Peradilan in absentia atau tanpa kehadiran terdakwa memang dimungkinkan guna memulihkan aset negara dalam perkara korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI. Namun, pakar hukum pidana menilai ini merupakan langkah akhir apabila memang tersangka tidak diketahui keberadaannya sehingga tidak dapat dihadirkan dalam peradilan.
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Peradilan in absentia atau tanpa kehadiran terdakwa memang dimungkinkan guna memulihkan aset negara dalam perkara korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI. Namun, pakar hukum pidana menilai ini merupakan langkah akhir apabila memang tersangka tidak diketahui keberadaannya sehingga tidak dapat dihadirkan dalam peradilan.
“Pada prinsipnya peradilan itu tidak boleh in absentia untuk menjaga kepentingan dari orang yang disangka berbuat kejahatan supaya bisa melakukan pembelaan. Namun, terkait kejahatan luar biasa seperti korupsi yang sangat penting untuk diungkap dan tersangka tidak diketahui keberadaannya, maka peradilan in absentia dimungkinkan,” tutur Pakar Hukum Pidana Universitas Parahyangan Agustinus Pohan, saat dihubungi Kompas, Selasa (11/6/2019).
Menurut Agustinus, terhadap kasus BLBI dengan tersangka Sjamsul dan Itjih, sebisa mungkin para tersangka tetap dihadirkan dalam persidangan. Sebab mereka diketahui keberadaannya. “Jadi terserah para tersangka ini, mau pulang ke Indonesia atau ditangkap dan dipulangkan secara paksa,” ucapnya.
Namun, Agustinus juga mengingatkan bahwa sampai sekarang tidak ada perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura. Dengan begitu, upaya pemulangan paksa terhadap Sjamsul dan Itjih akan sulit dilakukan.
Mengonfirmasi dari kuasa hukum Sjamsul, Maqdir Ismail, saat ini baik Sjamsul maupun Itjih tengah berada di Singapura. Meskipun tidak diketahui di mana lokasi pastinya.
Meski begitu, jika memang pada akhirnya yang bersangkutan tetap tidak hadir dalam proses peradilan, maka in absentia akan dipilih demi mengembalikan kerugian negara. “Setidaknya kalau mereka (Sjamsul dan Itjih) diputuskan bersalah dalam peradilan pidana, maka harta hasil kejahatannya bisa dikejar untuk memulihkan aset negara,” kata Agustinus.
Dalam penanganan perkara ini apabila kedua tersangka memang tidak memenuhi panggilan, maka KPK juga bersiap untuk melanjutkan penuntutan melalui peradilan in absentia. Namun, hal itu tetap menjadi pilihan terakhir.
Sejalan dengan itu Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia Yenti Garnasih menyampaikan, upaya pengembalian uang negara memang sudah sepatutnya dikejar. Namun, proses peradilan in absentia jelas akan merugikan para tersangka.
Sebab, para tersangka tidak bisa menggunakan haknya untuk membela diri. Selain itu, apabila di tengah proses peradilan para tersangka kemudian memutukan hadir, maka mereka harus mengakui semua dakwaan yang telah diberikan sebelumnya.
“Maka yang terpenting saat ini adalah bagaimana mengupayakan langkah persuasif hingga langkah kerja sama internasional untuk memulangkan baik Sjamsul maupun Itjih,” kata Yenti.
Sebatas wacana
Pada 2002, praktik penuntutan secara in absentia juga pernah dilakukan Kejaksaan Agung untuk kasus korupsi BLBI. Saat itu, yang diperiksa dan diputus secara in absentia adalah terdakwa dari Bank Harapan Sentosa Hendra Raharja, Eko Adi Putranto dan Sherly Konjogian.
Ada juga dari Bank Surya, yakni Bambang Sutrisno dan Adrian Kiki Ariawan serta dari Bank Servitia, yaitu David Nusa Wijaya. Kejaksaan juga menangani kasus korupsi dan pencucian uang secara in absentia yang melibatkan bekas pemilik Bank Century Hesyam Alwarraq dan Rafat Ali Rizvi. (Kompas, 11 Juni 2019).
Sementara untuk kasus Sjamsul, peradilan in absentia masih sebatas wacana setidaknya sejak 2002. Saat itu, Jaksa Agung MA Rachman memutuskan menunggu penyelesaian perkara di Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) agar harta Sjamsul bisa dikelola oleh negara atau dijual aset-asetnya oleh negara.
Pertimbangannya adalah pemanggilan untuk peradilan in absentia akan memerlukan proses yang panjang. “Kalau salah-salah nanti, umpamanya putusan bebas, maka Sjamsul akan menguasai hartanya,” kata Rachman. (Kompas, 20 September 2002).
Kasus korupsi BLBI ini pun sempat timbul tenggelam hingga pada Februari 2008 Kejaksaan Agung menghentikan penyelidikan. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman saat itu mengatakan, tidak ditemukan perbuatan melawan hukum yang mengarah pada tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, penyelidikan dihentikan. (Kompas, 1 Maret 2008).