Warga Dusun Gunung Karasik di Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah, enggan terus hidup terkurung tambang batu bara. Warga meminta sungai dan alam yang rusak diperbaiki hingga minta daerah mereka dilepaskan dari konsesi tambang.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS – Warga Dusun Gunung Karasik di Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah, enggan hidup terkurung tambang batu bara. Mereka mengajukan empat permintaan, mulai dari perbaikan sungai, reklamasi kawasan, menghentikan teknik penambangan, hingga permintaan dilepas dari kawasan konsesi tambang.
Hal itu terungkap dalam mediasi yang dilaksanakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Selasa (30/7/2019). Hadir dalam pertemuan itu, perwakilan warga Dusun Gunung Karasik, perwakilan Pemerintah Kabupaten Barito Timur, PT Bangun Nusantara Jaya Makmur, dan Komnas HAM.
Tuntutan pertama adalah pemulihan lima sungai, yakni Sungai Mabayoi, Udak, Banuang, Garunggung, dan Sungai Paku. Tuntutan kedua, mereklamasi dan revegatasi kawasan pasca tambang. Adapun, permintaan ketiga adalah meninjau analisis mengenai dampak lingkungan PT BNJM serta menghentikan teknik peledakan dalam menambang. Sedangkan yang terakhir, warga meminta Dusun Gunung Karasik dikeluarkan dari konsesi pertambangan.
Yoseprianto (40), perwakilan warga Dusun Karasik mengungkapkan, sungai dan tanah adalah hak hidup masyarakat karena fungsinya tidak bisa digantikan. Pertambangan merusak sungai dan mencemari mata air yang selama ini mereka konsumsi.
“Kami ini membantu pemerintah dan perusahaan untuk melakukan tugasnya. Harusnya, hal seperti ini dilakukan pemerintah bukan kami,” kata Yosep di sela-sela mediasi.
Akan tetapi, dari empat permintaan, hanya satu yang dikabulkan yaitu rehabilitasi sungai. Itupun hanya Sungai Mabayoi. Empat sungai lainnya menunggu koordinasi dari pemerintah daerah. Sungai Mabayaoi direhabilitasi sesuai kesepakatan di tingkat kecamatan sebelumnya.
“Selama ini memang mau dikerjakan tetapi posisi alat berat itu jauh dari lokasi sungai, sehingga butuh waktu,” ungkap Teknisi PT Bangun Nusantara Jaya Makmur Zainul Lutpi.
Lutpi mengungkapkan, pihaknya akan mulai merehabilitasi sebulan ke depan. Proses rehabilitasi sungai itu juga akan melibatkan warga sehingga mereka bisa menunjukkan lokasi-lokasi kerusakan sungai akibat aktivitas pertambangan.
Sebelumnya, Kompas mendatangi lima sungai yang rusak akibat pembukaan jalan tambang batubara. Di hulu Sungai Paku, misalnya, sungai tertimbun tanah. Saat hujan, sungai itu penuh lumpur. Sementara, ketika kemarau, air sungai berwarna kehijauan dan berbau.
Komisioner Komnas HAM bidang Mediasi Munafrizal Manan mengatakan, memang tidak memiliki target semua poin tuntutan disepakati. Namun, keterbukaan informasi dan keran komunikasi menjadi penting dalam situasi tersebut.
“Ini juga untuk menghindari konflik-konflik di kemudian hari. Setelah pertemuan ini, kami berharap perusahaan dan warga bisa terus berkomunikasi tanpa perantara,” ungkap Manan.
Ke depan, salah satu hal yang harus jadi perhatian adalah reklamasi lubang tambang. Menurut Manan, lubang bekas tambang rawan memakan korban.
“Kami juga sedang memediasi konflik lubang tambang di Kalimantan Timur, semoga di sini tidak seperti di sana,” kata Manan.
Lutpi mengatakan, lubang tambang di Gunung Karasik belum bisa direklamasi. “Perusahaan belum selesai menambang di sana, bagaimana mau ditutup. Reklamasi dilakukan pascatambang,” kata dia.
Akan tetapi, Yoseprianto punya dalil lain. Ia mengungkapkan, perizinan PT BNJM sudah diperpanjang dua kali. Seharusnya, sebelum diperpanjang lubang tambang ditutup terlebih dahulu.
“Saat ini, lubang-lubang besar itu masih menganga di desa kami,” ungkapnya.
Pelaksana Tugas Kepala Bidang Penaatan Hukum dan Peningkatan Kapasitas Lingkungan Hidup di Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Barito Timur Sapta Aprianto mengungkapkan, di desa itu ada yang mendukung dan ada yang menolak perusahaan. Pihaknya memilih mengikuti kesepakatan awal saat masyarakat menerima penambangan.
“Pemerintah desa harus membuat surat pernyataan ke bupati agar keluar dari konsesi, baru diusulkan ke pemerintah provinsi,” kata Sapta.