Lakukan Pelecehan Seksual pada Enam Mahasiswi, Kaprodi Ditahan
Ketua Program Studi Pendidikan Fisika di Universitas Palangka Raya berinisial PS ditahan pihak kepolisian karena diduga melakukan pelecehan seksual terhadap enam mahasiswi. Kampus terbesar di Palangkaraya itu pun membuka posko aduan karena khawatir korbannya masih banyak.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Kepala Program Studi Pendidikan Fisika di Universitas Palangka Raya berinisial PS ditahan pihak kepolisian karena diduga melakukan pelecehan seksual terhadap enam mahasiswi. Kampus terbesar di Palangkaraya itu membuka posko aduan karena khawatir korbannya masih banyak.
Terkuaknya kasus pelecehan seksual di lingkungan kampus ini berawal dari unggahan salah satu tokoh adat di Palangkaraya beserta foto para korban saat melapor ke lembaga adat tersebut ke media sosial. Setelah unggahan itu menjadi viral di media sosial, para korban kemudian melaporkan kejadian itu kepada polisi.
Kepala Bidang Humas Polda Kalteng Ajun Komisaris Besar Hendra Rochmawan mengungkapkan, pihaknya sudah memeriksa 19 orang, termasuk para korban pelecehan oleh oknum dosen itu. Setelah pemeriksaan saksi-saksi, pihaknya menetapkan PS, yang menjabat sebagai ketua program studi (kaprodi), sebagai tersangka utama dan menahannya pada Kamis (29/8/2019).
”Penetapan tersangka sudah dua hari lalu, tetapi setelah kami periksa banyak saksi dan dengan berbagai pertimbangan terduga pelaku kami tahan,” ungkap Hendra.
Hendra menjelaskan, saat ini pihak penyidik sedang melakukan penyidikan terhadap kasus ini. Keenam korban juga sudah bersedia menjadi saksi meskipun dalam keadaan trauma.
Pihak kepolisian menggunakan Pasal 289 KUHP tentang Perbuatan Cabul dengan ancaman hukuman maksimal sembilan tahun penjara. ”Yang bersangkutan sudah dibawa dan ditahan di Polda Kalteng,” lanjut Hendra.
Dikawal
Wakil Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Palangka Raya (UPR) Wawan Novardo mengungkapkan, saat ini enam korban dalam keadaan trauma dan tertekan. Pasalnya, selain karena viral di media sosial, pelaku juga pernah mencoba meminta korban berdamai dan menarik laporannya.
”Makanya sampai saat ini kami kawal dan jaga terus enam korban ini, mereka tidak mau berdamai dan menginginkan diselesaikan secara hukum,” kata Wawan.
Wawan menjelaskan, saat ini pihaknya membuka posko pengaduan bagi seluruh mahasiswa di UPR untuk memberikan informasi serupa. Pihaknya menduga korban dari pelaku masih banyak.
”Kalau dari keterangan korban, masih banyak korban lainnya yang tidak mau berbicara karena takut,” kata Wawan.
Senada dengan Wawan, Wakil Rektor UPR Suandi Sidauruk mengungkapkan, pihaknya juga membuka kepada seluruh mahasiswa dan dosen jika memang masih ada korban lainnya ataupun kasus serupa dengan oknum yang berbeda. Pihaknya akan memberikan tindakan tegas kepada oknum tersebut sesuai ketentuan kampus.
”Kami akan memberikan rekomendasi ke pusat untuk diberhentikan atau dipecat, tetapi itu menunggu proses hukumnya dulu,” ungkap Suandi.
Suandi menjelaskan, sebelum dilaporkan ke polisi, pihaknya melalui satuan pengawas internal sudah mendapatkan laporan itu pada Senin 5 Agustus 2019. Pihaknya juga langsung mengambil tindakan. ”Saat itu korban bersama dekan didampingi wakil dekan juga sudah melapor dan kami tindak, kami selidiki,” ungkap Suandi.
Namun, lamanya tanggapan dan tindakan dari kampus membuat korban melapor ke salah satu tokoh adat dan menjadi viral di media sosial. Korban pun akhirnya memilih jalur hukum.
Lamanya tanggapan dan tindakan dari kampus membuat korban melapor ke salah satu tokoh adat dan menjadi viral di media sosial.
Ruth Wahyuni Simanjuntak (19), salah satu anggota staf BEM UPR yang mendampingi enam korban itu, mengungkapkan, keenam korban saat ini sangat tertutup dan sulit berinteraksi dengan banyak orang karena menjadi bahan perbincangan.
Kepada Ruth, korban mengaku pelecehan yang mereka alami tersebut dilakukan saat korban ingin berkonsultasi tentang tulisan mereka. Mereka dijanjikan untuk bertemu di ruangan pribadi PS di lingkungan kampus.
”Saat di dalam ruangan, pelaku memang buka celana dan meminta korban memegang kemaluannya, pelaku juga meraba dan memegang bagian vital korban-korbannya,” ungkap Ruth. Ruth berharap, pihak kepolisian tidak hanya menyelidiki kasus tersebut, tetapi juga menyediakan pendampingan psikologis terhadap korban pelecehan seksual itu.