap muka dan hanya perlu mengunggah KTP dan foto diri. Hanya dalam proses paling lama 30 menit, uang pun sudah bisa disalurkan.
”Di lembaga keuangan konvensional, pemberian pinjaman memerlukan proses survei, mengisi formulir data diri, dan pengecekan jaminan serta lain-lain. Tahapan yang panjang ini sebenarnya juga untuk mengenali nasabah. Namun, proses ini hilang semua di tekfin,” tutur Reda.
Regulasi
Selain proses pemberian pinjaman yang longgar, Dian menyebutkan, pelanggar hukum bisa saja memanfaatkan celah dari belum adanya regulasi soal pengawasan inovasi keuangan digital ini.
”Penegak hukum belum punya regulasi yang menjadi dasar hukum untuk mengawasi dan menelusuri hal ini,” ujar Dian.
Sejauh ini, regulasi yang ada untuk pencegahan TPPU adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dalam PP itu, pihak pelapor dugaan TPPU antara lain perbankan, lembaga keuangan nonbank, penyedia barang dan jasa, serta profesional. Perusahaan tekfin belum termasuk dalam pihak pelapor.
Badaruddin menjelaskan, PPATK mendorong revisi PP dengan memasukkan pelaku industri tekfin sebagai pihak pelapor. Dengan demikian, 106 perusahaan tekfin yang telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan bisa terlibat dalam pencegahan TPPU.
Hal senada diungkapkan Dian dan Darmin. Mereka juga mengharapkan ada regulasi yang menjadi dasar hukum pengawasan menyeluruh terhadap tekfin dan aset digital.