Perencanaan NCICD Dinilai Tertutup
JAKARTA, KOMPAS — Perencanaan desain Pembangunan Terpadu Pesisir Ibu Kota Negara atau NCICD dinilai tertutup bagi publik. Pemerintah diminta untuk mendengarkan masukan para ahli agar proyek perlindungan DKI Jakarta ini menggunakan solusi yang efektif. Isu yang jadi sorotan salah satunya tanggul lepas pantai atau dikenal sebagai giant sea wall.
Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Marthin Hadiwinata, yang juga anggota Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ), berpendapat, penandatanganan nota kesepahaman antara RI dengan Belanda dan Korea Selatan untuk melanjutkan kerja sama kajian dan penyusunan desain NCICD terkesan diam-diam.
Semestinya, sebelum mencapai tahap tersebut, pemerintah membuka diskusi dulu dengan publik untuk mendapatkan masukan-masukan. Para pakar diajak untuk mengkaji manfaat serta kerugian dari desain yang direncanakan. “Model seperti saat ini prosesnya tertutup. Kita sama sekali tidak tahu bagaimana perencanaannya,” ucap Marthin, Senin (8/7/2019).
Semestinya, sebelum mencapai tahap tersebut, pemerintah membuka diskusi dulu dengan publik untuk mendapatkan masukan-masukan. Para pakar diajak untuk mengkaji manfaat serta kerugian dari desain yang direncanakan. “Model seperti saat ini prosesnya tertutup. Kita sama sekali tidak tahu bagaimana perencanaannya,” ucap Marthin, Senin (8/7/2019).
Ia menekankan, sudah banyak ahli yang memberi masukan bahwa tanggul di tengah laut berisiko. Contohnya, pakar teknik pantai Institut Teknologi Bandung Muslim Muin serta ahli kelautan Institut Pertanian Bogor, Alan Koropitan.
Dalam opini di Harian Kompas (6/6/2016), Muslim menyebutkan, cikal bakal NCICD yang bernama Jakarta Coastal Defence Strategy (JCDS) memulai ide penutupan Teluk Jakarta dengan alasan permukaan laut naik. Namun, ternyata dampak badai, tsunami, dan pemanasan global terhadap kenaikan muka laut di Teluk Jakarta amat kecil, sehingga pembangunan tanggul laut bukan solusi tepat.
Itu berbeda kondisinya dengan St Petersburg di Rusia yang terancam oleh storm surge (kenaikan muka air laut akibat badai), sehingga tanggul lepas pantai bagi wilayah ini patut didukung. Namun, Muslim mengingatkan, pemerintah St Petersburg sudah memperbanyak jumlah tempat pengolahan limbah sebelum membangun tanggul laut. Ini untuk memastikan air yang masuk ke waduk penampungan memenuhi baku mutu.
Soal dampak kenaikan muka air laut karena pemanasan global, Alan pernah menyampaikan, kenaikan muka laut secara global akibat perubahan iklim hanya 2-3 milimeter per tahun dan di Laut Jawa sekitar 7 mm per tahun.
Baca juga : Lelang Tanggul Pesisir Jakarta Dilanjutkan
Sementara itu, berdasarkan dokumen Roadmap Pengamanan dan Pengembangan Pesisir Jakarta dalam Konteks Regional (Oktober 2016) dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, tinjauan penurunan tanah tahun 2010-2016 menunjukkan, kawasan pesisir Jakarta mengalami penurunan tanah pada rentang 3-18 centimeter per tahun. Di tahun 2016, lebih dari 70 persen lahan di Jakarta Utara sudah di bawah muka laut, termasuk tanggul laut dan pantai.
Membandingkan data kenaikan muka laut dan penurunan muka tanah, Marthin menyebutkan, masalah yang mesti diatasi bukan di laut, tetapi di darat, yaitu penurunan muka tanah. Kajian-kajian menunjukkan, penurunan muka tanah antara lain disebabkan pengambilan air tanah secara berlebih, beban bangunan terutama gedung pencakar langit, konsolidasi alami lapisan-lapisan tanah aluvial, serta penurunan muka tanah karena gaya tektonik. Di antara berbagai faktor itu, pengambilan air tanah dinilai sebagai penyebab dominan.
Daripada membangun tanggul laut, pemerintah dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menurut Marthin semestinya fokus pada penghentian pengambilan air tanah dan memastikan seluruh penduduk dan gedung di Ibu Kota tercakup layanan air bersih agar tidak lagi menggunakan air tanah.
Baca juga : Nota Kerja Sama NCICD Tahap II Ditandatangani
Apalagi, tanggul laut amat berisiko bagi lingkungan yang kemudian akan berdampak pada kehidupan warga Jakarta, terutama dari sisi kesehatan. “Jika tanggul menutup laut dan membentuk waduk akan sangat berbahaya, karena akan menjadi tangki septik raksasa mengingat belum ada pengelolaan air limbah,” ujar Marthin.
“Jika tanggul menutup laut dan membentuk waduk akan sangat berbahaya, karena akan menjadi tangki septik raksasa mengingat belum ada pengelolaan air limbah,” ujar Marthin.
Pemerintah melanjutkan kajian dan penyusunan desain mengenai Rencana Induk Pembangunan Terpadu Pesisir Ibu Kota Negara atau National Capital Integrated Coastal Development atau NCICD. Kajian dan penyusunan desain yang dilakukan bersama Belanda dan Korea tersebut direncanakan selesai pada 2020.
Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Hari Suprayogi mengatakan, Indonesia telah memperpanjang kerja sama dengan Belanda dan Korea untuk mengkaji dan menyusun desain tentang Rencana Induk Pembangunan Terpadu Pesisir Ibu Kota Negara. Perpanjangan kerja sama ditandatangani ketiga pihak beberapa waktu lalu.
Kerja sama tersebut merupakan bantuan untuk membuat desain, antara lain penyusunan strategi, desain, analisis data, dan pemodelan mengenai Rencana Induk Pembangunan Terpadu Pesisir Ibu Kota Negara. Selain itu, disusun pula beberapa skenario seperti ketika terjadi penurunan air tanah, kemudian skenario pembangunan sea building block atau tanggul di tengah laut yang rencananya sekaligus jadi jalan tol.
“Kerja sama ini untuk mengkaji dan rencana induk, termasuk menyusun pertimbangan pelaksanaannya. Kalau rencana induknya sudah ada di Bappenas,” kata Suprayogi, akhir pekan lalu di Jakarta.
“Kerja sama ini untuk mengkaji dan rencana induk, termasuk menyusun pertimbangan pelaksanaannya. Kalau rencana induknya sudah ada di Bappenas,” kata Suprayogi, akhir pekan lalu di Jakarta.
Suprayogi mengatakan, dari tujuh fase kegiatan kerja sama, yang sedang dilaksanakan adalah fase pertama sampai ketiga. Pembangunan tanggul sepanjang 20,1 kilometer merupakan penerapan dari hasil kajian fase pertama. Dari total 100 km garis pantai antara Tangerang sampai Bekasi, titik kritis penurunan tanah berada di DKI Jakarta sepanjang 20,1 km tersebut.
Rencana Induk Pembangunan Terpadu Pesisir Ibu Kota Negara, lanjut Suprayogi, merupakan pedoman untuk menghindarkan wilayah pesisir DKI Jakarta yang mengalami ancaman banjir dari wilayah hulu dan masuknya air laut ke daratan (rob). Saat ini hal itu diperparah dengan turunnya muka tanah karena pengambilan air tanah karena untuk memenuhi kebutuhan air baku di Jakarta besar.
Oleh karena itu, pemerintah berencana membuat tanggul laut untuk membendung air laut masuk ke daratan. Air yang tertampung tersebut direncanakan dapat digunakan sebagai sumber air baku DKI Jakarta yang memerlukan pasokan 23 meter kubik air per detik. Sebab, pasokan air baku dari Bendungan Jatiluhur baru mencapai 16 meter kubik per detik.
Baca juga : Anies Kunci Komitmen Lewat Perda
Tidak hanya membangun tanggul, rencana induk tersebut juga mencakup program pembangunan fasilitas sanitasi yang andal di DKI Jakarta. Dengan demikian air yang masuk ke laut sudah bersih dari berbagai kotoran.
Namun demikian, pembangunan infrastruktur tersebut memerlukan pembiayaan yang sangat besar. Melalui kerja sama dengan Belanda dan Korea, dikaji pula kelayakan ekonomi dan finansial, termasuk sumber pendanaan untuk membangun proyek tersebut.
“Makanya ada program sanitasi, kemudian Jakarta water supply. Jika dibuat tanggul, wilayah di dalamnya bisa dimanfaatkan, termasuk kemungkinan untuk pengembangan ekonomi,” ujar Suprayogi.
Baca juga : Walhi Desak Gubernur Audit Lingkungan di Pesisir Jakarta
Untuk saat ini, lanjut Suprayogi, pemerintah fokus untuk membangun 20,1 km yang merupakan titik kritis. Pembangunan dilakukan oleh Kementerian PUPR sepanjang 4,5 km yang telah selesai pada 2018, sementara sisanya oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan swasta.