Antara Lautze dan Hasyim Asyari
Beribadah di bulan penuh berkah terasa begitu nikmat. Cobalah menambah pengalaman dengan mengunjungi masjid-masjid unik yang ada di ibu kota. Di antaranya, ada Masjid Lautze, tempat para mualaf bertemu dan belajar. Juga Masjid Hasyim Asyari yang mengadopsi nama tokoh pendiri Nahdlatul Ulama.
Masjid Lautze yang berlokasi di Jalan Lautze 87-89, Sawah Besar, Jakarta Pusat tidak tampak seperti masjid. Ciri yang membedakan Masjid Lautze dengan deretan ruko di kawasan Pecinan itu hanyalah warna bangunan menyolok yakni merah, kuning, dan hijau. Tiga kombinasi warna yang lazim ditemukan pada kelenteng.
Di depan masjid, ada kanopi berbentuk mirip atap kelenteng. Papan nama putih terpasang di depan bertuliskan Yayasan Haji Karim Oei. Tempat salat yang terbilang sederhana ada di lantai pertama. Dinding tempat salat berwarna kuning dan putih dihiasi kaligrafi berbahasa Arab, namun menggunakan gaya kaligrafi Cina.
Menurut H Ali Karim Oei sebagai Ketua Yayasan Haji Karim Oei, Rabu (15/5/2019), Masjid Lautze mulai berfungsi sebagai masjid sejak tahun 1991. Nama Lautze dipilih sesuai lokasi masjid di Jalan Lautze.
Masjid awalnya ruko yang disewa untuk tempat ibadah. Juga sebagai tempat berdakwah agar etnis Tionghoa mengenal Islam dan tempat belajar agama Islam bagi etnis Tionghoa yang mualaf (memeluk agama Islam). Setelah dua tahun mengontrak, pengurus dapat membeli ruko tersebut setelah susah payah mencari sokongan dana ditambah pinjaman bank.
Ali mengatakan, Masjid Lautze hanya dibuka saat waktu salat Dzuhur dan Ashar. Alasannya, lingkungan di sekitar Masjid Lautze adalah tempat bisnis dan perkantoran, bukan permukiman. Juga demi keamanan dan kenyamanan mengingat lokasi tersebut merupakan jalan umum yang ramai.
“Para pemilik usaha di sekitar sini senang ada masjid ini karena karyawannya bisa salat di sini,” kata Ali.
“Para pemilik usaha di sekitar sini senang ada masjid ini karena karyawannya bisa salat di sini,” kata Ali.
Buka puasa
Selama Ramadhan, pengurus masjid mengadakan buka puasa bersama dan salat tarawih hanya hari Sabtu. Pengurus menyediakan menu prasmanan untuk sekitar 280 orang. Acara dihadiri para mualaf Tionghoa dari Jakarta, Depok, Bogor, dan Tangerang.
Menurut Ali, salat tarawih di Masjid Lautze adalah delapan rakaat ditambah salat witir tiga rakaat. Keunikannya, imam salat tarawih dan witir adalah para mualaf Tionghoa. Setiap dua rakaat salat tarawih dipimpin imam berbeda. Imam salat witir juga beda.
“Kesempatan untuk para mualaf yang sudah hafal beberapa surat bisa menjadi imam. Supaya mualaf belajar menjadi imam,” kata Ali.
Ali mengumpamakan Masjid Lautze sebagai “kelas Taman Kanak-Kanak”. Masjid Lautze membuka pintunya lebar-lebar bagi orang yang benar-benar baru mengenal Islam. Tempat belajar Islam dari tingkat paling dasar.
Ali mengumpamakan Masjid Lautze sebagai “kelas Taman Kanak-Kanak”. Masjid Lautze membuka pintunya lebar-lebar bagi orang yang benar-benar baru mengenal Islam. Tempat belajar Islam dari tingkat paling dasar.
“Dalam pengajian yang mengajar juga mualaf, itu membuat para mualaf semangat. Selain itu supaya para mualaf tidak minder karena yang mengajar juga mualaf. Yang sudah belajar mengaji sampai Iqra 4 mengajar Iqra 1,” ucap Ali.
Naga Gunadi (42) yang lahir dengan nama Qiu Xue Long menjadi mualaf sejak 2002. Kini pria tersebut biasa dipanggil Ustaz Naga. Dia menjadi mualaf karena mimpi saat SMP. “Saya mimpi ada di tempat yang api semua. Saya lihat kobaran api, banyak tiang panjang, banyak orang dirantai. Saya pikir cuma mimpi buruk,” kata Naga.
Ketika SMA, Naga iseng pergi ke toko buku dan membaca Alquran. Dia terkejut karena saat membaca Surat Al Humazah gambarannya mirip dengan mimpinya dulu.
“Dari situ saya penasaran ada sesuatu dengan mimpi saya itu. Maka saya belajar sampai akhirnya bisa meyakinkan diri saya. Tahun 2002 saya mengucapkan syahadat di sini,” ujar Naga.
“Di sini kami sering berinteraksi, sebagai obat kangen istilahnya. Kami menerapkan konseling dan lebih banyak berbagi cerita,” lanjut dia.
Datanglah ke sini untuk buktikan masih kokohnya toleransi dan pluralisme di Jakarta.
Menepi
Lain cerita Masjid Lautze, lain lagi kisah Masjid Hasyim Asyari di Jalan Raya Daan Mogot di Jakarta Barat. Masjid raya ini menepi dari riuhnya aktivitas pusat kota. Bila ketenangan adalah hal yang Anda cari, cobalah mampir ke Masjid Raya KH Hasyim Asy’ari.
Arsitektur bangunan masjid terlihat kokoh. Ini karena secara konsep, Masjid KH Hasyim Asy’ari tidak banyak memiliki sentuhan arsitektur yang berbentuk lengkungan atau kubah seperti masjid secara umum.
Muka pada halaman masjid dicitrakan dengan atap yang berbentuk lancip. Perwakilan pengurus dari Dewan Kemakmuran Masjid KH Hasyim Asy’ari, Endang Hermansyah, mengatakan halaman muka masjid mengadopsi ciri khas Rumah Bapang dalam tradisi Betawi. Ornamen pada pilar dan dinding juga mengadopsi bentuk-bentuk khas Betawi.
Sejak didirikan tahun 2017, Endang mengatakan kemunculan masjid ini berusaha menonjolkan unsur budaya Betawi. Tidak hanya diwujudkan dari ciri-ciri fisik, tetapi juga keramahan seluruh pengurus dan warga sekitar masjid.
“Sebagai masjid yang juga mewarisi nama tokoh pendiri Nadhlatul Ulama, kami ingin memunculkan citra Islam yang ramah tamah kepada warga di sini,” tutur Endang.
“Sebagai masjid yang juga mewarisi nama tokoh pendiri Nadhlatul Ulama, kami ingin memunculkan citra Islam yang ramah tamah kepada warga di sini,” tutur Endang.
Ruangan ibadah di masjid terpusat di lantai dua. Isal (28), Warga Kalideres, menyempatkan salat di masjid ini sedikitnya tiga kali dalam seminggu. Seusai salat, ia biasa menepi di sudut ruangan untuk membaca Al-Quran sekitar 20 menit.
Endang mengatakan, kegiatan di masjid selama Ramadhan biasanya berlangsung mulai siang. Kegiatan itu antara lain berupa tausiah saat setelah Dzuhur, sebelum berbuka puasa dan setelah salat tarawih.
Selain itu, sambil menunggu waktu buka puasa, ada stan Bazar Ramadhan di depan masjid yang diisi oleh warga setempat. Saat berbuka puasa, ada kudapan dan minuman yang disediakan gratis selama Ramadhan. Terkadang ada juga warga sekitar yang turut berbagi makanan ke masjid tersebut.
Menjelang sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, umumnya umat muslim dianjurkan untuk beriktikaf, yaitu aktivitas ibadah dan melakukan perenungan di masjid. Pada momen tersebut, masjid yang buka selama 24 jam ini dapat dimanfaatkan untuk keperluan ibadah iktikaf.
Menurut Endang, masjid ini terbuka bagi seluruh warga yang ingin beribadah hingga larut malam. “Pengunjung bisa berbicara dengan pengurus. Bila memang berniat menginap hingga Subuh, kami perlu tahu kebutuhan mereka. Agar kami bisa memfasilitasi kebutuhan itu dengan baik,” kata Endang.
Berada di dalam Masjid Lautze maupun Masjid Hasyim Asyari terasa menangkan, menyenangkan. Bagaimana pun masjid adalah tempat ibadah dan belajar agama. Yang sudah semestinya terbuka, merangkul semua umatnya.
Baca juga : Muslim Tionghoa Pererat Persaudaraan Antar Umat
Baca juga : Masjid Raya KH Hasyim Asyari
Baca juga : Menelusuri Fasilitas Baru di Jakarta