Konektivitas antarmoda menjadi syarat mutlak optimalisasi Bandara Internasional Yogyakarta di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Keberadaan bandara juga mesti didukung fasilitas lain, seperti hotel, restoran, dan rumah sakit, yang layak melayani calon wisatawan.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Konektivitas antarmoda menjadi syarat mutlak optimalisasi Bandara Internasional Yogyakarta di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan infrastruktur pendukung yang optimal, keberadaan bandara diyakini mengungkit perekonomian wilayah di sekitarnya.
Demikian salah satu topik diskusi bertajuk ”Optimalisasi Keberadaan Yogyakarta International Airport” yang digelar di Hotel Swiss-Belhotel, Yogyakarta, Rabu (24/7/2019). Hadir dalam diskusi tersebut Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Danang Parikesit, Sekretaris Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Zulmafendi, dan Direktur Pelayanan dan Pemasaran PT Angkasa Pura I Devi W Suradji.
Danang mengatakan, pemerintah merencanakan pembangunan jalan tol dengan rute Solo-Yogyakarta-Bandara Internasional Yogyakarta-Kulon Progo. Jalan tersebut direncanakan sepanjang 90 kilometer. Harapannya, pembangunan bisa dimulai pada 2020.
Bandara Internasional Yogyakarta berjarak sekitar 45 kilometer dari pusat Kota Yogyakarta. Butuh waktu sekitar 1,5 jam untuk mengakses bandara tersebut dengan mengendarai mobil. Saat ini, transportasi umum yang sudah tersedia yaitu bus dan kereta api. Bus memerlukan waktu sekitar 1 jam, sedangkan kereta api sekitar 45 menit.
Hanya saja, kereta api hanya berhenti di Stasiun Wojo, yang letaknya masih di luar kompleks bandara. Calon penumpang harus melanjutkan perjalanan ke bandara menggunakan shuttle bus sekitar 15 menit. Sejauh ini, jadwal kereta api dan shuttle bus menyesuaikan jadwal penerbangan di bandara tersebut.
Kementerian Perhubungan tengah menyiapkan akses kereta api langsung menuju bandara. Saat ini, proses pembebasan lahan sedang dilakukan.
Terkait hal itu, Zulmafendi mengatakan, pihaknya tengah menyiapkan akses kereta api langsung menuju bandara. Saat ini, proses pembebasan lahan sedang dilakukan.
”Kami optimistis pada akhir 2019 sudah mulai pembangunan konstruksi. Paling lambat pembebasan lahan selesai Februari 2020,” katanya.
Adapun panjang rel kereta api yang akan dibangun sekitar 5,7 kilometer. Rel tersebut dibangun dari Stasiun Kedundang menuju Bandara Internasional Yogyakarta. Pembangunannya bakal dilakukan secara paralel. ”Ini menjadi komitmen menjamin terbangunnya transportasi antarmoda,” kata Zulmafendi.
Devi W Suradji mengungkapkan, Bandara Kulon Progo tidak hanya membuka potensi ekonomi di DIY, tetapi juga daerah sekitarnya. ”Khususnya bagi yang menonjolkan pariwisata,” ujarnya.
Namun, menurut Devi, keberadaan bandara juga mesti didukung infrastruktur lain, seperti hotel, restoran, dan rumah sakit. Tanpa fasilitas-fasilitas tersebut, operasional bandara tidak akan optimal. Kualitas tempat-tempat itu juga mesti diperhatikan agar layak melayani wisatawan internasional.
”Saat ini, terminal yang dioperasikan luasnya 12.900 meter persegi. Harapannya, pada akhir 2019 kami bisa membuka terminal hingga 219.000 meter persegi. Tapi, masalahnya bukan sekadar membuka terminal. Butuh infrastruktur pendukung di sekitar bandara yang siap digunakan dan memadai,” kata Devi.
General Manager Bandara Adisutjipto PT Angkasa Pura I, Agus Pandu Purnama, menyatakan, terdapat 66 rute penerbangan tambahan dengan rute ke luar Pulau Jawa yang segera masuk Bandara Internasional Yogyakarta. Dengan penerbangan tambahan itu, jam operasional bandara pun ditambah.
Sebelumnya, bandara itu hanya beroperasi dari pukul 06.00-18.00. Dengan adanya tambahan rute itu, operasional menjadi pukul 06.00-23.00.
Ketua Tim Pelaksana Harian Unit Manajemen Tim Pelaksana Percepatan Pembangunan Prioritas DIY Rani Sjamsinarsi sepaham aksesibilitas terhadap bandara menjadi kunci optimalisasi peningkatan ekonomi di DIY. Peluang pengembangan pariwisata semakin terbuka dengan potensi penambahan jumlah wisatawan.