Potensi di Balik Mulusnya Jalan dan Komunikasi
Kemajuan transportasi dan komunikasi kini memupus keharusan untuk bertatap muka antara konsumen dan produsen. Potensi ini penting dikembangkan untuk menekan urbanisasi. Namun, menggarap potensi ini membutuhkan kemauan semua pihak.
Kemajuan transportasi dan komunikasi kini memupus keharusan untuk bertatap muka antara konsumen dan produsen. Potensi ini penting dikembangkan untuk menekan urbanisasi. Namun, menggarap potensi ini membutuhkan kemauan semua pihak.
Jika urbanisasi dikelola, para perajin batik dari daerah-daerah tidak perlu datang ke Jakarta untuk memasarkan produk mereka. Batik yang dibutuhkan warga Jakarta tetap dikerjakan dan dikembangkan di daerah oleh BUMD atau masyarakat batik setempat. Hasil batik yang dikirim ke Jakarta untuk memenuhi kebutuhan warga.
Logika itu disampaikan Yayat Supriatna, pengamat tata kota dari Universitas Trisaksi Jakarta, untuk menggambarkan sekat-sekat kewilayahan yang kini semakin terkikis dengan kemajuan teknologi komunikasi dan infrastruktur transportasi. Kemajuan itu idealnya dimanfaatkan betul untuk menekan laju urbanisasi ke kota besar. Apalagi, sebagian kota kini sudah mulai jenuh sehingga manfaat ledakan demografi kian menurun.
”Jadi, industri batiknya tetap dikembangkan di Yogya, batiknya dipasarkan di Jakarta. Sama juga dengan Jakarta dan NTT. Jakarta bangun perumahan ternak sapi di NTT, yang dibawa ke Jakarta sapinya, bukan orangnya. Jadi, harus ada kerja sama antardaerah,” kata Yayat, Sabtu lalu.
Untuk mewujudkan bayangan itu, idealnya persoalan urbanisasi dilihat dalam skala nasional.
Menurut Yayat, dulu ada Kementerian Kependudukan dan Lingkungan Hidup yang ada tanggung jawabnya sedikit-sedikit pada masalah urbanisasi. ”Ketika daerah menjadi kota, yang bukan cuma di sekitar Jakarta, tetapi hampir seluruh di Pulau Jawa, tidak ada pengelolanya di tingkat nasional,” katanya.
Masih memikat
Namun, keinginan untuk mengembangkan potensi daerah tidak mudah. Pesona kota besar seperti Jakarta masih memikat warga dari daerah-daerah untuk datang dan mengadu nasib. Bersamaan dengan akhir libur Lebaran, misalnya, sejumlah orang berniat menetap di Jakarta demi mendapatkan pekerjaan.
Mahendra Budi Prakoso (26), contohnya, meninggalkan rumahnya di Solo, Jawa Tengah, untuk bekerja di perusahaan swasta di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara.
”Saya tak mungkin melepaskan kesempatan ini karena tunjangan dan gajinya lebih tinggi dan lebih oke dibandingkan kerja di Solo. Saya juga tak akan berani ke Jakarta kalau belum diterima kerja,” ujarnya, Senin.
Saya tak mungkin melepaskan kesempatan ini karena tunjangan dan gajinya lebih tinggi dan lebih oke dibandingkan kerja di Solo. Saya juga tak akan berani ke Jakarta kalau belum diterima kerja.
Budi bercerita, sebenarnya di waktu yang hampir bersamaan, salah satu perusahaan swasta di Solo juga memanggilnya. Namun, dia memilih mengadu nasib ke Jakarta yang menetapkan upah minimum regional lebih tinggi.
”Memang di Solo biaya hidup lebih rendah, tetapi kalau dihitung-hitung, lebih baik kerja di Jakarta. Target saya, kan, nabung dan investasi. Dengan gaji di Jakarta itu sangat mungkin,” tuturnya.
Berdasarkan data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil DKI Jakarta, dari 69.000 orang yang datang ke Jakarta setelah Lebaran tahun 2018, hampir 31 persennya beralasan mendapat pekerjaan di sektor swasta. Selain itu, ada 23 persen lagi karena alasan sekolah.
”Motif ekonomi, pengembangan karier bekerja, dan sekolah memang paling tinggi,” ujar Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil DKI Jakarta Dhany Sukma.
Baca juga: Kapasitas Jakarta Terbatas, Pendatang Baru Perlu Dibatasi
Perlu diatur
Pengamat tata kota dari Universitas Indonesia, Hendricus Andy Simarmata, mengatakan, arus urbanisasi dari desa ke kota seperti Depok adalah keniscayaan yang selalu terjadi setiap berakhirnya Lebaran.
”Migrasi untuk mencari penghidupan lebih baik tak hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia. Dunia kini menganut no one left behind, jadi semua orang berhak mencari penghidupan yang lebih baik. Pemerintahlah yang harus mempersiapkan diri dan mengantisipasinya,” ujar Andy, Minggu.
Ia juga mempermasalahkan tidak meratanya kepadatan penduduk di satu lokasi saja. ”Jangan sampai pendatang membuat makin padat daerah yang sebelumnya sudah padat penduduk. Ini yang pemerintah perlu atur,” ujarnya.
Ada dua hal utama yang harus disiapkan pemkot, yaitu hunian dan lapangan pekerjaan bagi para pendatang. Bentuk hunian bisa berupa rumah susun dengan harga sewa yang sesuai dengan kalangan menengah ke bawah.
”Pendatang biasanya tinggal sementara bersama keluarga. Namun, lama-kelamaan mereka perlu tempat tinggal sendiri. Akibatnya, mereka membuat bangunan semipermanen. Selain membuat permukiman jadi tampak kumuh, hunian seperti ini juga jauh dari layak untuk mereka,” ujar Andy.
Nirwono Joga, pengamat perkotaan, Selasa, berpendapat, Pemprov DKI semestinya menghadapi urbanisasi dengan perencanaan tata kota yang baik, dipadukan dengan komitmen kepala daerah. Langkah ini untuk mengantisipasi pendatang dengan kemampuan minim dan akhirnya tinggal di permukiman kumuh.
Dalam catatan yang dibuat Nirwono dari data Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, hampir separuh wilayah Jakarta berupa permukiman kumuh, di mana yang paling banyak berada di tepi sungai. Permukiman kumuh di Jakarta tersebar di 118 lokasi dari 267 kelurahan atau 44 persen dari semua kelurahan di Jakarta. Sebarannya, di Jakarta Utara 39 persen, Jakarta Barat 28 persen, Jakarta Selatan 19 persen, Jakarta Timur 12 persen, Jakarta Pusat 11 persen, dan Kepulauan Seribu 1 persen.
Pemerintah, kata Nirwono, harus menyiapkan penataan dengan melakukan konsolidasi lahan, dengan mengedepankan aspek sosial, historis, ekonomi, dan budaya setempat. Pemprov DKI Jakarta perlu menata kembali struktur penguasaan kepemilikan, konsolidasi penggunaan, serta pemanfaatan tanah melalui penataan aset agar kawasan kumuh tidak semakin menjamur.
Dalam menata pun pemda harus mematuhi adanya regulasi, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 28/PRT/M/2018 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau, Perda No 1/2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta, dan Perda No 1/2014 tentang Rencana Tata Detail Ruang DKI Jakarta 2030.
Penetapan lokasi perumahan dan permukiman kumuh pun wajib memenuhi persyaratan kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah, rencana detail tata ruang-peraturan zonasi; rencana tata bangunan dan lingkungan; kondisi kualitas prasarana dan sarana; serta utilitas umum yang memenuhi persyaratan dan tidak membahayakan penghuni.
Selain itu, juga tingkat keteraturan dan kepadatan bangunan, kualitas bangunan, serta kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. ”Untuk itu, harus ada pemetaan sosial sebelum penataan kampung kumuh karena masing-masing punya karakter berbeda. Pendataan dilakukan pemerintah daerah dengan melibatkan peran masyarakat,” jelasnya.
Adapun pola penanganan perumahan dan permukiman kumuh bisa meliputi pemugaran, peremajaan, atau permukiman kembali. Pemugaran dilakukan untuk perbaikan dan atau pembangunan kembali menjadi perumahan dan permukiman yang lebih layak huni. Peremajaan dilakukan untuk mewujudkan kondisi rumah, perumahan, permukiman, dan lingkungan hunian berkualitas lebih baik dari kondisi sebelumnya guna melindungi keselamatan dan keamanan penghuni dan masyarakat sekitar.
”Pemerintah terlebih dahulu harus menyediakan tempat tinggal sementara bagi masyarakat terdampak untuk penataan kembali itu. Penyediaan hunian vertikal berkepadatan rendah-sedang bisa dilakukan,” jelasnya.
Untuk pemukiman kembali, langkah itu dilakukan untuk mewujudkan kondisi rumah, perumahan, dan permukiman yang lebih baik guna melindungi keselamatan dan keamanan penghuni dan masyarakat.
Pemukiman kembali dilakukan dengan memindahkan masyarakat terdampak dari lokasi yang tidak mungkin dibangun kembali karena tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan atau rawan bencana serta dapat menimbulkan bahaya bagi barang ataupun orang. Lokasi yang akan ditentukan sebagai tempat untuk pemukiman kembali ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan melibatkan peran masyarakat terdampak.
Untuk itu, ujar Nirwono, Pemprov DKI Jakarta berkewajiban menertibkan perumahan dan permukiman kumuh yang tidak sesuai rencana tata ruang wilayah, seperti di dalam sempadan sungai, tepian situ/danau/waduk, bantaran rel kereta api, kolong jembatan/jalan layang, kawasan tepi pantai; mengembalikan fungsi sesuai peruntukan; serta merelokasi permukiman warga ke tempat yang lebih layak huni.
Sebelum melakukannya, Pemprov DKI Jakarta perlu melakukan sosialisasi yang dipimpin langsung oleh gubernur. Yaitu sosialisasi rencana penataan perumahan dan permukiman kumuh kepada masyarakat setempat. Warga diberikan penjelasan terkait pola penanganan, yakni pemugaran, peremajaan, atau permukiman kembali.
Keberanian dan ketegasan gubernur, imbuh Nirwono, sangat diharapkan, terutama terkait keharusan pemukiman kembali (relokasi) perumahan dan permukiman kumuh yang tidak sesuai rencana tata ruang wilayah. Warga harus dijelaskan wawasan risiko tinggal di daerah rawan bencana banjir/rob/longsor/gempa/kebakaran sehingga mereka secara sukarela direlokasi ke tempat terdekat yang aman dari bencana ke permukiman hunian vertikal yang lebih layak huni dan terpadu di dalam kota.
”Siapa pun gubernurnya berkewajiban menata perumahan dan permukiman kumuh sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana Detail Tata Ruang DKI Jakarta 2030. Semua perumahan dan permukiman yang tidak sesuai peruntukan, seperti berada di dalam sempadan sungai, tepian situ/danau/waduk, bantaran rel kereta api, atau kolong jembatan/jalan layang harus direlokasi,” katanya.
Baca juga: Tujuh Provinsi Akan Bahas Tenaga Kerja