Momentum Pertumbuhan Ekonomi Dibayangi Risiko Global
Momentum pertumbuhan ekonomi RI dibayangi prospek ekonomi global yang lesu. Karena itu, sumber pertumbuhan dari dalam negeri, yaitu investasi dan konsumsi rumah tangga mesti dipacu.
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Momentum pertumbuhan ekonomi RI dibayangi prospek ekonomi global yang lesu. Karena itu, sumber pertumbuhan dari dalam negeri, yaitu investasi dan konsumsi rumah tangga mesti dipacu.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, ada beberapa perkembangan global dan domestik yang patut diwaspadai. Berlanjutnya ketegangan hubungan dagang AS-China berpotensi melebar ke negara yang menjadi pusat bagi ekspor China ke AS. Kondisi itu menekan volume perdagangan global dan harga komoditas.
“Di dalam negeri, tantangan utama yang dihadapi adalah mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi serta memperbaiki defisit transaksi berjalan,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan di Jakarta, Selasa (30/7/2019).
Sri Mulyani mengatakan, investasi dan konsumsi rumah tangga tetap jadi penopang pertumbuhan ekonomi di tengah risiko ekonomi global. Investasi diyakini terus tumbuh seiring kondisi dalam negeri yang kondusif. Sejumlah investor kini mulai membidik investasi pada perusahaan rintisan berbasis digital (start up) dan pariwisata.
Perkembangan terbaru, perusahaan telekomunikasi dan media asal Jepang, SoftBank, berkomitmen menambah investasi 2 miliar dollar AS hingga tiga tahun ke depan. Investasi itu akan disuntikkan untuk mendorong Grab menjadi unicorn ke-5 di Indonesia.
Menurut Sri Mulyani, upaya menarik investasi tidak hanya ditempuh melalui perbaikan iklim usaha dan pemberian insentif fiskal. Keyakinan investor juga ditumbuhkan melalui bauran kebijakan berupa penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia, BI 7-day Reverse Repo Rate, dan pelonggaran likuiditas perbankan.
Mengutip data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi pada Januari-Juni 2019 mencapai Rp 395,6 triliun terdiri dari penanaman modal asing sebesar Rp 212,8 triliun dan penanaman modal dalam negeri sebesar Rp 182,8 triliun. “Tahun lalu, penanaman modal asing terdistrupsi dan ada ketidakpastian kurs rupiah. Dengan kondisi global yang lebih positif, investasi akan tumbuh lebih optimistis,” kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani menambahkan, serangkaian kebijakan yang ditempuh itu bukan sekadar untuk memacu investasi, tetapi mendorong konsumsi kelompok menengah atas. Konsumsi mereka cenderung dialihkan untuk kegiatan-kegiatan produktif. Tingkat keyakinan konsumen juga dijaga agar konsumsi terus tumbuh.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, arus modal asing yang masuk ke dalam negeri per 26 Juni 2019 mencapai Rp 193,2 triliun yang terdiri dari instrumen surat berharga negara Rp 120,1 triliun dan saham Rp 72,1 triliun. Kebijakan BI saat ini diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. “Kebijakan moneter yang ditempuh akan akomodatif sejalan dengan inflasi rendah dan ketidakpastian ekonomi global yang turun,” kata Perry.
Menurut Perry, tingginya arus modal masuk menandakan inevestasi tetap menarik kendati suku bunga turun menjadi 5,75 persen. Penurunan suku bunga saat ini untuk mengantisipasi risiko perekonomian akibat perang dagang. Jika suku bunga tidak turun, perekonomian bisa tumbuh di bawah 5,2 persen.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso mengatakan, penurunan suku bunga acuan tidak serta-merta berdampak terhadap suku bunga perbankan. Transmisi suku bunga acuan ke suku bunga kredit ataupun deposito membutuhkan waktu 3-6 bulan. Waktu transmisi di setiap perbankan berbeda.
Sebelumnya, Kepala Lembaga Pusat Kajian Ekonomi Makro (LPEM) Universitas Indonesia Febrio Kacaribu menambahkan, risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi berasal dari perang dagang AS-China. Perdagangan global dapat memperburuk defisit transaksi berjalan pada triwulan II-2019. ”Perdagangan Indonesia tetap rentan terhadap perubahan harga global karena struktur ekspor yang bergantung pada komoditas,” ujar Febrio.
Untuk itu, lanjutnya, pemerintah harus menyusun terobosan dalam jangka pendek agar defisit transaksi berjalan tidak semakin dalam. Selain reformasi struktural, pemerintah perlu segera merealisasikan lebih banyak kerja sama perdagangan dan investasi bilateral dengan mitra dagang yang potensial.