Tim asistensi hukum ad hoc Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan terdiri atas pakar-pakar hukum terkemuka seperti Mahfud MD dan Yusril Ihza Mahendra. Tim akan mengkaji setiap upaya agitasi yang muncul. Pembentukan tim disebut merupakan bentuk kehati-hatian pemerintah.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembentukan tim asistensi hukum ad hoc oleh Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan disebut merupakan bentuk kehati-hatian pemerintah dalam menindak para pelaku agitasi atau agitator yang kian marak belakangan. Tim ini akan terdiri atas pakar-pakar hukum terkemuka, seperti Muladi, Yusril Ihza Mahendra, dan Mahfud MD.
Staf Ahli Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) Sri Yunanto kepada Kompas, Rabu (8/5/2019) malam, mengatakan, hukum harus ditegakkan pada para pelaku agitasi atau mereka yang menghasut masyarakat melakukan tindakan inkonstitusional, seperti mendongkel pemerintahan yang masih sah dan mengganggu jalannya Pemilu 2019.
”Upaya-upaya itu lain cerita dengan kritik biasa,” katanya.
Meski demikian, Yunanto yang juga pengajar ilmu politik di Universitas Indonesia menegaskan, bukan berarti pemerintah bersama aparat penegak hukum akan langsung main tangkap. Prinsip kehati-hatian akan dikedepankan. Dan, bagian dari hal itu, tim asistensi hukum ad hoc dibentuk oleh pemerintah.
Tim yang akan menilai setiap upaya agitasi yang muncul. ”Tim akan membantu Menko Polhukam dalam menyinergikan dan menyinkronkan penegakan hukum. Ini bukan dalam bentuk institusi operasional,” kata Yunanto.
Dia melanjutkan, pembentukan tim merupakan bentuk kolaborasi dan konsultasi antara pemerintah dan masyarakat. ”Ini memberikan kehati-hatian bagi pemerintah. Ini justru bukan otoriter,” katanya.
Anggota dari tim asistensi hukum ad hoc ini, kata Yunanto, antara lain adalah akademisi dan praktisi hukum seperti Prof Muladi, Prof Romli Atmasasmita, Prof Yusril Ihza Mahendra, Prof Indriyanto Seno Adji, dan Prof Mahfud MD.
Rencana pembentukan tim ini sebelumnya disampaikan oleh Menko Polhukam Wiranto seusai rapat terbatas dengan sejumlah menteri, Senin (6/5/2019). Saat itu, dia menyebut tim dengan sebutan tim hukum nasional.
Tim yang antara lain terdiri atas pakar hukum tata negara itu akan mengkaji ucapan, tindakan, ataupun pemikiran dari siapa pun yang nyata-nyata melanggar dan melawan hukum. Ini tidak hanya yang mengarah pada upaya mendelegitimasi penyelenggara pemilu dan Pemilu 2019, tetapi juga menghina presiden.
Seperti diketahui, setelah pemungutan suara Pemilu 2019, 17 April 2019, sejumlah tokoh terus-menerus membangun opini yang menuding proses Pemilu 2019 sarat kecurangan. Tak hanya itu, beberapa di antaranya bahkan menyerukan gerakan pengerahan massa atau people power. Ada pula yang menyerukan penyerangan pada kantor penyelenggara pemilu.
Pengajar Pascasarjana Universitas Indonesia, Kastorius Sinaga, juga berpandangan hukum harus ditegakkan terhadap upaya agitasi.
”Pertanggungjawaban hukum oleh para tokoh agitator dan pengikutnya adalah hal yang mutlak dituntut karena negara kita adalah negara hukum,” katanya.
Namun, dia mengingatkan, setiap tindakan terhadap agitator harus berdasarkan aturan perundang-undangan yang ada. Dalam konteks ini, keberadaan tim asistensi hukum ad hoc Kemenko Polhukam penting untuk memberikan masukan agar setiap langkah yang diambil tidak justru melanggar hukum.
”Gagasan ini akan menyeragamkan langkah juridis semua pemangku kepentingan di dalam menjaga stabilitas dan keamanan,” kata Kastorius.
Kastorius pun berpendapat, pembentukan tim hukum ini bukanlah kebijakan yang otoritarian. Menurut dia, tim akan memberikan pembelajaran hukum agar seluruh pemangku kepentingan bertindak di atas koridor hukum.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari berharap tim asistensi hukum ad hoc tetap berjalan pada koridor yang sesuai dengan konstitusi dan menghargai kebebasan berpendapat dan menyampaikan pikiran secara terbuka.
”Jangan sampai tim salah jalan dan menentang kehendak konstitusi,” kata Feri. Bagi Feri, sebenarnya sudah cukup bagi pemerintah untuk menyerahkan kewenangan penegakan hukum pada agitator ke kepolisian dan kejaksaan. Dengan demikian, tak perlu lagi ada tim di luar itu.